Interogasi

1055 Kata
Seperti yang dibicarakan dan diagendakan kemarin, hari ini akan datang petugas dari kepolisian yang akan memintai keterangan dari pihakku. Maka setelah sarapan, mandi, dan salat duha, ada beberapa orang yang datang ke rumah sakit, dua orang polisi wanita dan dua orang polisi pria yang datang. Aku yang masih suka kaget dan histeris jika ada pria yang masuk dan dekat denganku tiba-tiba, berteriak kecil melihat hal ini. Tapi kemudian petugas wanita yang menjelaskan bahwa yang akan menginterogasiku hanya mereka berdua, wanita, “Tenang, Mbak Tania. Kedua petugas tersebut hanya akan berada di luar dan berjaga-jaga. Yang akan menginterogasi Mbak Tania hanya saya, Ranita dan rekan saya, Anisa.” Polisi wanita, yang memperkenalkan diri tersebut, Ranita dan Anisa memulai investigasinya dengan obrolan ringan. Tidak langsung mengarah ke waktu di mana kejadian yang mengerikan itu terjadi, mereka menanyakan keadaanku, apa makanan kesukaanku, lalu di mana aku bekerja, posisi apa yang aku jabat di perusahaan tersebut, lalu perlahan bertanya mengenai kedekatanku dengan Prana, “Prana teman kerja saya, Bu Ranita. Kebetulan kemarin saya sedang tidak enak hati, butuh untuk menyendiri, jadi hari itu saya tidak masuk kerja. Tapi memang tidak ada yang saya kabari, bahkan pihak kantor, hari itu saya bolos bekerja, dan handphone saya memang dimatikan. Prana yang sehari-harinya sering ngobrol, makan siang, dan berinteraksi dengan saya, rupanya bingung dengan sikap saya dan khawatir, karena saya tidak bisa dihubungi berkali-kali. Menurut cerita yang saya dapatkan dari Prana karena hari itu dia beberapa kali ada kesempatan keluar dari kantor, maka dia menggunakan kesempatan itu juga untuk mampir ke kostan saya, tapi tidak bisa sampai masuk ke pekarangan kostan. Karena memang kostan saya ketat pengawasan dan penjagaannya. Jadi ketika sore hari saya pulang, dia sudah menunggu saya di depan gerbang dan bilang kalo saya harus pindah kostan secepatnya, karena sejak tadi dia bolak-balik ngecek saya, ada orang yang mencurigakan seperti sedang mengintai kostan saya, dan dia kenali orang tersebut adalah Abizar.” Aku menarik napas, berusaha sekuat tenaga untuk tidak nangis ketika harus mengingat ulang kejadian kemarin. Rangga, Ibu, dan Bapak yang berada di ruangan itu seperti memberi kekuatan untukku. Tapi kemudian aku sadar, masih ada Bapak dan Ibu di sana. Aku tidak mau mereka ada di sini, jadi aku meminta Rangga untuk membawa mereka keluar, “Ga, tolong ajak Bapak sama Ibu keluar sebentar, ya. Aku gak nyaman ngomong ini kalo rame orang.” Terlihat Ibu yang seperti ingin protes, tapi kemudian Bapak merangkulnya, “Bu, kasih Tania kesempatan dan waktu agar bisa melewati proses ini secepatnya.” Setelah mereka keluar aku meneruskan ceritaku, mulai dari Prana yang mengajakku makan bubur di ruang tamu kostan, Abizar yang mengetuk pintu kamarku yang aku kira Prana, dan beberapa kali juga Bu Riani dan Bu Anisa, kedua polisi itu mengulang pertanyaan yang sama dengan cara yang berbeda, aku sampai sempat kesal dibuatnya, “Tadi sudah saya ucapkan, Bu. Memang seperti itu,” aku tidak tau apa maksud mereka ini. Yang pasti sekitar dua jam aku melewati semuanya, menjawab pertanyaan mereka, mencoba mengingat kejadian dan posisi di mana Abizar mengikat tanganku, apa yang dia lakukan, sempat juga aku terdiam, merasa hal yang akan aku ucapkan ini adalah hal yang sangat pribadi, “Saya malu, Bu, ngomongnya …” tapi kemudian kedua wanita ini meyakinkan aku bahwa semua kesaksianku ini akan digunakan untuk memutuskan hukuman yang akan diterima Abizar nanti, “Mbak Tania harus kuat. Kalo memang kasus ini mau dilanjutkan, semua cerita dan kejadian kemari harus diutarakan. Nanti di persidangan, Mbak akan dihadapkan dengan Abizar, bahkan kejadiannya akan lebih berat dari ini, Mbak yakin kalo mau meneruskan proses ini?” tidak perlu berpikir dua kali, aku langsung mengangguk, “Nah, kalo memang sudah yakin, Mbak juga harus kuat, ya.” aku mengangguk. akhirnya Drama ini berakhir. Setelah kedua polisi wanita itu selesai mengambil keterangan dariku, sebelum keluar dari kamarku, Bu Anisa bilang ke aku, “Jangan sampai lelaki ini lolos dari hukuman, Mbak. Mbak Tania harus sehat dan kuat, karena persidangan akan memakan tenaga juga menguras pikiran dan emosi, persiapkan diri Mbak.” Aku mengangguk. Kata-kata ini juga yang kemarin aku dengar dari Rangga. Dia sudah memperingatkanku, bahwa proses ini akan panjang, membutuhkan banyak tenaga, energi, dan kekuatan mental. Aku sudah bertekad, tidak akan ada yang bisa membuatku mundur walau seinci pun, aku tidak akan membuat hidup Abizar tenang, sampai dia merasakan hukuman yang pantas untuknya. Setelah beberapa saat para petugas kepolisian tersebut pergi, Ibu, Bapak, dan Rangga masuk kembali ke kamarku. Aku bisa melihat wajah Ibu masih seperti kurang senang dengan perlakuanku tadi, yang meminta mereka untuk menunggu di luar, sementara aku diperiksa dan diinterogasi polisi. Aku tidak melihat Prana dari tadi, “Prana kemana, Ga?” Rangga bilang kalo Prana harus ke kantor, “Prana lagi ke kantor. Katanya Pak Anhar memintanya untuk ke kantor dulu hari ini, kalo kerjaan udah beres, dia bakal balik ke sini. Aku dan Prana sudah sepakat akan menjagamu bergantian. Pagi sampai sore giliranku, nanti habis magrib sampai besok pagi Prana yang akan menjagamu.” Aku mengangguk. Sebetulnya aku juga ingin Ibu dan Bapak pulang saja, mereka bisa ke sini saat jam besuk dan pulang sebelum malam. Walaupun aku yakin, hal tersebut akan ditolak, “Pak, Bu. Kalo capek, Bapak sama Ibu pulang aja. Besok balik lagi ke sini. Kasian Bapak sama Ibu lelah gitu, tidur di rumah sakit pasti bikin gak nyaman, ya.” Ibu dengan tegas menolak, “Gak mau. Kalo Bapak mau pulang, silakan. Tapi Ibu mau di sini aja jagain kamu. Gak baik kamu di ruangan berduaan aja sama Rangga atau Prana, bukan Mahrom.” Yap, tepat seperti dugaanku. Jadi, daripada menghabiskan waktu untuk mendebat pasangan keras kepala ini, lebih baik aku membiarkan saja mereka di sini. Aku juga akhirnya bilang ke Rangga, dia bisa pergi aja kalo ada urusan, “Ga, kamu juga kalo ada kerjaan, ya, keluar aja dulu, gak apa-apa. Nanti kan bisa bolak balik ke sini.” Rangga menggeleng, “Aku ke Bandung ini hanya untuk keperluan melihat workshop produk-produk dari perusahaanmu, selebihnya semua pekerjaanku remote. Bisa aku kerjakan dari mana saja. Karyawanku mengirimkan laporan via email, tadi pagi aku sudah mulai ada meeting via internet dengan mereka. Kamu tenang aja, Tan, semua aman terkendali. Kamu yang harus memperhatikan kondisimu, bilang kalo ada yang dirasa dan gak nyaman. Jangan kebiasaan memendam apa-apa, hingga bikin kamu jatuh sakit, ya.” aku mengangguk tanda setuju dengan apa yang diucapkan Rangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN