Semanis Itu Senyuman Rangga

1110 Kata
“Jadi, udah sejauh mana hubunganmu dengan Pak Airlangga, Bu Tania?” dateng-dateng Prana mengajakku bicara seperti itu. Aku yang sedang menyeduh kopi jadi terkejut dan hampir menumpahkan isi gelas yang masih panas dan penuh. Aku yang menangkap ada sesuatu dari ucapannya, mencoba untuk tidak gegabah menjawab, hanya menanggapinya dengan anggukan, “Lancar aja. Seperti biasa.” Agar tidak terjadi perdebatan panjang, aku memilih untuk berjalan keluar dari ruangan, dan ketika hampir sampai tanganku menyentuh gagang pintu, Prana kembali bertanya, “Jadi, kapan hubungan kalian diresmikan?” aku benar-benar melotot dibuatnya. Aku langsung membalikkan badan dan bicara face to face ke Prana, “Hubungan apa yang diresmikan? Memangnya kamu mikir hubungan aku sama Rangga itu seperti apa, seperti hubunganmu dengan Banun yang sok-sok pura-pura malu tapi mau? Yang sok-sok menghindari tatapan kalo bertemu, menundukkan pandangan tapi jalan berdua ke mall, begitu?” Prana diam tapi dari sorot matanya aku tau dia tidak suka aku bicara seperti itu. Aku juga diam, menantangnya dengan mataku, “Tan, aku dan Banun benar-benar tidak ada hubungan apa-apa, hubungan aku dan Banun hanya sebatas hubungan teman kerja, tidak lebih. Percaya sama aku.” Dia menundukkan kepalanya, “Well … mau teman, mau pacar, mau kalian menikah, aku gak peduli. Atur aja hidupmu dan siapa yang kamu pilih jadi pasanganmu, begitu juga dengan aku, aku minta kamu gak usah lagi ribut ngurusin urusan aku, kamu gak usah lagi heboh nanyain hubunganku dengan Rangga atau dengan pria manapun. Karena aku akan jalan dengan siapa pun yang aku mau, aku akan pergi dengan siapa pun yang aku kehendaki, dan kamu, kamu tidak ada hak untuk mengatur atau bahkan melarang dengan siapa aku jalan, paham?” tanpa menunggu jawabannya, aku keluar, kali ini benar-benar keluar dari pantry tanpa melihat ke arahnya, aku mengabaikan Prana. Aku tidak mau lagi terlibat dalam cerita cintanya dengan Banun, aku gak mau lagi ikut dan ditarik paksa harus tau mengenai kisah cintanya dengan wanita manapun. Ketika sampai di ruanganku, aku melihat Rangga ada di sana, aku tidak menyangka kalo Rangga datang, “Loh, Ga, ngapain? Kok ke sini gak ngabarin?” dia tersenyum, senyuman yang membuatku nyaman, senyuman tanpa penghakiman, senyum tulus yang tidak pernah berubah sejak belasan tahun lalu. “Aku harus izin dulu, ya, kalo mau ke sini? Aku ada rapat dengan Pak Anhar, jadi sekalian aku bawain kamu makan siang, itu di tanganmu, sudah gelas kopi yang keberapa yang kamu habiskan hari ini, Tan?” aku melotot ke arahnya, “Sok tau, ini tuh baru ya. Hari ini gelas ini adalah gelas pertama, sejak pagi aku gak bisa beranjak dari kursiku, bahkan untuk salat aja aku memilih salat di situ,” aku menunjuk space kosong di sebelah meja, “Lebih efisien dan tidak ribet. Bisa napas dengan baik dan otak gak ngebul aja udah sukur banget.” Rangga tertawa lebih keras, mengundang Prana yang rupanya baru keluar dari pantry. Demi mendengar suara Rangga, Prana menengok dan berbelok ke ruanganku, lalu menyapa Rangga, “Loh, Pak Airlangga, lagi kunjungan toh, Pak. Atau spesial ke sini karena mau menemui staf akunting paling kece se-kantor ini?” di balik senyumnya ada kata-kata sini yang bisa aku deteksi. Rangga hanya mengangguk, “Iya, nih. Sengaja main ke sini karena mau ketemu sama Bu Tania, mau ketemu juga sama Pak Anhar, kami ada janji.” Demi tidak adanya adu tanya, aku memilih untuk mengantarkan Rangga ke ruang meeting, “Ga, Pak Airlangga maksud saya, mari saya antar ke ruang meeting, nanti saya panggilkan Pak Anhar.” Rangga seperti enggan beranjak dari ruanganku, aku menarik paksa tangannya, “Hayok, ih, bangun. Aku antar ke ruang meeting. Yani, tolong kasih tau Pak Anhar di ruangannya kalo Pak Rangga sudah datang, ya.” Yani mengangguk, “Baik, Mbak.” Lalu aku bilang ke Banun, “Kalo ada kurir antar barang dari store, terima, ya, Nun.” Banun yang lagi asik melirik secara sembunyi-sembunyi ke arah Prana, mengangguk tanpa melihat ke arahku, karena kesal diabaikan, aku memanggil Banun agak keras, “Nun, barusan dengar gak, apa yang saya ucapkan? Saya ngomong apa barusan?” Banun tergagap, senyumnya seperti dipaksakan, “I-iya, Mbak, aku dengar.” Aku yang kesal, langsung menjawab ucapannya, “Kalo lagi diajak ngomong tuh biasakan lihat ke arah siapa yang bicara, jangan mata ke mana, kuping ke mana. Barusan saya berasa ngomong sama tembok, tau?” Banun menunduk, “Iya, Mbak Tan, maaf.” Tanpa menjawab lagi, aku jalan duluan di depan sementara Rangga mengikutiku dari belakang. “Galaknya kamu tuh gak pernah berubah, ya. Aku yang gak dimarahin aja berasa ikutan serem loh, kamu marah tadi, apalagi anak itu, bagus dia gak pipis di tempat.” Aku menggeleng, “Ya gak mungkin lah dia pipis di tempat. Aku gak suka, kalo lagi ngomong gak dianggap, aku gak suka kalo …” Rangga mengangguk dan meneruskan ucapanku, “Kamu gak suka kalo ada yang merengut di depanmu, kamu gak suka kalo janjian eh yang diajak janjian gak tepat waktu, kamu gak suka bubur kacang ijo, kamu gak suka sarden kaleng, kamu gak suka kacang merah. Betul, kan?” aku yang tadinya sebel sama Banun, malah jadi ketawa karena ucapan Rangga barusan, “Ya ampun, Bapak Airlangga, hapal banget, Pak. Untung saya bukan perempuan yang suka kegedean rasa kayak anak gadis-anak gadis yang baru kenal cinta, loh. Untung rayuan Bapak Airlangga sudah mental, nih, udah gak kena di telinga saya.” Aku dan Rangga tertawa, “Kamu dari dulu, kapan sih pernah pekanya. Kamu tuh pura-pura gak sadar kalo di SMA tuh banyak yang suka sama kamu, tapi karena kamu jutek gitu, galak, cowo tuh pada sungkan deketin kamu.” Aku menanggapi ucapan Rangga dengan tertawa, “Bagus, donk. Jadi aku gak terjebak cinta monyet, cinta yang cuma bagus dan baik di awal doank, tapi giliran ada cewe laen dari sekolah laen atau dari kelas lain yang lebih mulus dikit, kalian tuh, lelaki pada berpaling.” Rangga balas tertawa, “Nah, itu istimewanya kamu. Malah bikin penasaran dengan sikapmu yang begitu.” Dan obrolan kami berakhir ketikan Pak Anhar masuk ke ruangan bareng Prana, “Wah … lagi ngobrol asik, nih, Pak Airlangga. Maaf, ya, jadi mengganggu. Kebetulan ada Bu Tania di sini, kita sekalian meeting aja, ya. Pak Prana juga sudah ada di ruangan ini.” Aku mengangguk, “Saya izin sebentar balik ke ruangan, mau ambil laporan progress project Pak Airlangga.” Aku pamit sebentar untuk kembali ke ruangan dan harus melewati Prana karena dia masih berdiri di depan pintu, “Permisi, Pak Prana.” Dia diam, berdiri seperti patung, “Pak, permisi, saya mau keluar.” Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya, baru setelahnya dia tergagap, dan tersadar lalu menyingkir dan akhirnya memberiku jalan.” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN