Genderang Perang Prana

1060 Kata
Beres sudah kegiatanku memamah biak dan menandaskan dua porsi bubur ayam dan segelas kopi hitam pekat panas, aku siap bertempur dengan dokumen-dokumen hari ini yang bakal bikin aku gak bisa bangun dari kursi dan pergi dari depan laptop, kecuali ke kamar mandi dan salat. Sekitar jam setengah sepuluh aku sadar kalo aku belum salat duha. Ketika aku mau mengambil air wudu, aku ketemu Banun keluar dari ruangan Prana, membawa bungkusan, aku seperti mengenali bungkusan itu, “Mbak, nyarap, yuk. Aku barusan dikasih bubur ayam sama Pak Prana. Baik banget si bapak satu itu, bikin tambah gimana gitu akunya.” Ujar Banun dengan wajah bersemu merah. Aku hanya mengangguk dan meneruskan perjalananku ke kamar mandi. Ketika sedang membasuh muka, terlintas di pikiranku, jangan-jangan bubur yang tadi dibawa Prana ke ruanganku itu adalah bubur yang mau dia kasih ke Banun atau jangan-jangan sebenarnya dia mau ngajak Banun sarapan bareng, “Ish … oneng banget kamu, Tan. Maen ngerebut aja bungkusan dari tangan orang tanpa nanya dulu. Kenapa ceroboh banget gitu sih.” Aku merutuki diriku sendiri sambil lalu bergegas membereskan acara wuduku, lalu berjalan ke ruangan Prana untuk meminta maaf, perkara bubur tadi pagi. Setelah sampai di ruangannya, aku tidak melihat siapa-siapa kecuali Prana yang sedang serius menatap layar laptop, “Ehm … sibuk?” dia mendongak melihatku, kemudian menggeleng, “Enggak, kenapa, Tan?” aku ragu mau ngomong ini, karena aku benar-benar tidak enak hati. Tapi, daripada semakin lama semakin gak kelar-kelar urusan bubur ini sementara pekerjaanku masih menunggu, akhirnya aku memberanikan diri untuk ngomong, “Ehm … bubur tadi, itu sebenarnya mau kamu kasih ke Banun, ya? kamu berencana untuk makan berdua Banun?” aku memberanikan diri bertanya begitu, lalu meneruskan ucapanku, “Maaf, ya, tadi aku gak nanya-nanya lagi, maen ambil aja. Aku jadi bikin kamu sama Banun gak bisa sarapan bareng, maaf sekali lagi. Besok insyaallah aku beliin, ya, dua porsi, gantiin bubur yang aku makan tadi, biar kamu sama Banun bisa sarapan bareng, biar kalian bisa romantis-romantisan.” Setelah ngomong begitu, aku jadi lega, tidak ada tanggapan sama sekali dari Prana, dia hanya diam melihatku berbalik arah dan berjalan menuju ruanganku. Ketika sampai di ruangan, aku melihat Banun baru selesai makan bubur itu, dan bungkusnya dia foto. Aku jadi kepo, dia menuliskan caption apa untuk foto itu, pasti bakal dia upload di media sosialnya, nanti aku cek ah. Dan aku segera menggelar sajadah di dekat mejaku, untuk salat duha yang agak terlambat. Laporan yang diminta Bu Arini sudah aku email sejak pukul setengah sepuluh tadi, beban kerjaku tidak terlalu banyak hari ini, sepertinya semesta mendukungku untuk bisa jalan bareng sama Rangga nanti sore. Tapi kebahagiaanku berakhir, tandas, kandas, ketika Pak Anhar memintaku mengecek laporan penjualan tahun lalu di bulan Maret, “Tan, ini ada laporan keuangan yang sepertinya selisih di bulan Maret dari store di Bandar Lampung, tolong dicek, ya. Kalo udah balance dan ketemu di mana salahnya, laporin ke saya.” Aku menghembuskan napas kasar, “Pak, laporan dari store di Bandar Lampung itu udah sering banget loh, saya temukan tidak balance lah, ada penjualan yang gak masuk laporan lah, sehingga, udah dua tahun ini, hampir setiap bulan saya mengerjakan koreksi kas dan akhirnya berimbas pada laporan tahunan yang harusnya sudah tutup buku, dan harus saya itung ulang.” Akhirnya, kekesalanku selama ini aku tumpahkan. Pak Anhar mengangguk, sepertinya dia setuju denganku, “Iya, saya juga menerima laporan dari divisi HRD, bahwa sepertinya manajemen store di Bandar Lampung memang kurang bagus. Saya lagi cari waktu agar saya, kamu, Bu Arini, dan Pak Prana bisa ke Lampung untuk ngecek store di sana, kalo perlu kita buka penerimaan pegawai lagi. Saya juga beberapa kali ditegur sama Dirut. Kamu tolong bantu saya, beresin laporan itu, ya, Tan.” Dengan terpaksa aku mengalah, mengangguk, dan mengerjakan laporan ini, setelah sebelumnya bilang ke Pak Anhar kalo hari ini saya harus pulang tepat waktu, “Iya, Pak, saya kerjakan. Tapi untuk hari ini, saya pulang tepat waktu, ya, saya gak bisa lembur, karena ada janji dengan teman, mau pergi.” Pak Anhar mengangguk, “Mau pergi sama Pak Rangga, ya?” kamu jadian sama dia, Tan? Wah, cinta lama kembali nih, Tan.” Pak Anhar tertawa dan tawanya membahana, membuat beberapa orang penasaran dan melihat ke arah kami, sampai Prana juga datang, “Ini, loh, Prana. Tania rupanya CLBK sama mantan pacarnya, si Pak Rangga itu, cinta lama belum beres.” Aku diam, Prana ikut ketawa, “Wah … berarti project ini bawa berkah, ya, Pak, untuk Bu Tania, dia bisa balikan sama cinta pertamanya.” Aku diam, apa sih, maksud Prana ngomong gitu. Mentang-mentang sekarang dia udah dekat sama Banun, terus berani-beraninya dia ngeledekin aku. Karena dia yang memulai genderang perang, maka aku kembali membalas ucapannya, “Gak apa-apa, kan, Pak, balikan sama cinta lama, cinta pertama lagi, daripada cinta sama seseorang tapi gak sampe-sampe, gak jadian-jadian, boro-boro mau balikan.” Dan aku tertawa bersama Pak Anhar, giliran Prana yang kali ini diam, “Loh, kasian banget itu kalo ada orang yang begitu. Padahal ungkapin perasaan mah gak salah, diterima atau gak itu urusan belakangan. Memangnya, siapa orang itu, Tan? Bukan kamu, kan, Prana?” dengan serta merta Prana menggeleng, “Jelas bukan saya, Pak. Kalo saya sih, dengan gagah berani mengutarakannya, hanya saja, ada tuh, Pak, orang yang yang gak bisa menentukan pilihan. Dia terjebak di cinta dari masa lalunya, sehingga masa depan cerah di depannya diabaikan.” Sambil bilang begitu mata Prana menatapku tajam, aku diam. Memilih untuk menyudahi urusan balas membalas omongan ini, “Okedeh, Pak Anhar, Pak Prana, saya permisi, mau beresin kerjaan saya dulu, biar bisa cepet beres. Jadi nanti gak perlu lembur.” Lalu tanpa menunggu respon dari kedua manusia ini, aku kembali menatap laptop, bergantian sambil menatap laporan yang kacau yang ada di depanku, sambil merutuki manusia yang gak pintar yang gak teliti yang membuat laporan ini, “Ini orang, kalo udah tau dia gak bisa bikin laporan keuangan, kenapa sih masih ngotot. HRD-nya juga, masa iya gak bisa menilai kinerja karyawannya. Udah bikin rugi perusahaan, bikin susah orang. Hih.” Tukasku geram. Yani dan Banun tidak akan ada yang berani membantah atau menjawab apalagi menimpali ucapanku kalo keadaanku sedang ngamuk seperti ini. Mereka udah tau sifatku, kalo lagi kesal dengan kerjaan, aku gak akan segan-segan menabuh genderang perang dan mengangkat panji perang untuk meladeni siapa saja yang berani punya nyali cari gara-gara denganku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN