Rasa yang Berbalas

1070 Kata
Keesokan paginya, ketika aku baru sampai di kantor, dan menuju ke pantry untuk menyeduh kopi, sebelum memulai pekerjaan hari ini, seperti biasa juga, Prana sudah ada di belakangku, ngintilin. “Sering ke Harmony?” tanya Prana saat dia menghampiriku di pantry. “Lumayan, kalo lagi senggang, gak ada kerjaan, dan lagi pengen baca-baca buku, aku suka ke sana.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandanganku dari lampu indikator dispenser yang belum berubah warna menjadi merah, menandakan jika air yang dimasaknya sudah mendidih. “Lain kali kita nongkrong bareng, ya,” ajaknya. Aku hanya mengangguk, dan seperti ada teriakan dan tepuk tangan kecil, malu-malu, dari penjuru hatiku. Tapi gegap gempita, sorak sorai tersebut tiba-tiba berhenti tepat ketika ada suara yang tidak menyenangkan, suara yang aku tidak suka, belakangan ini, menyahuti ucapan Prana. “Aku di ajak juga gak, Pak?” tanya Banun yang tiba-tiba muncul, entah dari negeri antah berantah mana. Kok bisa aja, dia menemukan Prana dan aku di sini, seperti tidak rela kalo Prana ngobrol atau berinteraksi denganku. “Iya, apa sih yang enggak buat kamu, Nun.” goda Prana. Banun terlihat malu-malu. Aku kurang suka melihat kelakuan dan cara mereka berinteraksi berdua, yang satu suka bikin baper, yang satu suka banget kalo di-baper-in. Cocok banget lah ini makhluk berdua, apaan deh. Saat lampu indikator dispenser berubah menjadi merah, segera aku isi cangkir yang sudah berisi bubuk kopi kemasan dengan air panas. Lalu aku memutuskan untuk pergi tanpa pamit, meninggalkan mereka berdua tanpa kata. Langkahku yang belum terlalu jauh, sehingga membuatku masih bisa mendengar ucapan ketika Banun bertanya pada Prana, “Ibu kamu kenapa, Pak?” Ibu? Please lah, yang benar saja, bisa-bisanya aku dipanggil ibunya Prana, aku se-tua itu, ya? Ingin sekali aku kembali ke pantry dan berkata bahwa aku bukan ibunya. Tapi kuurungkan niat tersebut dan memilih kembali ke meja dengan mood yang berubah berantakan. Sisa hari itu aku habiskan dengan uring-uringan, rasanya semua yang aku lakukan salah, semua yang aku lihat tidak tepat, ada aja celanya. “Dia bukan ibuku, dia lebih cocok untuk jadi calon ibu dari anak-anakku, sepertinya, gimana menurutmu, Nun?” yang ucapan itu hanya bisa kutangkap selintas lalu, tidak bisa kudengar dengan jelas sama sekali. * Duniaku ini hanya berputar seputar kostan, kantor, toko buku dan kafe Harmony juga laundry, dan di luar beberapa tempat rutin itu, tidak ada lagi tempat lainnya yang aku kunjungi dan  alasan lainnya juga adalah tidak ada tempat yang lebih istimewa. Udara dinginnya kota Bandung pagi hari membuat keinginan untuk tarik selimut sangat besar. Sayangnya aku adalah seorang karyawan yang harus patuh datang tepat waktu dan kadang harus pulang melewati jam pulang yang seharusnya. Terkadang, semangat untuk melangkahkan kaki menuju kantor itu teramat sangat berat. Satu jam perjalanan menembus kemacetan, lalu harus mencium aroma kayu yang setiap hari diolah di pabrik dan bertemu dengan orang itu-itu saja. Orang yang kadang membuatku kesal, seperti Banun. Gadis itu sebenarnya manis, baik hati, saliha, dan ramai. Hanya saja kadang dia keterlaluan bercandanya, contohnya seperti kemarin, ketika saat itu dia bilang seolah-olah aku adalah ibunya Prana. Iya, sih, badanku emang gemuk, iya, sih, umurku memang lebih dewasa dibandingkan Banun, Yani, bahkan Prana. Tapi, ya, gak dipanggil ibu juga, kan. Kalo mengingat kejadian itu, tiba-tiba jadi kesal sendiri, jadi uring-uringan, dan berakhir jadi tidak semangat pergi ke kantor. Tapi, seperti sudah aku bilang tadi, mau tidak mau, pagi ini aku kembali lagi ke kantor. Setiap hari seperti deja vu. Kalau kalian tau, artinya, bahwa apa yang aku lakukan hari ini, seperti pernah terjadi di waktu kemarin. Karena memang benar, apa yang aku kerjakan hanya memarkirkan mobilku, lalu berjalan menuju kantor, melewati pos satpam dan melihat pergantian orang yang jaga di sana, lalu masuk ke dalam, absen, melihat Pak Dirman sedang bersih-bersih, menaruh tas di mejaku, menyalakan laptop, ke pantry, panasin air di dispenser, seduh kopi lalu meminumnya, dan kalo masih ada waktu, aku lebih sering memilih untuk diam di depan jendela yang ada di ruanganku, menghadap ke jalan raya yang padat merayap, carut marut macetnya. Jika kalian membaca runtutan kegiatanku yang monoton, dan kalian bosan, sama, sejujurnya, aku juga. Pagi ini, hal tersebut pun terulang, dan sekarang sedang berjalan sendirian menuju ke ruanganku, sementara karyawan lain belum datang. Lalu mengingat-ingat pekerjaan penting apa yang harus aku prioritaskan untuk dikerjakan duluan dan juga tugas-tugas lain yang memang sudah seharusnya aku kerjakan. Hanya saja, jika kemarin bosannya terasa banget, bedanya kali ini ada semangat yang membersamaiku menuju kantor, yah, walaupun tetap bosan tapi minimal, ada yang masih bisa kujadikan alasan untuk semangat, dan sumbernya ada lah senyuman Prana yang menularkan energi positif bagi orang di sekelilingnya. Lamunanku, dibuyarkan oleh sapaan khas Pak Dirman, OB di kantor, “Baru sampai, Bu, tumben agak siang?” sapa Pak Dirman. “Barusan ada razia kendaraan bermotor di Cileunyi, Pak. Lumayan bikin macet, tapi kayaknya aku masih tetap kepagian, deh, Pak. Buktinya aku tetap yang datang paling pagi,” jawabku sambil ketawa yang disambut anggukan kepala Pak Dirman. “Bener juga sih. Kalo soal kedisiplinan, gak ragu deh, Bu Tania paling oke. O iya, Mau saya bikinkan kopi?” tawar Pak Dirman. “Bapak nawarin kopi mulu, gak usah, Pak. Nanti kalau pengen saya bikin sendiri, anak-anak sudah ada yang datang belum?” Aku melihat jam yang melingkar di tangan, belum pukul 8 suasana masih sangat sepi, hanya ada lalu lalang karyawan produksi yang melintas menuju gerbang dua. “Baru ada Bu HR sama Pak Prana,” jawab Pak Dirman. Rupanya Prana sudah datang, malah lebih awal dariku. Ngomong-ngomong mengenai Pak Dirman, Melihat beliau aku seperti melihat Bapak di kampung. Gurat-gurat di wajahnya menandakan usianya sudah tidak lagi muda. Kemudian aku pamit, melewati lorong kantor yang sepi dan kaget kala melihat dia, Prana, duduk di kursiku. Aku memperhatikan gerak geriknya. Tangannya memegang bingkai foto. Foto aku, Ibu, dan Bapak. Lalu berdehem, agar Prana tau kalo aku ada di situ, “Ehem … pagi Pak Prana.” “Assalamualaikum, Tania. Maaf, tadi saya lewat trus liat foto ini, hehe,” ucapnya dia sedikit gelagapan seperti maling yang sedang tertangkap basah. “Waalaikumsalam. Ngapain Prana duduk di sana, masih pagi loh ini, udah nenangga aja.” Aku melihat cangkir kopi yang sudah ada isinya, masih mengepul, tandanya dia baru saja bikin, dan mengangkatnya, “Nganterin ini. Tapi kok tumben, datangnya lebih siang dari biasanya, saya nunggu dari tadi.” Dia berputar mengitari meja, dan duduk persis di depan mejaku. “Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan, ada waktu nanti siang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN