Insiden Bubur Ayam

1280 Kata
Selesai salat subuh, aku mandi, kemudian mempersiapkan semua barang yang akan aku bawa ke kantor, baju, pakaian dalam, kaos kaki, dan juga jilbab yang akan aku pakai nanti ke kantor. Setelah selesai, aku biasanya main game kesukaanku, sambil menunggu matahari naik sedikit, kemudian aku akan tidur lagi sebentar, sebelum akhirnya jam setengah tujuh terbangun, dan berpakaian untuk kemudian berangkat ke kantor sekitar jam tujuh. Setelah setengah jam berlalu, iseng aku mengetikkan di story Whatssapp-ku, “Besok sarapan bubur ayam, sambel yang banyak, sama sate usus lima tusuk, enak nih kayaknya. Meluncur ke mamang bubur langganan, deh.” Setelahnya aku menutup handphoneku ke posisi di balik, tujuannya agar jika ada pesan atau notifikasi yang masuk, tidak mengganggu tidurku. Karena layar handphone yang tiba-tiba menyala bisa membuat kantukku mabur se-mabur-maburnya yang akan mengakibatkan aku ngantuk ketika akan berangkat ke kantor, dan bikin moodku kacau seharian. Kalo udah ngantuk dan mood parah begini, kopi bergelas-gelas juga gak akan bisa mengembalikan moodku. Alarm berbunyi tepat pukul setengah tujuh, dan aku bergegas bangun, menuju kamar mandi, cuci muka, sikat gigi, lalu mengambil air wudu. Aku sengaja polosan aja setiap berangkat ke kantor, karena nanti harus salat duha dulu di kantor, setelahnya, baru aku akan memulaskan sekedar bedak dan lipbalm yang tidak terlalu mencolok warnanya. Ketika aku keluar kamar, Teh Siti, ibu rumah tangga yang baru melahirkan, menyapaku, “Teh, baru mau berangkat kerja?” aku mengangguk, “Iya, Teh Siti, mari.” Tapi kemudian dia bilang ke aku, kalo tadi sekitar pukul setengah enam subuh ada lelaki yang nyari aku, “Tadi, kayaknya jam setengah ena, gitu, ada cowo yang nyariin Teh Tania, tapi terus sama suamiku dibilangin, gak boleh masuk ke pekarangan kostan ini kalo gak sama yang tinggal di sini. Biasanya gak ada yang bisa masuk gerbang itu kalo ada yang jaga. Kayaknya Mang Darma belom balik dari masjid, tadi.” Deg, hatiku jadi gak enak. Seketika was-was, apa itu Abizar yang mencoba untuk menghadangku lagi seperti kemarin? Awalnya aku ragu, berniat untuk mundur aja, gak jadi berangkat kerja lalu minta seseorang, untuk ke sini. Tapi setelah aku mencoba melihat ke sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada orang atau sesuatu yang mencurigakan, mungkin Teh Siti tau kalo aku takut atau khawatir bahwa orang itu masih ada, dia bilang lagi ke aku, “Udah, tenang, Teh Tania, orangnya udah disuruh keluar sama suami aku, tadi dianter juga sampe gerbang, dan ditungguin sampe orangnya pergi, insyaallah aman. Teteh bisa berangkat kerja dengan aman.” Aku mengucapkan terima kasih ke Teh Siti, lalu aku memberanikan diri untuk berjalan ke parkiran, secepat yang aku bisa, minimal jika sudah di dalam mobil, aku aman. Dan aku lupa, belum membuka gerbang, depan. Aku memukul kepalaku, “Dasar, oneng pisan ih, Tan.” Aku diam, menunggu dan berharap siapa tau ada yang mau keluar juga jadi aku bisa meminta siapa saja yang mau keluar itu membukakan pintu. Ketika sedang diam, kaca mobilku diketuk, karena kaget, aku menjerit, menutup mataku, bayangan kejadian kemarin Abizar yang melukaiku, kembali terlintas aku hampir menangis ketika mendengar kaca jendelaku kembali diketuk, “Neng, udah mau keluar, Mamang bukain pintu sekarang, ya?” aku kenal suara ini, bukan suara terkutuknya Abizar, tapi suara Mang Darma, aku membuka mataku, dan mengangguk, sambil membuka jendela, “Iya, Mang. Makasih, ya.” lalu Mang Darma berjalan tertatih menuju gerbang dan membukakan pintu gerbang untukku. Bersyukur banget ada Mang Darma, lelaki saleh yang rajin salat berjamaah di masjid, yang selalu senyum, tidak berat tangan untuk membantu, bahkan beberapa kali pernah aku maintain tolong untuk mengubah posisi ranjang dan perabotan di kamar, dia sempat menolak untuk menerima uang dariku, “Teh Tania santai aja, segini mah gak ada apa-apanya. Jangan dibayar gitu atuh, Mamang jadi sungkan.” Aku memaksa, “Kalo Mamang gak mau terima uang dari aku, aku gak mau nih, minta tolong sama Mamang lagi, malah justru aku yang jadi sungkan kalo Mamang gak mau terima uang ini.” Dan akhirnya drama itu berakhir dengan Mang Darma hanya minta dibelikan fried chicken, “Gini aja deh, Teh Tania tolong beliin Mamang fried chicken aja, sama es krimnya yang terkenal itu buat anak Mamang. Udah, itu aja.” Win-win solution, jadilah akhirnya aku membelikan tiga paket ayam dan nasi, plus minum, dan juga es krim yang diminta Mang Darma, “Atuh ini mah malah lebih mahal dari uang yang tadi.” Aku bersikeras agar si mamang menerima, “Udah, ini rezeki, kalo ditolak nanti gak mau datang lagi.” Dan begitulah, akhirnya, berkat bantuan Mang Darma aku bisa berangkat kerja dengan aman. Salah banget aku, harusnya tadi aku titip sama Mang Darma kalo ada lelaki yang mirip Abizar gak boleh masuk, “Nanti deh, pulang kerja aku bilang ke Mang Darma, sekalian tunjukin fotonya, biar tu orang diblacklist dari kostan.” Setelah membaca doa bepergian, aku melajukan mobil dalam kecepatan sedang. Sesampainya di kantor, aku diam dulu di dalam mobil untuk sekedar meredakan deg-degan yang tadi masih bersisa. Dan lagi-lagi aku terkejut, berteriak, ketika ada seseorang yang mengetuk kaca mobilku, “Siapa sih?” tapi dengan menutup mata dan telinga, bukannya melihat ke arah kaca. “Tan, ini aku.” Rangga, iya, ini suara Rangga, akhirnya aku memberanikan sekali lagi membuka mata, dan menurunkan kaca mobil, membukanya, “Ih, bisa gak sih, jangan bikin aku kaget.” Rangga yang tiba-tiba aku sembur, melongo, “Kamu kenapa, Tan? Aku kan baru dateng, kamu oke?” aku segera sadar, aku salah. Kemudian meminta maaf ke Rangga, “Sorry-sorry, pagi ini udah dua kali ini aku dibuat kaget sama orang, yang pertama di kostan, yang kedua kamu. Sorry.” Rangga mengangguk, “Iya, deh, gak apa-apa. Kamu gak mau turun dari mobil?” aku lalu membereskan bajuku, kemudian mengambil laptop dan tasku, kemudian keluar dari mobil. Rangga dengan sigap mengangsurkan tas laptop dan tasku ke tangannya, “Jangan suka bawa yang berat-berat gini, nanti kamu jadi gak cantik.” Aku menggeleng, “Jangankan tas, hidup dan masalahku yang berat aja mampu aku pikul, yang beginian mah, kecil.” Ucapku, lalu kami tertawa. Rangga mengantarku sampai ke dalam ruanga, di sana sudah ada bungkusan, aku bingung itu bungkusan apa dan dari siapa, “Ini apa, siapa nih yang pagi-pagi udah ke sini, kasih bungkusan.” Setelah menaruh tas laptop dan tasku, Rangga menjawab, “Kan semalem tuan puteri bilang mau sarapan bubur ayam, nah, kebetulan di hotel dekat tempat aku menginap ada jualan bubur ayam, rame banget. Aku sampe antri loh, buat dapetin bubur ayam itu.” Aku mengangguk-angguk, iya-iya, aku percaya, makasih, ya.” setelah ngobrol sebentar, Rangga pamit untuk melanjutkan aktivitasnya, “Ya udah, aku pamit, ya. Selamat sarapan, jangan lupa nanti sore.” Aku mengangguk dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Setelah Rangga hilang dari pandangan, muncul Pak Dirman, OB kantor kesayangan kami semua, aku memanggilnya dengan niat minta dibuatkan kopi, “Pak Dirman …” belum selesai aku ngomong, Pak Dirman sudah mengerti, “Kopi kental, manis, panas banget, betul kan, Bu?” aku tersenyum dan mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih, “Makasih, Pak.” Lalu mulai membuka bubur yang tadi dibawa Rangga. Saat suapan ketiga hampir masuk ke mulut, Prana datang dengan tiba-tiba, “Pagi, Tan, ini bu …” dia melihatku, tangannya yang tadi terulur, terjuntai lemas. Aku tidak jadi menyuapkan bubur yang hampir sampai di mulut, “Oo … sudah ada yang beliin toh, pantesan tadi aku lihat Pak Rangga di parkiran, rupanya nganterin sarapan.” Aku bangun, lalu menghampirinya, dan mengambil plastik bubur yang dibawa itu dari tangan Prana, “Ini buat aku, kan? Pamali kalo diambil lagi.” Dan aku kembali balik menuju ke kursi dengan enggan membuka bungkusan bubur tadi, kenyang-kenyang deh, makan bubur dua porsi daripada ada yang pasang muka gak enak seharian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN