Titah Ibu

1090 Kata
Hari ini aku keluar dari rumah sakit, belum sepenuhnya sembuh, tubuhku masih ada beberapa lebam dan luka yang belum kembali seperti semula. Tapi aku udah gak sabar lagi untuk pulang, aku udah gak betah lama-lama di rumah sakit. Bosan, pengen ketemu orang luar, gak suntuk tiap hari yang dilihat Suster Ria terus, Dokter lagi, suster lagi, itu aja bergantian. Karena belum sembuh sepenuhnya, Ibu memaksaku untuk pulang dulu ke rumahnya, tidak memperbolehkan aku balik ke kostan, “Jangan bantah Ibu, pulang ke rumah kita, biar Ibu sama Bapak bisa ngurus kamu dan memantau kesembuhanmu. Kali ini tolong nurut sama Ibu dan Bapak, Tan, usir dulu keras kepalamu.” Aku hanya bisa pasrah, kalo Ibu sudah turun tangan begini berarti titahnya absolut dan tidak bisa dibantah. Maka aku hanya mengangguk pelan, “Baik, Ibu dan Bapak tercinta. Aku nurut apa titah kalian.” Yang berbuah cubitan di lenganku oleh Ibu, “Udah gede, bikin khawatir aja kerjanya. Udahlah, kamu resign aja, bikin usaha di rumah sama Ibu.” Aku kaget dengan ucapan Ibu, “Ini Ibu ih, kok bisa-bisanya dapet ide begitu.” Ibu tidak merespon, wajahnya serius, aku yang mencoba becanda menyadari kali ini lagi-lagi Ibu serius dengan ucapannya, maka demi meredam gejala bergolaknya agresi militer Belanda ke lima, aku memeluk lengan Ibu, “Bu, Tania ini udah sehat. Sekarang hanya butuh istirahat sedikit lagi aja, setelah itu aku udah bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasa, ya.” Ibu melepaskan pelukanku di lengannya, “Dasar keras kepala. Kamu emang gak pernah mau dengerin omongan orang tua.” Lalu Ibu beranjak dari sampingku dan berjalan menuju ke arah lemari untuk membereskan semua baju-baju kami, aku, baju Bapak, dan baju Ibu sendiri. Sementara Rangga sejak tadi tidak terlihat, aku mencoba untuk mengirimkan pesan kepadanya, menanyakan di mana dia, “Ga, di mana?” tidak lama, masuk pesan balasan, bukan pesan, foto lebih tepatnya, “Calon suami yang tampan ini lagi di depan kasir, antri untuk beresin administrasi ruanganmu. Biar tuan puteri bisa lekas pulang ke kerajaannya.” Aku tertawa, Rangga paling bisa bikin aku ketawa, entah apa aja selalu bisa jadi bahan becandanya. Sekitar pukul sepuluh pagi, Dokter masuk ke ruangan, dan memberitahukan hasil akhir dari semua general check up kondisi tubuhku, “Secara keseluruhan sudah semakin membaik. Hanya saya mengharuskan Bu Tania untuk tetap kontrol dua minggu sekali, sampai benar-benar pulih. Jangan terlalu capek dulu, jangan mengangkat yang berat-berat dulu, karena khawatir dislokasi di pergelangan tangan kemarin yang belum sembuh betul jadi makin gak sembuh-sembuh.” Aku mengangguk, Ibu dan Bapak juga menjawab, “Kami yang akan memastikan, Tania akan sembuh dan sehat dulu baru boleh beraktivitas.” Bapak menekankan kalimat sehat dan sembuh. Aku menduga, Ibu dan Bapak sudah berkomplot untuk memaksaku mengambil cuti dan benar-benar membuatku tidak mengerjakan apa-apa di rumah. Dan setelah selesai semua urusan printilan rumah sakit ini, aku diantar Rangga, barengan sama Ibu dan Bapak di satu mobil, menuju ke rumah. * Sudah hampir satu minggu aku istirahat di rumah dan sudah dua kali aku ke kantor polisi untuk mengurus kasusku. Rangga dan Prana bergantian mengantarkanku. Kadang aku rishi juga, dua lelaki ini seperti gak mau melepaskan aku, padahal sekedar ke kantor polisi sendiri ya, aku bisa, gak harus diantar. Bukan karena apa, tapi ketika harus menceritakan lagi dan lagi kronologis kejadian malam itu, aku risih, harus menjelaskan detail, keadaan, posisi, dan kejadian, disaksikan dua makhluk ini. Aku sempat protes ke mereka, “Kalian gak usah nganterin aku, deh. Aku tuh malu, merasa hina banget aku karena kalian harus tau secara detail apa yang terjadi malam itu,” aku menjeda ucapanku, karena ada bening air yang mendesak keluar dari sudut mataku. Rangga menguatkanku, dia bilang bahwa dia dan Prana gak akan membiarkan aku sendirian menghadapi ini. Jadi mereka membuat kesepakatan, nanti jika harus mengantarkan aku ke kantor polisi lagi, mereka akan tunggu di luar, “Tan, kami gak mau ninggalin kamu sendirian dalam kondisi ini. Gini aja, deh, besok lagi, kalo kamu harus ke kantor polisi, aku atau Prana akan nunggu di luar aja. Jadi kamu gak merasa terganggu, ya.” aku mau mendebat, tapi percuma. Rangga dan Prana, dua lelaki yang keras kepala, dilarang pun justru seperti disuruh. Jadi aku mengalah dan setuju dengan syarat tersebut. Sidang pertamaku dijadwalkan dua minggu dari sekarang dan aku sudah hampir mati karena kebosanan. Jadi besok, aku akan masuk kerja, hal ini tentu saja mendapat tantangan dari Ibu, “Istirahat, Tan. Kondisimu belum seratus persen pulih.” Aku tau maksud Ibu, dia gak mau aku tersiksa karena harus berhadapan dengan orang banyak, sementara jiwaku belum siap, Ibu takut aku harus menghadapi pertanyaan dan pandangan yang tidak biasa dari orang-orang, tapi aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi kalo harus berdiam diri di rumah begini, jadi aku mencoba untuk meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja dan aku sudah siap untuk kerja lagi, “Aku sudah sehat, Bu. Insyaallah di kantor tidak ada orang yang akan menganggapku aneh atau menjahatiku. Aku udah gak betah di rumah, Bu. Bukan karena gak betah dekat sama Ibu dan Bapak, jangan salah paham, loh, ya. Cuma aku benar-benar gak tahan diam di rumah gak ada kegiatan gini, boleh, ya, Bu, aku kerja. Janji aku akan jaga diri. Aku bakal pindah kostan juga.” Ibu tidak meng-iya-kan tidak juga menolak permintaanku, tapi Ibu bilang, “Pilihannya hanya dua, kamu gak boleh kerja sampe proses sidang selesai atau kamu Ibu kasih izin kerja tapi kita akan kontrak rumah di sana, biar Ibu sama Bapak yang nemenin kamu.” Aku tepok pramuka, bukan, tepok jidat maksudnya sama kelakuan Ibu, “Bu, ya ampun. Aku udah gede, loh, Bu, ya gede badan, gede umur. Masa iya aku harus ditemenin sama Ibu dan Bapak juga?” Ibu menatapku dengan wajah serius, “Gak ada tawar menawar. Hanya dua itu pilihannya, kasih tau Ibu dan Bapak, kamu mau pilih yang mana.” Dan lagi, seperti biasa, kalo Ibu sudah begini tidak akan ada yang bisa membantah. Tidak punya pilihan lain, aku hanya bisa mengangguk, “Iya, deh. Aku tetap mau kerja. Jadi kita cari rumah ni, Bu?” Ibu mengangguk, “Jadi ini keputusan sudah fix, ya. Nanti Ibu minta tolong Teh Ika nyariin rumah. Kapan rencananya kamu mulai kerja?” aku menimbang-nimbang, cari rumah kan gak mudah, “Minggu depan, memungkinkan, gak, Bu?” Ibu menggeleng, “Cukup waktu satu minggu untuk cari rumah. Ini Ibu langsung hubungi Teh Ika.” Dan begitulah rencana Ibu. Aku harus menghubungi Mang Darma untuk kasih tau dia kalo aku mau pindah. Yang sekarang lagi dipikirin, gimana caranya beresin barang-barang yang ada di kostan lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN