Episode 5 : Kabar Terbaru Ipul

1466 Kata
Episode 5 : Kabar Terbaru Ipul “Orang itu ada di Indonesia. Ada di Jakarta.”  Rafael menjelaskan perihal hasil pencarian pemilik nomor baru yang terus mengirim pesan mesra kepada Fina, melalui sambungan telepon. “Apakah itu Bian?” tanya Fina cepat. Fina benar-benar penasaran, siapa dalang di balik pesan mesra yang terus memenuhi obrolan pesan WA-nya. “Aku enggak yakin. Tapi statusnya pakai KTP warga Jakarta. Besok orangnya pasti ketemu,” balas Rafael dari seberang. “Kalau pakai KTP warga Jakarta, berarti bukan Bian, dong?” balas Fina yang menjadi tidak yakin, jika pelaku pengirim pesan mesra padanya Bian. “Aku juga berpikir seperti itu. Tapi menurutmu siapa? Kamu ada kenalan orang Jakarta?” balas Rafael. “Ya enggak, lah, By ... masa iya, ke mana-mana, aku juga selalu sama kamu. Harusnya kamu kenal juga kan, sama orang yang kenal aku? Eh, By ... dia tahu nama lengkapku, lho.” Fina yang awalnya meringkuk di atas tempat tidur menghadap jendela, berangsur meluruskan punggungnya. “Kalau ada jasa santet online, aku mau sewa buat dia,” balas Rafael. “Berani-beraninya dia goda-goda istriku!” Balasan Rafael masih terdengar sangat marah. Antara cemburu bahkan emosi. Fina paham itu.  Di antara suasana kamar yang temaram, Fina menghela napas pelan. Fina berusaha mencari solusi agar emosi suaminya menepi. “Dan sampai sekarang, nomor itu masih hubungin kamu?” lanjut Rafael dari seberang masih terdengar geram. “Iya, masih. Telepon juga. Tapi setiap aku alihkan ke kamu, kayaknya dia langsung tahu deh?” Fina menarik selimut yang sudah menyelimuti tubuhnya hingga menutupi pundak. “Iya. Jadinya kayak sejenis misscall!” “Ya sudah, By ... tidur. Sudah hampir pukul dua belas malam. Oh, iya ... nanti aku bangunin kamu sekitar pukul tiga, ya?” balas Fina yang sengaja bersikap jauh lebih tenang sekaligus sabar, agar emosi suaminya menjadi jauh lebih membaik. Terdengar Rafael yang menghela napas dalam dan berakhir dengan mendesah. “Masa iya malam ini sampai besok, aku ngelonin guling, Mih?” Awalnya, Fina sudah mulai memejamkan matanya. Namun keluhan Rafael dari seberang sukses membuatnya tergelitik. Fina merasa geli sekaligus tersipu dalam waktu yang bersamaan atas keluhan itu. “Y-ya, salah siapa ...,” ucap Fina yang juga sampai menjadi gugup. Karena hingga detik ini, membahas hal-hal yang berhubungan dengan urusan ranjang apalagi hubungan ‘intim’ selalu saja membuat Fina gugup, bahkan sekalipun ia membahasnya dengan Rafael. “Kok, salah, sih, Mih? Ini kan tugas negara ... biar dapur tetap ngebul!” balas Rafael yang Fina yakini sedang sengaja menggodanya. “Ya sudah, By ... tidur. Kalau malam kamu ngomongnya suka melantur. Nanti kalau papa sampai dengar, bahaya!” balas Fina sengaja mengingatkan. “Enggak mungkin. Aku enggak sekamar sama papa. Kita ngobrol saja sepuasnya! Aman!” Dari seberang, Rafael terdengar sangat bersemangat. Membuat Fina merasa tak habis pikir di tengah ketegangan yang juga mendadak menyerang wanita itu. Memangnya, apa yang ingin Rafael bahas, sampai-sampai, suaminya itu menjadi begitu bersemangat? “Mih ...?” Kali ini suara Rafael terdengar sangat lirih sekaligus lembut, sarat rasa cinta. Fina sampai merinding mendengarnya. Sebab suara Rafael terdengar sangat nyata, seolah-olah pria itu memang ada di dekat Fina. Rafael seolah baru saja berbisik di sebelah telinga Fina sambil mendekap tubuh Fina erat layaknya biasa. “Iya, By? Kamu jangan bikin aku tegang,” balas Fina akhirnya yang memang sampai menggigit bibir bawahnya demi meredam rasa tegang yang masih menyelimuti.  “Sebenarnya, Rafael mau bahas apa, sih, ya?” batin Fina menjadi waswas. Jantungnya sampai berdebar-debar. “Kalau puasanya sudah beres, ... kita bulan madu, ya? Nanti kamu yang tentuin. Kamu mulai browshing, kita mau pergi ke mana?” Dan lanjutan Rafael yang masih begitu membuat Fina terbuai, sukses membuat Fina tersipu. Senyum di wajah Fina menjadi begitu lepas. Kemudian wanita itu mengangguk-angguk setuju. Fina menjadi sangat bersemangat. “Iya, By! Aku mau!” “Ya sudah. Kalau begitu, aku mau dicium, dong ...,” pinta Rafael yang kali ini terdengar kembali manja tak ubahnya bocah. Fina nyaris tergelak meski pada akhirnya kembali tersipu. Sambil menekap sebagian mulut berikut hidungnya menggunakan sebelah tangan, ia pun berkata, “tapi habis itu tidur, ya? Ini sudah malam, sedangkan kamu juga baru beres kerja? Belum besok harus bangun pagi buat sahur.” “Iya. Setelah kamu nyium aku sebanyak tiga puluh tiga kali.” “K-kenapa, ... harus tiga puluh tiga kali, By? Kok kedengarannya khusus banget?”  “Biar kayak dzikir Mih ....” Fina tak kuasa menolak permintaan Rafael yang juga masih membuat hatinya berbunga-bunga. Bahkan karenanya, Fina masih merasa tidak percaya jika pernikahannya dan Rafael begitu membuatnya menjadi wanita yang selalu bahagia. Ya, ... Rafael membuat Fina menjadi sempurna. Dan Fina berharap, semuanya akan selalu begitu hingga mereka sama-sama menua. Hingga mereka menutup mata bahkan kembali dipersatukan di kehidupan selanjutnya. “Nah, sudah tiga puluh tiga kali, By. Sekarang, kamu pimpin doa tidur, ya?” ucap Fina setelah menyelesaikan misinya. “Baiklah ….” Rafael pun memulainya dan Fina yang menyimak juga berangsur memejamkan kedua matanya. “Alaahumma barik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaa bannar,” Mendengar doa yang Rafael lafalkan, Fina pun terkesiap. Fina refleks membuka matanya yang awalnya sudah terpejam. “Lho … itu doa sebelum makan, By,” ujar Fina mengoreksi. “O-oh … iya, ya ampun, Mih … maaf khilaf ingatnya makan terus gara-gara tadi buka puasa.” Balasan Rafael yang terdengar sangat polos, sukses membuat Fina tertawa. “Ya sudah, By. Ayo ulangi. Ingat, doa sebelum tidur.” “Iya, Mih … bismilah ….” *** Di tempat yang berbeda, sebuah kebahagiaan yang luar biasa juga sedang Ipul rasakan. Sebuah DM di i********: pria itu berasal dari salah satu akun yang mengatakan sebagai manajemen dari pencarian orang berbakat melawak layaknya Ipul. Terlepas dari itu, kesibukan Ipul yang akhir-akhir ini sering melakukan siaran video langsung di i********: memang membuat pria itu memiliki banyak penggemar. “Bue ... Pae!” Ipul yang awalnya sedang berdiri di depan kandang kambing dan mengawasi sumber penghasilan keluarganya, langsung lari tunggang-langgang.  Kedua mata Ipul berbinar-binar menatap tak percaya layar ponselnya yang memang berasal dari salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia.  Setelah berhasil masuk ke kamarnya, tujuan utama Ipul adalah kamar orang tuanya yang pintunya sudah tertutup bahkan terkunci. Ipul menggedor-gedor pintu itu sambil terus berseru, mengabarkan dirinya terpilih menjadi artis. Pintu kamar orang tua Ipul telah dibuka dari dalam. Tampak Sumi yang masih merem-melek sambil menyanggul asal rambut panjang bergelelombangnya. “Apa sih, Den Bagus Ipul?” uring Sumi. “Bue, lihat, Bue … ternyata di DM ada pesan dari rumah produksi biar aku jadi artis Bue!” cerita Ipul yang sampai menggebu-gebu. “Jadi artis bagaimana, Pul? Jangan-jangan, borax lagi?” balas Sumi yang menjadi waswas, kendati jika memang kabar itu benar, ia juga sangat bahagia sekaligus bangga. “Bukan borax, kok, Bue … ini asli. Kan sekarang aku sudah terkenal melebihi Keandra!” jelas Ipul. Mendengar itu, Suami tak kuasa menahan kebahagiaannya. “Ya ampun, Pul … berarti kamu beneran bakalan jadi artis, ya?!” “Iya, Bue … aku bakalan jadi artis!” Ipul mendekap erat Sumi dan keduanya sampai jingkrak-jingkrak saking senangnya. “Ini ada apa, ini, kok malam-malam berisik banget?” tegur Sukat yang terbangun. Sukat duduk di tepi kasurnya tanpa benar-benar bangun terlebih bergabung dengan anak dan istrinya. Mendapati itu, Sumi pun segera mendekati suaminya. “Ipul bakalan jadi artis Pae!” sergahnya. “Iya, Pae! Aku bakalan ke Jakarta dan pastinya bisa ketemu mai oli wan dek Fina!” Ipul yang kali ini mengenakan kalung rante andalannya, benar-benar bersemangat. “Kamu ke Jakarta?” ucap Sukat memastikan. Ipul bahkan Sumi segera membalasnya dengan mengangguk sambil terus tersenyum semangat.  “Kalau kamu ke Jakarta, yang urus kambing sama kebo-kebomu siapa? Bapak enggak setuju!” tolaknya tegas. Kebahagiaan yang awalnya menyertai Ipul dan Sumi, sirna seketika menyisakan raut getir. Keduanya menatap Sukat tak percaya. “Tapi aku pengin jadi artis, Pae! Aku juga mau ke Jakarta biar ketemu mai oli wan dek Fina!” rengek Ipul. “Enggak bisa. Enggak ada yang boleh ke Jakarta. Dan enggak ada lagi acara ketemu mai oli wan. Fina sudah menikah, Pul!” tegas Sukat tak menerima alasan apalagi penolakan. “Kalau begitu aku mau bunuh diri!” ancam Ipul. “Matia sono! Siapa yang mau urus kambing sama kebo kalau kamu minggat ke Jakarta?!” tegas Sukat. Balasan Sukat sukses membuat suasana tegang. Ipul sampai menatap ayahnya itu dengan sebal. “Minggat? Aku disuruh minggat ke Jakarta? Okelah aku minggat biar ketemu mai oli wan! Tapi sebelum itu, aku harus jual kambing dan kebo dulu, biar ada modal buat ke Jakarta!” batin Ipul yang kemudian berlalu tanpa kata termasuk penolakan terhadap keputusan bapaknya. “Pae … apa yang kamu lakukan itu sangat jahat!” tegas Sumi yang juga berlalu menyusul kepergian Ipul. Sukat yang dengan keputusannya, menjadi mendengkus kesal. “Ibu sama anak, sama saja. Sama-sama enggak bisa diatur!” cibirnya. Ipul yang mengetahui sang ibu menyusul sengaja pura-pura menangis. “Biar Ibu tambah enggak tega dan kasih aku banyak pesangon buat ke Jakarta!” pikir Ipul yang detik itu juga langsung menangis meraung-raung. “Pul, kamu maunya apa, Pul? Jangan nangis dong Den Bagus ... Cep cep cep ....” “Aku mai duit, Bue ... aku butuh duit buat ke Jakarta!” rengek Ipul. “Ya sudah, nanti Bue kasih.” “S-serius, Bue?!” “Iya, yang penting kamu enggak nangis lagi, ya? Jangan sedih-sedih lagi.” “Iya, Bue. Pasti aku enggak sedih lagi. Memang Bue mau kasih aku berapa?” “Ibu ada uang dua juta, berarti buat kamu dua ribu saja!” balas Sumi sembari mengelap air mata Ipul menggunakan kedua tangannya. “Ibu punya dua juta, tapi yang buat aku cuma dua ribu? Ya ampun, Bu ... duit dua ribu dikentutin juga langsung terbang!” Mendengar itu, Sumi menjadi kebingungan. Ia segera menyusul Ipul yang melangkah cepat ke belakang rumah dan ia yakini akan ke kandang kambing berikut kerbau mereka. “Kalau begitu kamu maunya berapa? Kamu butuh uang berapa?” bujuk Sumi dan entah akan sampai kapan, anak kesayangannya itu ngambek.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN