Dipecat

1100 Kata
“Besok pagi, kamu datang ke apotek, saya tunggu. Ada hal penting yang harus saya sampaikan ke kamu, Tania.” Begitu bunyi pesan yang aku dapatkan dari kepala ruanganku di apotek. Tidak aku balas, karena sepertinya aku tau, ini hal mengenai apa. Aku sepertinya akan dipecat, karena memang aku sadar, catatan izinku sudah banyak. Aku mematikan kembali handphoneku, lalu melihat Abizar yang sedang tertidur di sebelahku, aku pandangi wajahnya. Iya, kami melakukannya lagi, kali ini di hotel yang agak jauh dari daerah kami, “Biar gak ada yang ngawasin atau memergoki kita, biar kita aman.” Begitu ucapnya tadi, butuh waktu sekitar satu jam setengah untuk sampai ke hotel ini. Ketika aku sedang melihat ke arah Abizar, dia bergerak, dan membuka matanya, “Kita nginep aja, yuk, Tan.” Aku menggeleng, “Gak boleh, Bi. Aku harus pulang, nanti Bapak makin marah. Lagian besok aku harus ke apotek, sepertinya kepala ruanganku juga marah karena aku keseringan gak masuk kerja, gimana kalo aku dipecat, Bi?” Abizar meraih pinggangku, memelukku, “Kan tadi aku udah ngomong, Tan, malah bagus. Jadi bulan madu kita bisa lebih lama, gak harus terganggu sama telepon yang berdering atau pesan yang masuk dari kepala ruanganmu. Udah ah, sini, dekat-dekat aku, sayang. Kita nginep, ya. Kalo kamu gak mau kita nginep, aku marah nih.” Jadilah, aku luluh dengan ajakan Abizar, “Iya deh, iya. Aku kirim pesan dulu ke Ibu, biar Ibu sama Bapak tau, kalo aku gak pulang.” Lalu aku meraih handphoneku, “Bu, aku nginep di rumah Dede, ya. Malam ini baju pengantinnya jadi, mau sekalian aku coba, aku juga mau ngobrol sama dia.” Sent. Lalu aku mencari nomor Dede, meminta bantuannya untuk memuluskan rencanaku, “De, kalo Ibu atau Bapak nyari aku, bilang aku sama kamu, ya. Aku nginep di rumahmu. Aku ada urusan.” Beres. Pesan itu juga sudah aku kirim ke Dede. Tidak berapa lama, balasan chat dari Dede masuk, “Jangan keseringan gitu, Tan. Kamu sama Abizar masih belum halal. Inget dosa.” Tidak aku balas lagi chatnya. Keesokan harinya, setelah kami sarapan di hotel, jam setengah delapan, kami check out, dan Abizar mengantarkanku ke apotek, “Ini aku langsung anterin kamu ke Apotek, ya, Tan?” aku mengangguk, “Iya, Bi. Biar cepet beres lah urusannya sama si nenek lampir. Capek juga aku. Kalo dipecat ya dipecat lah, kerja di sana juga gaji gak seberapa, capeknya iya, tanggung jawabnya besar.” Gerutuku. Abizar hanya tertawa, “Ya udah, nanti kamu di rumah aja. Setelah kita nikah, tugasmu hanya ngurus aku, ngelayanin aku, pagi, sore, malam, sampe aku puas. Oke.” Aku tersenyum, bayangan pernikahan dengan Abizar sudah semakin dekat saja. Tepat pukul sembilan, aku sudah sampai di apotek, dan langsung masuk ke ruangan kepala ruanganku. Dia sudah duduk di sana, dengan wajahnya yang ketus dan jutek, seperti biasa. “Kamu udah gak fokus lagi untuk kerja, Tan. Udah kebanyakan izin, apa memang sudah niat mau berhenti bekerja setelah menikah?” baru juga aku menyentuh kursi untuk duduk, sudah diberondong ucapan dan pertanyaan seperti itu. “Sebenarnya, saya sih mau terus kerja, Bu. Hanya saja, kenapa belakangan ini saya sering izin, karena memang kondisi badan saya lagi benar-benar ngdrop, urusan dan persiapan pernikahan juga masih banyak yang harus saya bereskan. Itulah alasannya.” Tidak ada tanggapan apa pun dari ibu ini, dia hanya menyodorkan amplop putih yang berisikan kertas, dan kemudian aku buka. Kepala suratnya jelas tertulis, “Pemutusan Hubungan Kerja.” Yap, tepat seperti dugaanku, aku dipecat. Aku hanya membaca sekilas, “Jadi, saya dipecat, Bu? Per hari ini, ya?” dia hanya mengangguk, “Iya, per hari ini, kamu resmi bukan karyawan di apotek ini lagi. Ambil sisa gaji, uang makan, dan juga transport di kasir depan, saya udah suruh mereka siapin.” Aku hanya mengangguk, bergegas keluar dari ruangan ini, dengan hati yang ringan, “Akhirnya bebas juga.” Begitu ucapku. Aku langsung menuju ke kasir, “Aku mau ambil sisa gajiku, disuruh kepala ruangan.” Si kasir yang merupakan keponakan kepala ruangan, diam, tanpa ekspresi mengulurkan amplop berisi sisa gajiku. Bersamaan dengan itu, handphoneku berdering, tertulis nama Abizar di sana, “Bi, akhirnya aku bisa bebas juga. Kamu bisa jemput aku di apotek?” aku mendengar jawaban iya, di seberang sana. Sementara terlihat rona marah di wajah keponakan kepala ruangan ini.  Setelah dijemput Abizar, dia mengantarkanku pulang, “Aku harus langsung ke kantor lagi, Tan. Kamu istirahat aja dulu, ya. Nanti kalo kerjaanku udah lapang, ada waktu senggang lagi, kita ketemuan lagi, ya, sayang. Lagian kamu jangan capek-capek, hari pernikahan kita tinggal semingguan lagi, nanti kalo udah tiga hari lagi, kita jangan ketemuan dulu, ya. Biar kangen gitu, jadi malam pertamanya lebih greget.” Aku tersipu, ucapan Abizar tidak ada yang lepas dari kata-kata mengundang rasa desir di hatiku, aku benar-benar jatuh cinta. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke dalam rumah, disambut dengan Bapak yang sedang menonton televisi, “Loh, kok jam segini udah pulang, Tan? Apoteknya tutup atau gimana?” aku menggeleng, “Aku dipecat, karena kemaren izin beberapa hari waktu sakit.” Bapak mengernyitkan dahinya, “Dipecat? Masa iya, karena kamu sakit, kamu dipecat? Aneh banget tempat kerjamu. Mungkin selain sakit kemarin, kamu kali yang izin gak jelas, makanya bosmu sampe mecat kamu gitu. Gak mungkin, Tan, kalo gak ada alasan kuat, tiba-tiba bos mecat karyawannya.” Aku mendengus keras, “Bapak kenapa, sih? Dari kemaren, sentimen banget sama aku? Bukannya ngebelain aku, malah nyalahin aku. Ini anakmu, loh, Pak, yang dipecat, eh, Bapak malah nyalahin aku, marahin aku. Udahlah, aku ke kamar aja, gak usah panggil-panggil aku. Capek banget urusan sama orang-orang di rumah ini.” Bapak berdiri, “Tania, duduk!” begitu perintahnya, tentu saja aku tidak menuruti, “Mau apa, Pak? Belom cukup Bapak marahin aku? Aku capek, baru dipecat, ditambah lagi dimarahin Bapak.” Ibu yang mendengar aku sedang bersitegang dengan Bapak, keluar dari kamar, dan menenangkan Bapak, “Pak, udah donk. Nanti Bapak sesak. Tan, masuk ke kamar.” Aku berjalan menuju kamar, terdengar suara Bapak yang keras banget, “Kamu begini karena Abizar, Tan. Dia yang memengaruhi kamu jadi kasar dan gak sopan sama orang tua. Kerjaanmu juga jadi gak karuan, sampe dipecat gitu, berarti kesalahanmu udah fatal.” Langkah kakiku terhenti dan berbalik melihat ke arah Bapak, “Jangan selalu aja nyalahin Abizar, Pak. Dia justru sayang banget sama aku, dia yang banyak bantu aku selama ini. Kerja di apotek itu, gak pernah cukup uangnya, untung ada Abizar yang sering beliin aku makan siang, jemput aku kalo aku lembur. Harusnya Bapak berterima kasih karena Abizar melindungiku.” Aku lari ke kamar dan membanting pintunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN