Perkara Lembur

1290 Kata
Pagi yang cerah, secerah hati. Semangat kerja yang sudah berhasil aku kumpulkan sejak subuh, luluh lantah, hancur seketika, saat Banun menyapa, dan bertanya “Mbak, kemarin kenapa pulang cepet?” tanya Banun ketika dia baru saja tiba di kantor. Aku yang sedang asik sarapan mendoan, jadi gak napsu lagi menyantapnya. Tapi, sejak tadi aku merasakan ada yang berbeda, tidak seperti hari-hari biasanya, pagi ini tidak ada yang kurang, tidak ada kopi pahit yang sudah tersaji di meja. Sehingga aku harus menyeduhnya sendiri, kopi ekstra shoot tanpa gula. Aku menjawab pertanyaan Banun dengan se-alami mungkin, dibubuhi dengan senyum basa-basi, “Kemarin gak pulang cepet, kok. Malah aku sampe kostan ampir jam sepuluhan. Itu loh, store tiga adminnya kan cuti, digantikan sama admin baru. Dia salah input data penjualan, harusnya satu juta dia kelebihan nol jadi sepuluh juta. Jadi aku haru membenahi kekacauan yang terjadi. Kenapa, gitu, Nun, ada hal ajaib yang terjadikah, yang seru, gitu?” “Nggak ada sih, Mbak. Jadi Mbak ke sana buat beresin masalahnya? Sekarang gimana, Mbak?” “Iya, orang store tiga gak ada yang bisa cancel inputan, harus manager store atau orang pusat. Berhubung manager storenya lagi pelatihan di luar kota jadi ya terpaksa, namanya kewajiban. Tinggal urus-urus sisanya, dan itu bisa dikerjakan dari sini.” Banun mengangguk mengerti, gadis yang selalu berjilbab lebar itu duduk dan ikut makan mendoan setelah aku tawari dia. “O iya, Mbak. Kemarin sore tuh Pak Prana mau ngajak kita makan lagi. Dia minta ditemenin buka puasa bareng. Tapi entah kenapa tiba-tiba batalin gitu aja, dia kayak bete gitu, Mbak.” Banun meraih cermin dari laci, kemudian memperbaiki jilbabnya yang kebetulan agak kusut setelah mamakai helm. “Oh ya?” tanyaku sambil menggigit sebuah cabe, perpaduan mendoan dengan cabe dan secangkir kopi selalu jadi suntikan semangat. “Iya, awalnya dia semangat gitu, tapi pas dateng ke ruangan ini dia tiba-tiba bilang ada urusan, makannya di tunda nanti aja. Untung aku sebelumnya dah dikasih makanan juga, plus senyum manis dia. Makanannya jadi seratus kali lebih nikmat,” ungkap Banun. “Genit kamu,” sentak Yani tiba-tiba, dia membuka jaketnya dan menyimpan tas di atas meja. Lalu berjalan ke arah mesin absensi. Aku melihat gerak gerik Yani, hingga tatapanku beradu dengan nerta kelam Prana. Dia tidak senyum, dan memalingkan wajah. Apa ada yang salah? * Pernah merasa kehilangan sesuatu, lalu kamu sibuk mencari apa yang kurang, bertanya apa yang salah, lalu terdiam dan tidak bisa menjawab, karena masih ragu dengan jawaban yang ada di kepalamu? Mungkin itu yang tengah aku rasakan saat ini. Sudah tiga hari ada yang berbeda dengan Prana. Dia tidak lagi memberiku kopi sebagai ucapan selamat pagi darinya, setiap kami berpapasan dia hanya senyum sekilas. Dan aku perhatikan, justru Prana lebih banyak mengumbar senyum kepada Banun juga Yani. Lucu memang, kemarin aku sempat merasa jika Prana memperlakukanku dengan beda, memperlakukanku dengan istimewa lebih tepatnya, menurut perasaanku, baik perhatiannya bahkan senyumannya. Tapi setelah melihat Prana tersenyum pada Banun siang tadi aku mengerti bahwa senyum itu bukan hanya untukku. Aku kemudian tersadar dan bertanya kepada diriku sendiri, “Lagi pula siapa aku, yang pantas mengatur kepada siapa senyum Prana dia tunjukan?” Waktu menunjukkan pukul 17.50, sebagian besar karyawan sudah pulang sekitar dua jam yang lalu, kecuali beberapa orang yang terpaksa lembur sepertiku. Kelalaian salah satu admin di store tiga waktu itu membuatku harus bekerja keras selama tiga hari ini, semua laporan penjualan harus aku ubah. Membuat surat pernyataan dan lain sebagainya, meskipun inputan bisa di cancel, bukan berarti semua masalah selesai sampai di sini. Justru aku harus bekerja keras mengubah semuanya dari awal ditambah dengan laporan keuangan yang masuk paling baru. Datang lebih awal dan pulang paling akhir adalah solusi agar aku tidak semakin keteteran. Ingatkan aku untuk minta asisten pada Pak Anhar. Sayup-sayup terdengar azan magrib, itu juga pertanda untukku menyudahi pekerjaan hari itu. Biasanya setelah menunaikan salat magrib di musola dekat pantry aku bergegas pulang. Ruangan yang dulu digunakan sebagai ruang arsip kini berganti fungsi jadi musola. Ada sebuah jendela yang menghadap tepat ke arah pelataran parkir staf. Dari dalam sini aku dapat melihat dengan jelas mobilku juga beberapa kendaraan milik para staff yang tengah lembur, termasuk mobil Prana. ternyata dia masih di sini dan tidak menghampiriku seperti biasanya. Usai salat, aku kembali ke meja untuk mengambil tas dan beberapa barang yang masih tersimpan di sana, alangkah terkejutnya ketika kulihat Prana ditemani Pak Dirman sedang duduk di salah satu meja persis di depan meja kerjaku. “Itu, Mbak Tania, Pak. Sudah tiga hari ini beliau lembur terus lho, Pak.” Pak Dirman tersenyum lembut, dia terlihat santai hanya karena mengenakan sandal jepit. “Lho, lagi pada ngapain?” tanyaku sekadar basa-basi. Jujur aku tidak bisa menatap Prana lama-lama. Ada yang aneh dari tatapannya. “Pak Prana baru saja datang, katanya ketinggalan catatan, bukan begitu, Pak?” yang disambut dengan anggukan dari Prana. “Oh, ya sudah, saya pamit duluan ya, Pak. Keburu malam,” pamitku pada mereka. Pak Dirman mempersilakan akan tetapi berbeda dengan Prana. “Tunggu sebentar, Tania.” Dia berjalan tergesa menuju ruangannya, lalu balik lagi dengan membawa sebuah buku berwarna hijau army, di sampulnya terdapat kaligrafi dengan lafaz Bismillah. “Kita bareng sampai depan, ada yang mau saya bicarakan.” Setelah pamit pada Pak Dirman kami berjalan beriringan, dari jarak kurang dari satu meter aku dapat mencium aroma parfumnya yang khas. Aroma yang sudah tiga hari ini tidak sekali pun aku hirup. “Sudah makan?” tanya dia dingin sambil menolehkan kepalanya ke arahku. Aku menggeleng, Prana terlihat menghela napas. “Kenapa lembur sampai dua jam? Bukannya peraturan baru staf tidak boleh lembur lebih dari satu jam, ya?” selidik Prana. “Saya isi absen pulang jam lima tadi. Jadi tetep itungannya hanya lembur satu jam, kan?” “Satu jam lagi, itu gratisan?” tanya Prana dengan wajah terkejutnya. “Ya bagaimana lagi, kalo saya isi absen pulang barusan kena SP, dong?” Kami hampir tiba di pelataran parkir saat Prana menghentikan langkahnya. “Makan dulu, mau? Ah paling juga kamu gak mau, hari Senin juga saya mau ajak Tania buka puasa tapi Tania sudah pulang. Jika memang tidak mau harusnya Tania bilang aja tidak mau, jangan pulang begitu saja.” “Loh, yang bilang mau siapa? Lagian kenapa Prana diam saja, gak ada omongan apa-apa, gak ada pertanyaan apa-apa. Mbok ya, nanya gitu, loh. Jangan merajuk kayak anak kecil. Oh, jadi ini penyebabnya, kenapa selama tiga hari ini sok-sok ngambek, hanya karena Senin kemarin gagal makan bareng? Kan ada Banun, Yani, Ferdi juga ada.” “Yang shaum cuma saya dan kamu, Tania. Saya ajak Banun dan Yani supaya kita gak berdua-duaan.” “Oke, saya minta maaf, deh, kalo gitu. Hari Senin kemarin, sekitar jam tiga sore saya pergi ke store tiga, admin di sana salah nginput dan itu juga berimbas dengan perubahan laporan keuangan harian. Itu juga alasannya kenapa saya lembur tiga hari ini.” “Kenapa gak bilang?” tanya Prana. “Harus?” “Pasti kamu lupa makan, ya? Sekarang belum makan, kan?” “Kenapa hanya makanan sih di pikiran kamu?” Aku mulai kesal, rasanya aku sedang berhadapan dengan seorang ayah yang ngambek karena anaknya malas makan. “Karena kamu gak pernah perhatian sama diri sendiri, Tania.” “Prana gak tahu apa-apa tentang saya. Saya pulang duluan, sudah malam. Lagi pula gak baik berdua-duaan, bukan mahram.” Aku pamit lalu melangkah mendekati mobil. Langkahku terhenti kala Prana berkata, “Izinkan saya tahu banyak tentang kamu, Tania.” Aku berlalu, me-nuli-kan pendengaran tentang ucapan yang baru saja aku dengar dari Prana, masuk ke mobilku, dan menjalankannya, meninggalkan Prana di ujung sana, yang masih terdiam. Aku senang, tapi aku juga khawatir. Tidak butuh waktu untuk merasakan hal yang menyenangkan ini, tapi tidak secepat ini juga, ah, entahlah.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN