Senyum Itu Bukan Untukku

1070 Kata
Waktu seakan berjalan cepat, hari-hariku yang semula sepi kini mulai sedikit berwarna. Tadinya, menghadapi setumpuk pekerjaan seperti menghadapi sebuah bukit berduri yang harus dilalui tanpa alas kaki. Selalu ada alasan untukku meneteskan air mata, bahkan untuk hal-hal remeh temeh yang mungkin untuk sebagian orang, hal tersebut biasa saja, tapi tidak bagiku. Aku merasakan ada hal berbeda yang membuat setiap harinya adalah lembar kebahagiaan yang bisa menjadikan alasan untukku sekedar tersenyum. Seperti misalnya, pagi-pagi, cangkir merah yang biasa aku pakai untuk menyeduh kopi selalu sudah terhidang di meja sebelum aku sendiri yang membuatnya. Hal ini terjadi berkali-kali. Awalnya aku tidak menganggap hal ini aneh, karena aku kira Pak Dirman melakukannya untukku karena memang Pak Dirman sudah biasa melakukan hal tersebut, hingga pada suatu ketika aku protes, kenapa harus repot-repot membuatkan kopi setiap pagi untukku, beliau kebingungan, “Saya gak pernah membuatkan kopi buat Bu Tania, kecuali Ibu yang meminta. Tapi, beberapa hari ini, Pak Prana memang sering datang lebih awal, dan terlihat memegang cangkir Bu Tania. Saya pikir, Pak Prana membuat kopi untuknya dengan menggunakan cangkir Ibu.” Dan setelah kejadian janggal ini, usut punya usut, ternyata kopi yang selalu tersaji di meja Tania adalah ulah Prana. Saat makan siang juga dia selalu menyeretku untuk makan bersama. Jika tidak, dengan kerelaan hati pria itu akan membawakan makanan agar aku bisa makan di sela kesibukan. “Makan apa susahnya, sih, Tan?” tukas Prana, dia menyodorkan seporsi makanan dengan lauk lengkap. Jarang sekali lelaki ini membeli makanan siap saji. “Aku makan nanti, setelah azan magrib berkumandang, ya, Prana. Ini tanggung banget, laporan harus aku selesaikan dan harus segera sampe ke pusat sebelum jam empat sore ini.” “Tania, makan itu gak sampe sepuluh menit, lho. Apa susahnya, sih?” “Pak, saya lagi shaum. Jadi silakan simpan makanannya di situ, nanti setelah azan magrib saya makan, dan … oiya, berapa harganya, berapa yang harus saya bayar ke Pak Prana untuk makanan ini?” Terlihat dengan jelas Prana terkejut, kemudian dia tersenyum. Senyum yang selalu menularkan energi positif. “Maaf Tania, kenapa gak bilang dari tadi, sih?” protesnya, dia menyeret kursi lalu duduk di sisi sebelah kanan meja kerjaku. “Ya kali, Pak aku bilang orang-orang lagi shaum. Haloo … semua orang, saya lagi shaum, hei, haloo … saya shaum, loh. Masa iya, saya harus bikin pengumuman begitu? Udahlah aneh, bakal dilihat orang juga gak baik, bahkan bisa saja saya dianggap riya, ya, kan? Jadi, berapa ini, saya ganti untuk makanan ini?” Tania mengajukan pertanyaan yang sama, untuk kedua kalinya ke Prana. Bukannya dijawab, berapa harga makanan tersebut, Prana justru menggeleng, “Tidak perlu dibayar. Aku memang membelikan makanan ini sengaja untukmu. Tapi karena kamu lagi shaum, jadi aku ambil lagi. Nanti, jika sudah dekat azan magrib, aku akan mencarikan kudapan, untuk kamu berbuka, puasa, ya.” lalu Prana bangkit dari kursinya dan meninggalkan Tania yang tercengang dengan kelakuannya. Padahal Tania sudah berniat menolak tawaran tersebut. Beberapa saat kemudian Banun datang, di tangannya dia membawa setumpuk kertas dan sebuah mushaf berwarna pink ada di atas tumpukan kertas tersebut. Dia ternyenyum manis. Ada apa dengan senyum? Tadi Prana yang sanyam-senyum gak jelas, ini Banun. Entah kenapa semua orang tiba-tiba jadi lebih banyak tersenyum. “Tania, nanti buka puasa aku temani, ya. Gak boleh nolak,” bisik Prana, yang tiba-tiba nongol, entah darimana, dan membuat Tania terperanjat, “Pak Prana ngagetin aja. Tiba-tiba muncul gitu, kayak ninja seribu bayangan aja.” Ucap Tania yang masih deg-degan. Prana hanya tertawa kecil, lalu dia berjalan dengan santai, dan menghampiri Banun bertanya dengan ramah. “Darimana, Nun?” “Mushola, Pak. Habis tilawah,” jawab Banun. “Sudah makan? Atau kamu shaum?” tanya Prana. Aku yang menyaksikan adegan tersebut, merasa ada yang aneh dengan Banun. Tidak biasanya anak ini ramah begitu ke laki-laki. Dia ini tipikal akhwat yang selalu berusaha menjaga pandangannya. Tidak jarang, staf di sini, merasa tidak dianggap, bahkan merasa diabaikan ketika berbicara dengan Banun, karena kebiasaannya tersebut. Pernah, suatu waktu, staf gudang, yang memang sengaja aku panggil, sedikit curhat ke aku, “Itu Banun, kenapa, ya, Bu Tania. Kalo diajak ngomong tuh, seperti gak menganggap, saya kayak diabaikan gitu.” Aku yang memang sudah tau, alasana kenapa Banun begitu, mencoba menjelaskan, bahwa Banun berusaha untuk menjaga pandangannya, “Banun memang begitu. Tapi bukan berarti dia sombong atau mengacuhkan lawan bicaranya. Dia hanya berusaha untuk menjaga pandangannya saja. Kalian jangan salah paham. Ya.” dan setelah itu, mungkin jawabanku dari pertanyaan banyak orang sudah tersebar ke penjuru kantor, dan akhirnya tidak ada lagi orang yang merasa atau curhat mengenai gaya Banun berkomunikasi. Ketika sedang mengingat kejadian tersebut dan membandingkan dengan adegan yang aku lihat sekarang, dering telepon membuatku tersadar kembali, rupanya ada telepon masuk dari salah satu bawahanku, dia menjelaskan ada masalah keuangan di salah satu store sehingga membuat beberapa laporan keuangan harus pending sebelum masalah tersebut selesai. Oiya, saat ini aku bekerja di sebuah pabrik meubel sebagai manager keuangan. Pabrik dengan karyawan kurang dari lima ratus orang ini memiliki beberapa store yang tersebar di seluruh Priangan Timur. Store terbanyak ada di Bandung, Garut, dan Tasikmalaya. Area perkantoran berada persis di samping kanan bangunan pabrik. Jarak dari pabrik dari tempat tinggalku lumayan jauh. Pabrik berada di Kabupaten Bandung sedangkan Indekosku tepat di kota Bandung. Aku memilih tempat itu karena dekat dengan tempat kerjaku yang sebelumnya. Malas sekali untuk pindah lagi mendekati pabrik. Aku lebih memilih bolak balik, lagi pula jarak tempuhnya hanya satu jam jika tidak macet. “Kok aku gak dikasih, Pak?” protes Yani, aku yang baru saja menutup telepon sontak menoleh ke arah mereka. Prana menjawab protes Yani, “Maaf, ya, hanya ada satu bungkus.” Dan ucapan Prana tersebut rupanya sukses membuat Banun tersenyum bangga memamerkan bungkusan makanan pada Yani, makanan yang semula Prana kasihkan untukku. Prana tersenyum lembut ke arah Banun seraya berkata, “Dihabiskan, ya.” Lalu senyum Banun tidak hilang, sampai-sampai, ketika aku memanggilnya, untuk menanyakan urusan pekerjaan, ada mungkin satu atau dua menit, dia hanya diam, dan tersadar setelah Yani yang menyenggol tangannya, “Hei, Banun, senyum-senyum sendiri gitu. Itu loh, dipanggil sama Bu Tania.” Dan seketika dia terburu-buru masuk ke ruanganku. Dan ketika Prana pergi. Entah ada apa dengan hatiku, rasanya gak suka melihat kelakuan mereka, interaksi mereka yang menurutku berlebihan. Tidak suka dengan senyum yang terkesan dibuat-buat oleh Banun. Entah kenapa rasanya ada yang salah, pada hatiku, atau pada senyum Banun atau pada perlakuan Prana ke Banun? Ah … entahlah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN