Keliling Kota

1190 Kata
Sepanjang meeting hari ini, aku melihat mata Prana tidak lepas se-detik-pun dari menatapku kecuali ketika dia diajak bicara sama oleh Pak Anhar dan Rangga, selebihnya, selama meeting dia lebih sering menunduk, menatapku, lalu melihat ke layar presentasi, menunduk lagi, menatapku lagi, begitu terus yang dilakukannya. Sekitar satu jam setengah meeting diadakan, akhirnya Pak Anhar menyudahi meeting dengan memutuskan sebelum akhir bulan Maret ini, kebutuhan untuk buat contoh beberapa produk yang nantinya akan ditunjukan ke Rangga. Setelah selesai semua, sebelum kembali ke ruanganku dan Rangga kembali ke tempat kerjanya, Rangga kembali mengingatkanku bahwa nanti sore dia akan menjemputku seperti biasa, “Nanti sore, aku jemput seperti biasa, ya, Tan. Setengah lima sudah siap.” Aku mengangguk. dengan kebiasaan baruku ini, sepertinya Bu Arini dan Pak Anhar paham bahwa aku menolak untuk lembur. Tidak berapa lama, Prana masuk ke ruanganku, “Ternyata kalian memang sedekat itu, ya, Tan?” tanya Prana tiba-tiba. Aku kembali mencoba mencerna apa maksud dari ucapan Prana barusan, tidak merespon apa-apa, aku hanya diam, dan mataku tetap lurus ke layar laptop, sementara Banun dan Yani yang pura-pura sibuk, padahal aku tau, mereka sedang menajamkan telinganya untuk mendengar percakapanku dengan Prana. “Tania, apa tidak ada artinya lagi ucapanku kemarin, sebelum Pak Airlangga datang, apakah tidak ada yang bisa aku terima balasan darimu atas ucapanku yang kemarin?” aku menenglengkan kepalaku ke arah kanan, dan melihat Prana dengan tatapan lempeng, “Ucapan apa? Ucapan yang bagaimana?” Prana mendekus, “Kamu memang gak pernah menganggap serius ucapanku, Tan.” Dia ngeloyor pergi, keluar dari ruangannya. Aku yang kesal dengan yang diucapkannya menyahuti ucapan tersebut, “Kalo aku anggap ucapanmu kemarin-kemarin itu serius, hari ini aku sudah sakit hati banget. Ucapan dan tingkah lakumu gak singkron, ucapanmu ke aku begitu, tapi tingkah dan perilakumu ke perempuan lain seperti itu.” Aku menutup laptopku, menuju ke ruangan Pak Anhar, “Pak, maaf ganggu. Saya izin pulang cepat, ya, hari ini. Saya kurang enak badan.” Pak Anhar mengangguk, “Iya, Bu Tania. Silakan, istirahat, Bu, lekas sehat. Kalo butuh mobil kantor dan diantar sopir ke rumah sakit, silakan, ya.” aku mengangguk, menolak dengan halus, “Tidak perlu, Pak. Saya naik taksi online saja. Terima kasih atas izinnya, Pak. Saya permisi.” Setelah menutup pintu ruangan Pak Anhar aku kembali ke ruanganku, mematikan laptopku, dan membereskan mejaku. Aku gak mau pegang kerjaan lagi di sisa hari ini, aku mau menghilang dulu, biar bisa menenangkan hatiku. “Loh, Mbak Tania, mau kemana?” Yani yang melihatku berkemas, bertanya aku mau ke mana, “Mau istirahat. Kepalaku tiba-tiba sakit. Kalo ada urusan kerjaan tolong dihandle dulu, kalo butuh persetujuan cepat langsung teruskan ke Pak Anhar, tapi laporan kegiatan harian tetap diisi, ya. Besok saya cek.” Yani mengangguk. Tidak berapa lama Banun bersuara, “Asik, berarti nanti sore aku bisa minta antar Pak Prana pulang.” Aku tidak menyahuti, hanya Yani yang mengeluarkan desis seperti ular, dan menyenggol bahu Banun, “Ssstt … kebiasaan. Arah rumah kalian beda, jangan suka memaksakan sesuatu yang gak seharusnya terjadi.” Banun cemberut, aku yang melihat wajahnya seperti itu langsung menegurnya, “Kamu tuh jangan kebiasaan begitu, Nun. Kalo ada ucapan orang yang gak sesuai sama hatimu mukamu langsung berubah gak enak, merengut. Aku paling gak suka kalo liat muka kamu seperti itu. Emang ada salah apa saya sama Yani sampe kamu kasih wajahmu yang merengut, ditekuk seribu, dan gak enak dipandang itu. Suami kamu gak kami ambil, gaji kamu gak kami ambil, apa yang kami lakukan hingga kamu kebiasaan banget nampakin mukamu yang asem itu?” aku udah gak tahan lagi, berantem-berantem deh, sini, gak apa-apa. Aku menunggu jawaban Banun, berharap dia menjawab ucapanku jadi aku bisa menumpahkan lagi kekesalanku, tapi dia malah menunduk, dan meminta maaf, “Maaf Mbak Tan, Mbak Yani. Saya gak ada maksud apa-apa, kok.” Aku melihat aplikasi taksi online di handphoneku, terlihat ada panggilan masuk, “Bu, saya sudah di depan loby kantor.” Aku mengiyakan dan bergegas bangun dari dudukku, sambil berjalan keluar, “Diubah kebiasaan burukmu itu, Nun.” Dia hanya mengangguk, aku gemas, kesal, karena tidak bisa melampiaskan kemarahanku lagi. Dan ketika lewat ruangan Prana, dia melihatku, lalu bangun dari duduknya, dan mensejajari langkahku, “Tan, Tania, mau kemana? Tan …” dia menarik tanganku, aku mengibaskannya, “Apasih, lepas. Aku mau pulang, mau hilang dulu sebentar, otakku udah capek banget. Ngadepin kamu, ngadepin kerjaan, ngadepin ketidakjelasan perasaanku. Bisa gak kamu gak usah muncul di depanku, sebentar aja, sebentar Prana.” Entah kenapa air mataku jatuh tanpa bisa aku tahan. Prana mendekat ke arahku, aku mendorongnya, “Jangan, kamu jangan mendekat. Cukup kemarin kamu buat aku bahagia, lalu kamu campakkan aku dengan cara pergi berduaan dengan Banun, menanggapi becandaannya, CUKUP!” Prana mundur beberapa sentimeter dari tempatku berdiri. Beberapa orang melihat ke arah kami, karena lift beberapa kali sudah berhenti dan aku abaikan, lift kali ini yang datang tidak aku sia-siakan, aku melompat masuk ke dalamnya dan meninggalkan Prana dalam keadaan bingung, aku tidak bisa menafsirkan tatapannya itu. Setelah sampai ke depan lobi aku langsung masuk ke dalam mobil, dan meminta maaf ke sopir taksi online tersebut karena lama menungguku, “Maaf, Pak, lama nunggunya.” Untung si bapak baik, dia hanya mengangguk, dan bertanya sekali lagi untuk memastikan tujuanku. Selama perjalanan aku lebih banyak diam, beberapa kali handphoneku berdering tapi aku abaikan. Aku yang sedang tidak enak ke mana-mana, akhirnya meminta si bapak untuk keliling saja di kota ini, “Pak, boleh gak kalo kita batalin ke mall tadi, tapi Bapak bawa saya keliling kota, ke mana aja, Pak.” Bapak tersebut meng-iya-kan tanpa banyak bertanya, “Lagi pengen jalan-jalan, ya, Neng? Tapi kita sampein ke mall itu dulu, ya, Neng, biar Bapak bisa menyelesaikan orderan.” aku mengangguk, “Bebas, Pak. Tolong jangan hidupkan radio atau musik, ya, Pak. Saya lagi pengen diem aja, pengen tenang.” Setelahnya pak supir membawaku keliling melewati jalan besar juga jalan-jalan kecil, terjebak macet, aku tidak peduli. Aku ingat kalo sore ini ada janji sama Rangga, aku mengambil handphoneku, lalu mengetikkan pesan untuk membatalkan rencana kami hari ini, “Ga, sorry, hari ini aku lagi gak enak banget. Rencana hari ini kita cancel, ya. Nanti aku kabarin lagi kapan kita bisa ketemu.” Setelah aku kirim, handphone aku masukkan lagi ke dalam tas, menikmati perjalanan. Berhenti sebentar di mini market, beli makan dan minum untuk aku dan pak supir yang tadi baru aku tau namanya Ahmad. Lalu kami mampir di masjid untuk salat ashar, terus lanjut lagi perjalanan, sampai Pak Ahmad bilang izin isi bensin dulu. Dan begitulah. Aku baru minta diantarkan pulang setelah hampir jam setengah enam sore. Sesampainya di depan kostan, aku menanyakan berapa biaya keliling hari ini, Pak Ahmad menjawab, “Berapa dikasih sama Neng, Bapak terima. Bapak udah makasih banget bisa bikin Neng senyum lagi.” Aku menyerahkan tiga lembar uang setarus ribuan, dan diterima hanya dua lembar, “Dua ratus ribu aja, Neng, cukup. Makasih, ya, Neng. Semoga semua masalah yang dihadapi sama Neng segera selesai.” Aku mengangguk, mengucapkan terima kasih ke si bapak, lalu bergegas masuk ke dalam kostan. Walaupun tidak sepenuhnya lega dan masalahku jadi hilang, minimal ruwet di kepalaku berkurang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN