Aku Bukan Ibunya

1105 Kata
Ketika sedang asik menyantap empek-empek yang tinggal sedikit lagi, tiba-tiba Yani nyeletuk, “Eh si Bunda kemarin ngamuk, anak produksi takut bener kalo ibunya sudah marah begitu,” seloroh Yani di sela kunyahannya. Ehm air liurku hampir menetes karena tak sabar menghabiskan gigitan terakhir empek-empek pesananku. “Kok Aryani di panggil Bunda sih? Perasaan umurnya masih mudaan dia dari pada saya?” tanyaku penasaran dan heran, sih, lebih tepatnya. “Karena di divisinya dia yang paling tua, Mbak. Paling dewasa, dan mengayomi anak-anaknya dengan baik, termasuk anak produksi yang bandel-bandel.” Banun menjelaskan, sedangkan aku hanya mengangguk mengerti. Bicara soal Banun, jika kalian ingin berkenalan dengannya, dia adalah gadis asal Palembang yang sangat cantik. Usianya baru saja dua puluh dua tahun, sudah satu tahun dia gabung di perusahaan ini. Mushaf berwarna pink selalu dia bawa saat bekerja, lalu bertilawah saat senggang. Khimarnya yang panjang membuat dia terlihat semakin cantik, beberapa kali didekati oleh pria-pria di kantor, tetapi dia selalu berusaha menolak dengan halus. Tipe perempuan saliha. Apa lagi denger-denger dia sudah hafal Al Quran hampir 6 juz. Sedangkan Yani, dia adalah seorang ibu dari putri kecil yang berusia tiga tahun. Suaminya meninggal karena kecelakaan kerja dua tahun yang lalu. Saat hendak menghidupkan mesin press, kabelnya terkelupas hingga akhirnya dia tersengat listrik dan meninggal di tempat, saat itu juga. Selain mendapatkan santunan Yani di rekrut menjadi salah satu staf di kantor ini. Sehingga dia yang menggantikan suaminya menjadi tulang punggung di keluarganya. Aku dan Yani sama-sama janda, hanya berbeda status saja. Dia janda cerai mati sedangkan aku janda cerai hidup, Yani juga memiliki anak satu, sedangkan aku dicerai karena tidak kunjungbisa memberikan anak untuk suamiku. Kami sama-sama tahu bagaimana rasanya menyandang status ini. Serba salah di mata masyarakat. Untungnya Yani selalu memberikan kekuatan untukku. Dia masih muda, usianya terpaut empat tahun dariku, tetapi selalu punya pemikiran yang dewasa. Sangat meneduhkan setiap nasihat dan wejangan yang dia berikan. Ketika sedang jengah dengan pandangan negatif orang-orang dengan status ini, “Biarkan aja, Bu, orang-orang mau ngomong apa. Yang pasti, kita janda terhormat, berpisah karena takdir, bukan karena selingkuh atau ngambil suami orang, apalagi sampai menganggu rumah tangga oran lain. Nauzubillah. Lurus saja jalan kita, insyaallah bakal dibimbing dan dilindungi Allah.” Itu yang sering dia ucapkan. “Mangga, Mbak.” Teh Lilis memberikan segelas teh hangat, untuk melepas dahaga setelah makan empek-empek yang nikmat itu. “Nuhun, Teh.” Jawabku. “Mbak, Pak Prana kok gak ikut?” selidik Banun. Rupanya dia masih penasaran, kenapa Prana tidak makan siang dengan kami. “Tadi, sih ngajak makan bareng,” jawabku. “Trus kenapa?” “Kamu pengen banget di traktir ya, Nun? Sini Teteh aja yang traktir,” pungkas Yani. “Ya enggak, aneh aja. Biasanya ngintilin Mbak Tania, udah kayak ibunya aja.” Deg. Hatiku mencelos, mendengar Banun bicara seperti itu. Ibu katanya? Se-tua itukah aku, di mata Banun? Atau karena perawakanku yang gemuk, jadi aku diperlakukan dan dianggap seperti ibu-ibu. Seketika semangatku runtuh. Aku jadi bertanya-tanya, jika Banun saja, yang perempuan nganggep aku begitu, apalagi Prana, pria yang masih mudah? Eh … kenapa tiba-tiba aku jadi mikirin Prana dan pandangannya tentangku, sih. “Dia ke Punclut, di ajakin sama Ferdi.” Akhirnya aku jawab pertanyaannya. Kadang, aku merasa istirahat itu lebih baik sendirian, menikmati makanan di waktu yang terbatas tanpa ada gangguan sana-sini. Banun terlalu cerewet, segala macam dia tanyakan. Bahkan aku melihat Prana kadang terkesan tidak nyaman dengan obrolan Banun yang sedikit kepo. Terlalu ingin tahu urusan orang. Usai makan, kami kembali ke Kantor. Di atas meja ada sebuah bungkusan, terdapat sehelai post it dengan tulisan, “Habiskan, ya. Prana.” Aku mengernyit bingung, bukannya dia ke Punclut? Kok cepet banget. Dari aromanya ini adalah pisang. Setelah aku buka ternyata memang pisang goreng yang dibuat memanjang berbentuk kipas. Di balut dengan tepung panir dan diberi topping parutan coklat blok juga keju. “Apa itu, Mbak?” tanya Yani. “Oh, bukan apa-apa,” jawabku. Sebisa mungkin aku menutupi hal ini, bukan karena tidak mau berbagi makanan dengan mereka. Hanya saja aku lihat di meja mereka tidak ada bungkusan yang sama. Artinya Prana hanya memberikan ini untukku saja. Ah, Prana, kenapa hanya aku yang selalu mendapat perhatian kamu. * Masalah demi masalah di kantor dapat diselesaikan dengan baik. Artinya tidak ada lembur lagi dan aku bisa segera pulang saat jam kantor usai. Seperti saat ini, entah bagaimana ceritanya aku terdampar di Harmony, sebuah coffee shop yang berkonsep seperti perpustakaan atau taman baca. Terdapat ribuan buku yang memenuhi seluruh dinding di sisi kanan dan kiri. Meja memanjang berada di tengah. Aku suka tempat ini, rasanya penat yang aku bawa di punggung luruh begitu saja kala mencium aroma kopi juga buku yang menguar. Dan satu hal lagi, aku lebih suka sendiri, menikmati kopi juga Gadis Pantai, n****+ karya Pramoedya Ananta Toer yang fenomenal. Dalam n****+ ini, Pram mengisahkan seorang perempuan berusia 14 tahun yang berasal dari kampung nelayan di pesisir utara Jawa Tengah, Kabupaten Rembang. Sudah berkali-kali aku membaca kisah ini, akhir kisahnya yang tragis menjadi salah satu penguat untukku. Setidaknya meski pernikahanku kandas, tetapi aku tidak bernasib malang seperti Mas Nganten, yang diusir Bendoro suaminya setelah melahirkan anak perempuan. Aku tenggelam dalam nikmatnya Americano, pahit yang menempel di lidah cukup membuat mataku melek. Terkadang kita perlu sesuatu yang pahit untuk tetap berada dalam kewarasan. Saking asiknya baca aku terkaget kala gawaiku berdering. Prana. Dia menelponku. “Assalamualaikum,” ucapnya. “Waalaikumsalam. Ada apa?” sahutku setelah menjawab salam dia. Agak malas karena tengah asyik dengan n****+ yang aku baca. “Sama siapa di Harmony,” tanya Prana. Sontak aku mengedarkan pandangan. Dari sudut ruangan aku dapat melihat Prana melambaikan tangan. Dia satu meja dengan beberapa pria sebayanya. “Sendirian,” jawabku, agak kaget kok dia bisa tau, aku di sini. Dan menemukan Prana di kejauhan sana, setelah beberapa kali aku mengdarkan pandangan mencari-cari sosoknya. “Mau ditemani?” tanya Prana. “Gak usah Prana, aku gak mau berduaan. Lagi pula sebentar lagi aku pulang.” “Oke, hati-hati.” “Terima kasih.” Walau agak jauh aku dapat melihat dia tersenyum. Beberapa kali melihat ke arahku dan jujur ini membuat konsentrasiku pecah. Sejak pernyataan Prana waktu itu, ada rasa yang menyusup perlahan-lahan. Perasaan yang tidak bisa aku jabarkan dalam sebuah kalimat. Aku tidak nyaman dengan perlakuannya yang selalu perhatian. Namun, aku juga tidak suka kala dia memberikan perhatian itu untuk orang lain. Banun misalnya. Aku sudah tidak dapat berkonsentrasi karena sapaan Prana barusan. Lagian, aku baru ngeh kalo sebentar lagi magrib tiba, setelah melihat jam. Sejujurnya keberadaan Prana juga menjadi salah satu alasannya. Untuk alasan itu juga aku memilih pulang dan meminjam beberapa n****+ untuk aku bawa pulang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN