Ketidakhadiran ibu Abizar

1700 Kata
Setelah menghabiskan sarapan yang setengahnya berisi segukan dan derai air mata, yang berulang kali jatuh tanpa bisa aku hindari dan aku larang untuk turun membasahi wajahku, aku bergegas mandi. Memang, lamaran masih lama, tapi aku harus memastikan semuanya sudah aman dan tidak ada yang kurang. Kue-kue basah dan kue kering, masakan untuk sajian makan nanti, lalu seserahan lamaran yang akan dibawa Abi, sudah harus ada di tangannya, minimal sebelum zuhur, karena rumah Abi dan rumah temanku, Dede, yang mengerjakan itu agak jauh. Setelah selesai mandi, aku ke dapur, menemui Ibu, untuk memastikan hidangan nanti, tidak ada yang kurang, “Bu, apa makanan dan kue-kuenya sudah beres semua?” Ibu mengangguk yakin, “Insyaallah udah beres semua. Itu photographer untuk nanti, apa sudah ada?” aku menepuk jidat, ya ampun, ini hal penting, tapi kecil, dan terlewat, “Belum ada, Bu. Coba aku hubungin teman-temanku, siapa tau ada yang bisa merekomendasikan.” Ibu menggeleng, “Dicari loh, Tan. Masa momen istimewa dan bahagia gini, gak diabadikan, masa hanya pake kamera handphone, kan kurang bagus.” Aku mengangguk, “Momen bahagia, ya, Bu. Berarti Ibu bahagia, kan, dengan apa yang Tania putuskan ini?” Ibu tersenyum, “Semua hal yang bisa membuatmu tersenyum dan bahagia, maka di sana juga letak kebahagiaan Ibu dan Bapak.” Aku tersenyum juga, syukurlah, restu Ibu dan Bapak sudah ku kantongi. Semoga restu keluarga Abizar juga didapatkan secara penuh. Aku kemudian beranjak dari dapur dan menuju kamar, untuk menyelesaikan misiku, mencari photographer buat acara hari ini. Setelah bertanya ke beberapa teman dekat, teman kantor, akhirnya ada satu orang teman, yang memang hobi photographer bersedia membantuku, “Boleh, Tan. Kasih aja alamatnya, nanti sebelum ashar aku udah di rumahmu.” Dan aku memberikan alamatku. Beres, semua sudah pada tempatnya, semua sudah dilengkapi. Aku bisa istirahat sebentar, karena semalam, aku beneran gak bisa tidur sama sekali, setelah mandi, segar, aku merasakan ngantuk yang mendera. Ketika baru saja menutup mata, hanphoneku berdering, Abizar, tertera nama itu, senyumku merekah, “Ya, Bi?” Abizar yang ada di ujung telepon, berdehem, “Ehhm … Tan,” dia menjeda ucapannya, sepertinya ada hal yang ingin dia ucapkan, dadaku jadi deg-degan, pikiran buruk datang menyergap, aku mengulangi panggilanku, “Bi, ada apa? Semua baik-baik saja, kan?” aku menunggu jawaban dari Abizar, “Iya, aman. Hanya saja sepertinya Ibu nanti siang tidak bisa ikut.” Aku terdiam, kenapa ibu Abizar tidak ikut, padahal ini kan hal penting, acara istimewa anak kesayangannya, katanya. Aku menanyakan alasan kenapa ibunya tidak bisa ikut, “Ibu kenapa, Bi? Sakit atau kenapa?” Abizar menjawab, “Tidak, Tan, Ibu sehat. Hanya saja, hari ini bertepatan dengan keponakan Ibu ada yang menikah juga, Ibu sebagai yang dituakan harus hadir.” Aku melongo, keponakannya nikah, dihadiri, sementara anaknya mau lamaran, malah diabaikan, apa dia tidak mau menyaksikan anaknya meminang wanita calon istrinya, yang berarti calon mantunya nanti, atau gimana sih, ini benar-benar aku gak paham, “Tapi, Bi, ini kan acaramu, acara istimewa anaknya, kenapa ibumu justru lebih memilih hadir di pernikahan ponakannya? Keluargamu kan tau, kamu lamaran hari ini.” Abizar mencoba menenangkanku, “Tan, acara lamaran ini, hanya keluarga inti kami saja yang tau, kami belum memberitahu keluarga yang lain. Jadi, Ibu memang harus hadir di acara keponakannya, itu. Keponakannya itu anak yatim piatu, Tan. Tidak ada sanak saudara, tidak ada yang bisa mewakilinya, kecuali Ibu. Tenang, Tan. Kak Puspa, Mas Joko, Kak Raudhah, Mas Gandi, dan keponakan-keponakan itu, ikut semua, kok. Pasti lancar acara hari ini.” Aku terdiam sebentar, ini apa sih, maksudnya, kenapa kok ibunya lebih memilih menghadiri acara keponakannya itu, “Bi, yang bener ajalah, masa iya, sih, ibumu malah lebih milih hadir di acara nikahan ponakannya. Kamu tu anaknya, Bi, kamu anaknya, kan? Kamu anak kandung ibumu, kan, Bi?” Abizar mendengus kasar da sedikit berteriak, “Ya, jelas, aku anak kandung Ibu, maksud kamu apa nanya begitu. Tan, hal remeh temeh gini tuh gak usah dijadiin keributan, donk. Lagian ini kan baru lamaran, nanti, ketika kita nikah, Ibu pasti ada, kok. Masa hanya karena hal begini aja kita jadi ribut, sih?” aku membalas ucapan Abizar, “Bi, ini tuh lamaran, acara istimewa pembuka untuk ke jenjang pernikahan. Harusnya, keluarga kita datang semua, apalagi orang tua kita masing-masing, mereka harus saling kenal. Masa iya, calon besan gak tau satu sama lain, ini kan aneh. Terus, apa tadi kata kamu? Baru lamaran, baru lamaran kata kamu? Kalo menurutmu lamaran ini gak penting, TAPI PENTING UNTUK AKU DAN KELUARGAKU.” Aku menutup telepon dan mematikan sambungan telepon Abizar. Apakah se-tidak pentingnya acara ini untuk keluarganya, apakah Abizar memang tidak dihormati di kelurganya, sampai acara lamaran pun, diabaikan, apa se-tidak penting itu untun bertemu dan berkenalan dengan kedua orang tua juga keluargaku? Aku mengacak rambut kesal, “Aarggh … kenapa sih, belom apa-apa udah kacau begini?” lalu pintu kamarku diketuk, “Tan, kenapa, Nak. Kamu baik-baik saja?” suara Ibu di luar membuatku tersadar dan terdiam, menarik napas panjang, dan menjawab “Iya, Bu. Aku gak apa-apa.” Lalu aku mendengar langkah kaki Ibu menjauh. Apakah aku batalkan saja acara ini, tapi gimana dengan keluarga lain, gimana dengan Bapak dan Ibu, mau ditaruh di mana muka mereka, lamaran anaknya gagal, karena calon besan gak bisa hadir lantaran lebih memilih untuk pergi dan menghadiri acara nikahan keponakannya ketimbang menghadiri acara lamaran anaknya. Kepalaku tiba-tiba sakit, seperti ada ribuan jarum menusuk, pundakku terasa berat, seperti ditimpa batu berates-ratus kilo. Aku mencoba merebahkan tubuhku di ranjang, mencoba berpikir jernih, agar aku bisa mengambil keputusan tepat. Ketukan pintu terdengar agak keras dari luar, aku langsung bangun, terduduk, karena kaget, rupanya aku ketiduran barusan ini, “Tan, sudah jam setengah tiga, kamu udah siap-siap, belum?” aku membuka pintu, “Iya, Bu, sebentar aku cuci muka, lalu siap-siap.” Ibu tersenyum, “Oke, yang cantik, ya. Buat Ibu dan Bapak bangga, bikin Abizar tidak salah memilihmu sebagai calon istrinya, dan buat keluarga Abizar yakin, tidak salah memilihmu menjadi bagian dari keluarga mereka.” Aku mengangguk, sambil menimbang, apakah aku akan memberi tahu, ke Ibu dan Bapak, jika ibunya Abizar tidak datang atau bagaimana. Dilema sebenarnya, jika aku kasih tau ke Bapak dan Ibu tentang hal ini, aku khawatir mereka justru menolak meneruskan acara ini, tapi kalo aku gak kasih tau, nanti Bapak dan Ibu bertanya-tanya, kenapa kok ibunya Abizar tidak ikut. Nanti sajalah, sambil jalan, sambil beres-beres, sambil aku pikirkan lagi. Ketika sedang menyisir rambut, jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, azan ashar sebentar lagi berkumandang, hanphoneku kembali berdering, Abizar kembali menghubungiku, “Jadi gimana, kamu mau nerusin acara ini atau gak, kalo iya, kami akan berangkat ke sana, tapi kalo enggak, kami akan ke rumah sepupuku yang hari ini nikahan.” Aku benar-benar dibuat melongo dengan ucapan Abizar barusan, tapi aku juga tidak mau membuat Bapak dan Ibu justru kecewa berkali-kali lipat, “Iya, jadi. Kami sudah bersiap-siap di sini.” Abizar tertawa, “Gitu, donk. Itu baru Tania-ku. Siap, tunggu aku dan keluargaku datang, ya, sayang.” Aku mengangguk pelan, yang jelas-jelas anggukan itu tidak bisa dilihat Abizar. Setelah menutup telepon dari Abizar, aku sesegera mungkin membereskan riasanku, dan bergegas menemui Bapak dan Ibu, aku harus memberitahu ini ke mereka, biar mereka tidak kaget. Aku keluar dari kamar dan mencari Ibu ke dapur, kata Bude Yana, Bapak dan Ibu lagi di kamar, “Lagi pada di kamar, Tan. Mungkin lagi salat ashar dan siap-siap.” Aku melangkahkan kaki ragu menuju kamar Bapak dan Ibu. Beberapa kali mengurungkan niat untuk mengetuk, lalu memantapkan diri mengetuk pintu kamar mereka, “Pak, Bu, Tania masuk, ya.” aku mendengar sahutan Bapak dari dalam, “Masuk, Tan.” Dan ketika aku membuka pintu, aku melihat keduanya sudah rapi, memasang senyum paling indah yang pernah aku lihat. Ya Allah, bagaimana aku bisa membiarkan senyum itu sebentar lagi padam, tapi aku tidak punya pilihan lain, “Wah, udah siap aja nih. Cantiknya ibuku, tampannya bapakku.” Bapak dan Ibu tersenyum, aku kemudian memilih duduk di tepi ranjang dan sepertinya Ibu tau, ada sesuatu yang terjadi, “Tan, ada apa?” aku menarik napas panjang berkali-kali, aku ingin menyampaikan berita ini dalam satu tarikan napas, jelas, agar tidak perlu mengulang, “Keluarga Abizar sedang dalam perjalanan ke sini, Pak, Bu.” Mereka tertawa, “Loh, ya memang sudah harusnya begitu, kan. Kamu grogi, ya, Tan. Gak apa-apa, tenang, insyaallah semua berjalan lancar.” Aku mengangguk, lalu mencoba membuka mulut lagi, dan bicara, “Tapi ibunya Abizar tidak ikut, karena harus mengahadiri pernikahan keponakannya.” Senyum di wajah Bapak dan Ibu, pudar seketika. Ruangan hening. Aku masih menduga, jawaban atau ucapan apa yang akan diutarakan Bapak dan Ibu. “Memangnya, keponakannya itu gak ada orang tua, Tan? Atau gak ada orang lain yang bisa mewakili ibunya Abizar, kenapa kok dia justru hadir di acara keluarganya tapi tidak hadir di acara tunangan anaknya? Abizar ini anak kandung ibunya atau anak tiri, Tan? Maaf, Ibu bukannya kenapa, hanya saja, kok rasanya lucu, ini acara sakral, bisa-bisanya ibunya Abizar gak hadir itu gimana?” aku mencoba tenang, menjawab pertanyaan Ibu dengan sepelan mungkin agar Ibu dan Bapak tidak marah, “Iya, Bu, keponakannya ini sudah tidak ada orang tua, yatim piatu, ibunya Abizar adalah orang yang dituakan di keluarga mereka, jadi, mau tidak mau, ibunya Abizar harus hadir di sana. Insyaallah, nanti ketika nikahan, hal ini gak akan terjadi, ibunya Abizar akan hadir …” Bapak menjawab dengan suaranya yang menggelegar, “Ya harus hadir, ini kan yang nikah anaknya, anak laki-laki, lagi. Kalo gak hadir, batalkan aja pernikahannya. Lamaran ini juga, kalo gak sudah terlanjur keluar uang, manggil keluarga, masak banyak, saya akan batalkan juga. Itu manusia, gak ada otak atau gimana? Bisa-bisanya, acara sakral begini, acara anaknya sendiri, loh, kok dia malah gak hadir. Memilih hadir di acara orang lain.” Aku terdiam. Ibu mungkin tau, aku sedang tidak baik-baik saja. “Itulah kenapa dari kemarin, Bapak sama Ibu berkali-kali bertanya, apa kamu sudah yakin dengan lamaran ini, kenapa kok semuanya terkesan terburu-buru, tapi kamu yakin, kamu sendiri yang memaksa Bapak dan Ibu, untuk menerima keyakinanmu akan lamaran ini. Kami ikuti apa yang membuat kamu bahagia. Tapi kalo begini caranya, mereka gak menghargai kita, Tan. Gak menghargai saya dan ibumu sebagai orang tuamu, tidak menghargai kamu.” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN