Again And Again

1070 Kata
Tidak keluar kamar sejak pulang tadi, membuatku kelaparan tengah malam. Aku mencoba untuk menghubungi Abizar, memintanya untuk membelikan makanan dan mengantarkannya ke rumah, “Bi, aku lapar. Beliin makanan donk, kepengen martabak telor bebek. Anterin ke rumah, ya, lewat jendela aja. Boleh, ya, Bi.” Begitu aku membuka percakapanku di telepon dengan Abizar, “Ini tuh udah jam berapa, Tan. Aku udah di kamar, udah siap tidur. Besok aku beliin, ya. Sekarang makan dulu aja yang ada di rumah, oke.” Aku menjawab ucapannya, “Aku gak keluar kamar sejak tadi, males. Ngeladenin Bapak yang marah begitu. Ya udah, deh, kalo kamu juga gak mau beliin aku makanan.” Aku langsung menutup sambungan teleponku dengan Abizar tanpa memberikan dia kesempatan untuk bicara. Aku menahan lapar ini, sampe besok, biar aja, biar anak ini tau, kalo dia lapar akibat ulah bapaknya yang gak mau beliin emaknya makanan, rasain tuh, “Suruh siapa kamu udah dateng aja ke dalam kandungan aku, kan harusnya kamu ini tau, kamu belom seharusnya hadir sekarang. Jadi, kalo kamu merasa lapar atau apa, ya nikmati saja.” Aku bersungut sambil memukul perutku, kesal. Aku berangkat tidur dengan hati kesal. Keesokan paginya, setelah selesai mandi, aku menghubungi Abizar untuk menjemputku, “Aku udah siap. Kamu udah di mana?” Abizar menjawab bahwa sebentar lagi dia akan sampai ke rumahku, “Sepuluh menit lagi aku sampe rumahmu, tunggu di depan aja, ya. Aku gak mau masuk, Bapak pasti masih marah sama aku.” Aku setuju dengan ucapan Abizar, “Oke, tunggu di ujung gang aja, biar aku yang keluar. Nanti kalo udah di depan gang, kabarin, biar aku langsung ke sana nyamperin kamu.” Setelah selesai janjian sama Abizar, aku diam di kamar, tidak keluar sama sekali. “Aku udah di depan gang, jangan lama-lama.” Begitu menerima pesan dari Abizar aku keluar kamar, langsung mengambil sepatu, dan pamitan ke Ibu dan Bapak yang lagi sarapan sambil ngobrol di ruang makan. “Aku berangkat kerja, Pak, Bu.” Ibu yang melihatku terburu-buru, menegur dan menyuruhku untuk sarapan dulu, “Tan, sarapan dulu. Ini udah Ibu siapkan sarapan, nasi goreng sama acar timun.” Aku menggeleng, “Gak usah, Bu. Aku udah kesiangan.” Aku bergegas keluar rumah, dan ketika hampir sampai di ujung gang, di mana ada mobil Abizar di sana, Ibu menyusulku, dan menyerahkan kotak makan, berisi nasi goreng tadi, “Tania, ini dibawa, untuk sarapan di apotek. Kenapa Abizar jemputnya di sini, Tan, kenapa gak ke rumah?” aku tidak menjawab, hanya diam. Kemudian Abizar membunyikan klakson mobilnya, “Aku berangkat, Bu. Makasih bekalnya.” Ibu menahan tanganku, “Tania, kamu itu anak gadis orang. Abizar gak bisa seenaknya gitu jemput kamu di ujung gang, kamu kayak perempuan gak ada harganya.” Aku sebal banget dengan ucapan Ibu, lalu menyahuti perkataannya, “Kalo gak mau aku bersikap begini, kalo gak mau Abizar jemput aku di ujung gang begitu, harusnya Bapak introspeksi diri. Aku ini sudah dewasa, Bu. Gak bisa selalu diperlakukan seperti anak kecil. Sebentar lagi aku nikah, ada lelaki yang masuk ke keluarga kita, gak bisa Bapak dan Ibu selalu memperlakukan aku seperti ini. Hak kalian akan jatuh ke Abizar, suamiku kelak. Tolong hargai dia. Kalo Bapak dan Ibu mau aku menghargai kalian, kalian juga harus menghargai aku, menganggap aku orang dewasa, dan menganggap Abizar keluarga, bukan orang lain.” Setelah bicara begitu, aku setengah berlari menuju mobil Abizar, dan kami langsung pergi, dia langsung tancap gas. “Kenapa Ibu sampe nyusul gitu, Tan? Orang tuamu masih aja gak bisa nerima kalo anaknya sebentar lagi nikah, ya?” aku diam. Mencoba untuk mendinginkan kepalaku, gak mau terbawa emosi yang menyebabkan ucapanku jadi gak karuan. Abizar mengambil jalan memutar, mungkin agar aku reda dulu emosinya, karena dari tadi aku hanya diam. Tapi, semakin lama, aku baru sadar, kalo ini, bukan jalan arah ke apotek, karena bingung akhirnya aku buka mulut juga, “Ini ke mana sih, Bi. Kok jalannya bukan ke arah apotek?” Abizar mengangguk, “Emang bukan. Aku mau nyulik kamu, biar kamu gak kesel begitu. Mau, kan, diculik sama aku? Kita jalan aja, ke mana yang kamu mau, ya.” aku berpikir, mungkin Abizar ada betulnya juga, “Boleh, deh. Aku izin dulu ke kepala ruangan. Tapi, Bi, nanti kalo aku dipecat, gimana? Aku udah keseringan gak masuk kerja.” Tiba-tiba aku merasa ragu dengan ajakan Abizar. “Dipecat, ya udah. Malah bagus, jadi kamu diam aja di rumah, nunggu aku pulang kerja, masak buat aku, ngelayanin aku. Biar kamu gak kecapean tapi justru keenakan, gimana?” dia tersenyum dan aku tau, ke mana arah pembicaraan Abizar, “Kamu tuh, masih pagi, Bi, udah m***m aja otaknya.” Dia ketawa ngakak, “Ya biarin, berarti aku lelaki normal. Yang bahaya itu, kalo ada perempuan secantik kamu tapi aku diem aja, gak respon, itu kamu harus tanda tanya besar.” Akhirnya kami tertawa, ada beban yang sedikit terangkat ketika ngobrol dan bercanda begini sama Abizar.  Tujuan pertama, kami memutuskan untuk sarapan dulu, di tukang bubur pinggir jalan, yang lumayan ramai, “Kalo jualannya rame yang antri begini, biasanya dua kemungkinannya, Tan, emang enak banget atau orang penasaran dengan rasanya yang berarti marketingnya berhasil.” Aku mengangguk, “Aku setuju. Tapi kayaknya, kalo abang yang jualan ini sih emang karena enak, deh. Karena dilihat dari gerobaknya, bukan modelan gerobak yang baru dan sedang nyari pembeli, itu yang antri sepertinya memang pelanggan tetapnya. Aku mau ya, Bi, sedikit aja buburnya, banyakin sambelnya, biar pedes banget plus sate ususnya lima, boleh, ya.” Abizar mengangguk, meng-iya-kan permintaanku, “Boleh donk. Kamu emang harus makan banyak, harus isi tenaga yang banyak, biar staminanya penuh. Karena setelah ini, kamu bakal kerja keras dan aku yakin kamu pasti kelelahan. Jadi, kamu harus siap-siap.” Aku yang penasaran dengan maksud Abizar barusan, tidak sempat menanyakan apa maksudnya, karena Abizar keburu turun dan ikut mengantri di barisan para pembeli bubur yang bejibun itu. Aku jadi mikir, jangan-jangan setelah ini, Abizar minta jatahnya lagi, seperti semalam. Aku menutup wajahku, malu. Tapi di sisi lain, aku juga khawatir, kami sudah banyak berbuat dosa dan terlalu sering. Namun, hatiku juga bersorak, menantikan apa yang akan Abizar lakukan lagi, setelah ini. Aku bingung dengan perasaanku sendiri, tidak bisa menolak, tapi khawatir juga. Tapi, aku hanya bisa pasrah. Benar kata Abizar yang sering dia ucapkan berulang kali, “Kita udah dewasa, semua keputusan ada di tangan kita. Toh sebentar lagi kita nikah, jadi, apa yang harus ditakutkan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN