©The Secret Of Aurora
Wisnu terlihat menghela pelan sembari menggerakan matanya cemas. Pemuda yang tengah duduk di ruangan OSIS itu berusaha tenang walau badannya bergetar kecil. Bayangan sosok Reno yang menggantung diri tadi masih berbekas di ingatannya.
Pintu ruangan terbuka membuat pemuda itu mengangkat wajah kecil dengan berusaha menguasai air mukanya.
"Kenapa masih di sini? Lo gak ke rumahnya Reno?" Tanya pemuda yang tidak lain adalah wakilnya sendiri, Wisnu terdiam dengan menggertakan giginya, "orang tua Reno udah di depan. Jenazah katanya mau langsung di makamkan,"
Hans menghela kasar sembari hendak berbalik meninggalkan Wisnu yang masih menutup rapat mulutnya.
"Elo percaya kalau Reno bunuh diri?"
Hans memejamkan mata erat berusaha meredam emosinya. Pemuda berbadan tegap itu membalikan tubuhnya menghadap Wisnu yang kini menatapnya lurus.
"Reno gak mungkin bunuh diri. Gue sahabatnya, gue kenal Reno itu seperti apa." Ujarnya membuat Hans menggeram lalu mendekat meraih kasar kerah baju pemuda itu, "terus lo kira gue bukan sahabatnya?" Sentak pemuda itu kasar dengan tangan yang masih bertengger pada kerah baju Wisnu.
"Jangan gegabah. Apapun yang terjadi, apapun yang masih ngejanggal di pikiran lo, gak usah lo peduliin. Yang harus lo tanam di ingatan lo, Reno bunuh diri! Dia ngabisin dirinya sendiri!" Tutur Hans dengan mengeraskan rahangnya, Wisnu masih menggigit bibirnya kasar. "Jangan sampai sikap bodoh lo ngebahayiin diri lo sendiri."
Hans sudah menarik kembali tangannya membuat Wisnu menatap kearahnya.
"Siapin diri lo. Gue tunggu di depan, jangan lama." Ujar Hans lalu membalikan tubuhnya meninggalkan ketua OSIS sekaligus sahabatnya itu di dalam sana. Wisnu mengusap kasar wajahnya dengan berusaha menahan bulir hangat yang sudah berada di ujung pelupuk matanya. Pemuda jangkung itu mendongak dengan menguatkan diri. Lalu ia pun melangkah keluar dengan tenangnya.
Wisnu tersentak kaget saat membuka pintu Hans sudah berdiri dengan menatapnya aneh membuat pemuda itu mengangkat alis tidak mengerti.
"Kenapa?"
Hans mendesah panjang lalu menarik Wisnu masuk ke ruangan OSIS lagi. Pemuda itu sekilas mengedarkan pandangannya. Takut ada murid lain yang lewat atau mendengarkan obrolan keduanya.
"Pihak keluarga gak disuruh lihat jenazah Reno untuk terakhir kali. Sekolah yang bakalan ngurus pemakamannya, keluarga cuma bertugas hadir di sana. Tapi sama sekali gak diijinin buat ngelihat Reno," mendengar itu Wisnu kembali mengeraskan rahangnya, "pemakamannya jadi ditunda besok. Gak ada yang bisa masuk kesana, di kunci dan ruangan mayatnya sekarangkan pakai sandi." Jelas Hans lagi merasa aneh sendiri.
"Terus orang tua Reno dimana sekarang?"
Hans mengedikan bahu pelan.
"Tadi gue dapat info kalau mereka udah gak ada di sana. Mungkin disuruh pulang," lagi-lagi Wisnu menghela kasar sembari membuang muka kesal.
Bagaimana sekolah dengan teganya melarang orang tua dan anak bertemu untuk terakhir kalinya?
Bukankah sekolah melakukan itu seakan menyembunyikan sesuatu?
***
Syahir dan Syakila terlihat berjalan beriringan dengan kening mengkerut. Keduanya masih memikirkan apa yang senior mereka katakan di kantin tadi. Mereka juga tidak tahu, kenapa senior bernama Dewa itu datang dengan sendirinya dan menceritakan hal aneh kepada mereka. Apalagi pemuda itu mengatakan kalau 'Reno' hanyalah korban dari sekolah mereka. Aneh. Membingungkan, tapi bikin penasaran.
Syahir menghela panjang sembari tersenyum kearah Syakila.
"Ini kelas lo, kan?"
Syakila mengangguk lemah membuat kembarannya itu menepuk pelan kepala mungilnya.
"Masuk, gih. Gue juga mau langsung ke kelas." Tutur Syahir lembut lalu berbalik meninggalkan Syakila di koridor sendirian. Gadis berkerudung itu memandangi punggung sang kakak yang sudah melangkah menjauh dengan perlahan menghilang di belokan tangga.
Gadis yang memiliki gigi gingsul itu mendesah panjang lalu melesat masuk ke kelasnya. Kelas X-2.
Syakila mengerjap samar dengan mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Teman sekelasnya sudah duduk bergerombol dengan bercerita heboh tentang kejadian bunuh diri tadi. Syakila ingin bergabung, tapi kata-kata Syahid tadi masih terngiang-ngiang di telinganya.
"Elo kesini sekolah. Lakuin hal yang seharusnya pelajar lakukan, jangan ikut campur masalah orang lain." Begitu kata Syahid, jadi gadis itu memilih menarik diri dari yang lain.
Syakila berjalan ke koridor meja dengan mencari tempat duduk yang masih kosong. Bibirnya menghela pelan melihat hanya tersisa dua meja kosong. Dua meja paling belakang. Ia pun menyampirkan tasnya sembari mendudukan diri pada meja kedua dari belakang. Matanya melirik kecil beberapa teman sekelasnya yang sudah akrab dengan bergerombol di meja depan.
Pintu diketuk dari luar membuat semua murid sontak berlari ke kursi masing-masing karena guru sekaligus wali kelasnya sudah memasuki ambang kelas.
Pria berkacamata tebal itu menghela nafas sejenak sembari melemparkan senyuman kearah murid kelasnya. Tangannya terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Sesuatu benda yang terlihat seperti remot. Pria itu menekan tombol berwarna merah mengarah ke papan di hadapannya membuat sebuah layar putih polos terbuka begitu saja. Para murid sontak bersorak kagum melihat canggihnya teknologi di sekolahnya.
Guru itu kembali mengarahkan remot kearah jendela membuat hordeng tertutup sendiri. Kemudian mengarahkan ke arah lampu membuat lampu mati bertepatan dengan menyalanya layar putih di hadapan mereka kini.
Para murid terdiam sembari melihat rentetan tulisan panjang yang tertera di layar.
"Nama saya Christ Gabriel. Panggil saya Mr. Christ. Saya akan jadi wali kelas kalian selama dua semester ke depan." Tutur pria yang masih berumur 30-an itu dengan tersenyum samar. Pria itu mengarahkan remotnya kearah layar. Menzoom tulisan di layar.
"Persyaratan Aurora high school," ujarnya dengan mendudukan diri pada mejanya dengan memeluk tangan di depan d**a lalu menoleh ke arah para muridnya, "menjaga nama baik Aurora, menjaga nama baik Aurora dan menjaga nama baik Aurora," ujarnya lagi mengulang omongannya tiga kali.
"Apapun kejadian di sekolah yang kalian lihat atau alamin sendiri, cukup kalian bawa sampai gerbang sekolah. Sisanya kalian tutup rapat, jangan sampai pihak luar tahu. Termasuk orang tua kalian sendiri," tambahnya lagi membuat para murid saling pandang di tengah cahaya samar-samar.
Syakila mengkerutkan kening dengan menggigit bibir. Gadis itu memejamkan matanya erat berusaha memberanikan diri lalu mengangkat tangan membuat Mr. Christ menautkan alis lalu menatapnya.
"Iya, silahkan!" Tuturnya membuat para murid menoleh kearah Syakila yang diam-diam menelan salivanya kasar.
"Kenapa persyaratannya begitu?"
Mr. Christ menaikan satu alis, "begitu apanya?"
Syakila membasahi bibir.
"Persyaratannya terlalu aneh, sir. Para murid seakan ditekan buat diam padahal seharusnya kami menceritakan semua masalah kami ke orang tua, termasuk masalah sekolah. Bukannya persyaratan sekolah terlalu mencurigakan?"
Christ menarik sudut bibirnya merasa tertarik dengan gadis yang kini masih menatapnya itu.
"Seharusnya sekolah bersifat terbuka. Bukannya sebaliknya, ini semua seperti sekolah sengaja menutup semuanya. Apa... semua ini karena pihak sekolah dalangnya?"
Para murid mengerjap polos sembari mengangguk membenarkan. Christ mengarahkan remot kearah lampu membuat lampu menyala begitu saja.
Christ menatap Syakila lurus dengan wajah datarnya membuat gadis berkerudung itu tersentak kaget. Christ kemudian tersenyum lalu beranjak dari kursinya.
"Nama kamu siapa?"
"Syakila, sir."
Christ mengangguk paham dengan tersenyum lagi, "sepertinya Syakila akan menjadi murid kebanggan saya tahun ini. Dia berpikiran kritis, dia juga pintar." Pujinya membuat para murid menoleh kearah Syakila yang mengerjap polos.
Bel istrahat pertama berbunyi membuat pria itu menghentikan omongannya lalu menatap Syakila lagi.
"Syakila."
"Iya, sir?"
"Selamat, yah." Ujarnya dengan tersenyum misterius lalu melangkah keluar meninggalkan Syakila yang mengerjap dengan tenggorokan kering. Teman sekelasnya melirik sekilas kearahnya lalu kembali sibuk pada aktifitas masing-masing.
***
Hembusan angin menerpa lembut wajah pemuda yang tengah duduk selonjoran di atas pembatas tembok. Cahaya lampu di seluruh kota dapat ia lihat di atas atap sekolah Aurora. Pemuda itu mengenakan pakaian gelap dengan tudung jaket yang menutup kepalanya membuat wajahnya terlihat samar-samar di bawah sinar bulan di atas sana.
Matanya menyapu seluruh sudut kota yang terlihat begitu indah dengan cahaya terang di setiap rumah yang bisa ia saksikan di atas sana. Matanya sekilas melirik kearah jam tangannya, tertera jam 00.00 disana. Saatnya menjalankan tugas.
Pemuda jangkung itu beranjak berdiri di atas pembatas tembok dengan memandang lagi pemandangan malam yang memuaskan mata. Kakinya melangkah pelan sembari mengeluarkan sesuatu dari ransel besarnya yang ia sampirkan ke pundaknya sedari tadi. Sepasang kaos tangan perekat langsung ia gunakan sembari menarik sabuk celananya kilat. Sabuk celananya ia ayunkan kearah tali besar yang mengarah ke gedung dua di sekolah Aurora. Sabuk yang ia ayunkan membentuk lengkungan. Sekilas pemuda itu menarik-nariknya pelan lalu dengan bibir yang bergerak kecil, ia langsung melompat membuat ia meluncur dengan melewati tali tadi.
Pemuda itu mendarat di atap gedung dua dengan selamat. Secepat kilat ia melepaskan kaos tangan dan memasukan sabuknya ke dalam ransel.
Cowok dengan hidung bangir itu melangkah cepat menuruni tangga sembari memakai kacamatanya yang sudah ia atur ke mode malam. Kacamata yang sudah ia modifikasi. Karena gedung dua begitu gelap tak bercahaya. Dengan memakai kacamata bening itu ia bisa melihat walau di tempat gelap sekalipun.
Langkah derap kakinya seakan menemani. Tangannya menekan sesuatu pada kacamatanya membuat CCTV di setiap koridor mendadak mati begitu saja.
Pemuda itu menghentikan langkahnya saat berada tepat di depan ruangan mayat. Matanya melirik layar kecil yang menempel pada pintu membuat ia sontak melepas kacamatanya dan menempelkannya pada layar itu.
Klik
Pintu ruangan terbuka begitu saja. Pemuda itu melangkah tenang menuju ruangan yang begitu dingin itu. Kakinya melangkah mendekat kearah ranjang dimana jenazah Reno berada.
Tangannya bergerak sembari menyingkap kain putih membuat wajah sampai d**a remaja itu terekspos begitu saja.
Matanya bergerak mengamati tubuh yang sudah kaku itu. Ada memar di bagian d**a kirinya, dan beberapa luka di wajah pemuda itu. Bibirnya mendesah panjang sembari meraba kepala Reno dengan kaos tangan yang sudah ia pakai. Ada darah yang mengering di belakang kepala pemuda itu. Jadi sulit kalau kejadian tadi adalah bunuh diri.
"Istrahat yang tenang." Tuturnya sembari menutup kembali tubuh pucat Reno yang sudah kaku.
Pemuda itu hendak berbalik namun suara alarm terdengar membuat ia tersentak kaget. Secepat kilat ia berlari kearah jendela dan melompat begitu saja. Bertepatan saat seseorang berlari masuk kesana dengan mengeraskan rahangnya.
Pemuda yang masih memakai seragam sekolahnya itu melirik kearah jendela dengan menajamkan pandangannya. Di atas saku bajunya ada name tag bertuliskan Wisnu Abrisam di sana.