Arjuna melangkah malas dengan mamasukan kedua tangannya pada saku jaket. Pemuda itu melongos kasar sembari menyenggol sosok jangkung yang berjalan di sebelahnya sedari tadi di pinggir trotoar jalan.
"Elo ngajak gue keluar cuma ngeronda malam? Kalau tahu begini gue ogah keluar, mending rebahan di kamar." Oceh Arjuna sembari kembali memeluk diri dan mendecih kecil kearah temannya itu.
"Diem aja, gak usah ngebacot." Balas pemuda sekaligus atlit taekwondo itu kasar, Juna menghentikan langkahnya sembari menendang kasar b****g Kean, "apasih g****k?" Ringis Kean dengan mengusap bokongnya yang kesakitan. "Kalau ada masalah tuh cerita, jangan cuma ngajak gue jalan santai dari tadi sepanjang jalan. Gak usah sok kuat," omel Arjuna lalu melangkah lebih dulu meninggalkan Kean yang terlihat menghela kasar.
Arjuna berdecak lalu membalikan tubuhnya menghadap cowok yang hanya memakai kaos hitam pendek itu.
"Beneran gak mau cerita nih? Mumpung gue lagi baik hati, gue dengerin,"
"Apasih? Gak ada,"
Arjuna kembali melongos kesal dengan mengeraskan rahangnya keras.
"Bodo amatlah, yang penting gue udah usaha ya." Ujarnya lalu melangkah cepat dengan mencebikan bibir, Kean kembali menarik nafas dengan gusarnya lalu berlari kecil dan menabok kepala Arjuna kuat.
"Apasih setan? Sakit b**o?!"
Kean hanya menatapnya datar lalu mengepalkan tangannya erat membuat Arjuna terdiam. Pemuda itu mengkerutkan kening merasa aneh dengan sikap Kean yang tidak biasanya.
"Gue dikeluarin dari pelatihan dan gak bakalan ikut turnamen lagi." Gumamnya pelan dengan helaan nafas panjang. Juna mengerjap dengan menggaruk tengkuknya bingung. "Kenapa bisa? Elo ngelanggar aturan ya? Jangan jangan elo pake n*****a kan? Makanya dikeluarin?" Cerocos Juna menuduh dengan menunjuk tak sopan pada wajah tampan di hadapannya itu.
"Bukan g****k, gue dilarang sama bokap."
"Lah kenapa emangnya?"
"Katanya gue harus fokus belajar, biar bisa masuk perguruan tinggi yang bokap mau."
Arjuna terdiam beberapa detik lalu menyengir lebar begitu saja dan merangkul Kean erat.
"Gimana kalau malam ini gue traktir somay depan jalan situ? Mumpung gue lagi baik nih," ajaknya berusaha menenangkan temannya itu, Kean mendecih kecil lalu mendorong kasar tubuh Juna.
"Gak somay juga dong b**o. Yang mahal dong, gue atlit nih."
"Apasih? Kan udah mantan,"
"Belum saattttt."
"Iya, iya, gue traktir bakso aci."
"WOI KEANNNNNNN!!!"
Kedua pemuda itu terlonjak kaget sembari menoleh ke belakang melihat sekumpulan orang berdiri menatap mereka kini.
Kean dan Juna saling pandang dengan kening mengkerut melihat Vino berdiri dengan beberapa teman-temannya seakan mau memalak keduanya.
"Elo berdua kenal cowok yang namanya Syahir kan? Dia tinggal dimana?" Tanya Vino dengan tersenyum miring sembari memeluk tangan di depan d**a. Kean mendecih kecil dengan membuang muka tidak peduli. Arjuna sendiri hanya mengulum bibir dengan menatap Vino dengan tatapan menyelidik.
"Kita aja gak kenal sama dia, namanya tadi siapa, Syahir? Syahir syeik yang artis india itu?" Ceplos Juna membuat Kean mengumpat lirih, Vino memainkan lidah di dalam mulut berusaha meredam amarahnya.
"Gue tahu, tadi elo sendiri ngobrol sama dia kan di ruangan latihan? Pasti kalian akrab kan?" Tanya Vino lagi menatap Kean lurus, "gue cuma ngobrol, gak lebih. Lagipula gue gak sedekat itu sama dia sampai tahu tempat tinggalnya segala." Balas Kean dengan menggaruk kecil pipinya dengan telunjuk.
Vino mengeraskan rahang dengan kesalnya.
"Oke, gue juga bisa nemuin tempat tinggal dia tanpa informasi dari lo." Tutur pemuda itu dengan tersenyum miring lalu membalikan tubuhnya pelan, "oh iya, elo katanya gak bisa ikut turnamen lagi ya? Sayang sekali, gak bisa ngajak lo tanding." Ujar Vino dengan tersenyum mengejek lalu melangkah pergi bersama teman-temannya meninggalkan kedua pemuda itu di sana.
Kean mengepalkan tangannya erat dengan mengumpat kasar.
"Si b******k itu."
"Sabar, sabar, orang sabar cepat mati."
"Apasih b**o?!"
"Heheh."
***
Syahid berdiri tegap dengan memandang lurus pagar rumahnya yang disinari cahaya remang-remang. Pemuda jangkung itu menajamkan pandangannya kearah tanah basah yang terlihat bekas jejak sepatu di sana. Anak sulung Azzam itu terlihat melangkah mendekat dan berjongkok disana sembari menjulurkan tangan menyentuh jejak sepatu yang terlihat ada beberapa bercak darah. Dengan kening mengkerut, pemuda dengan alis tebal itu beranjak berdiri memandang tajam kearah pohon rindang di depan rumahnya. Entah kenapa, matanya terkunci disana. Di belakang pohon besar itu, seakan ada seseorang di sana.
"Dapat orangnya?"
Syahid menggelengkan kepalanya lemah tanpa melihat kearah Syahir yang terlihat berdecak kasar dengan mengusap wajahnya frustasi.
"Kenapa ada orang yang lempar kaca rumah? Apa orang iseng? Atau ini salah satu pelaku teror atau semacamnya?" Ujar pemuda itu panik dengan mengedarkan pandangannya berusaha mencari keberadaan pelaku, Syahid hanya diam masih mengerjap samar lalu mendongak kecil memandang langit malam yang nampak mendung.
"Kenapa diam aja? Elo tahu sesuatu?"
"Bukan apa-apa." Balasnya lalu membalikan tubuh dan melangkah masuk ke dalam rumah dengan menyempatkan kembali menoleh kearah pohon besar di depan rumahnya.
Syahir berdecak lalu mengekori kembarannya dan menyempatkan menutup pintu rumah.
"Bagaimana ini, kalau dibiarkan begini saja nanti bahaya. Takutnya ada maling masuk," tutur Syahir menghela kasar memandangi pecahan kaca yang berserakan di lantai.
Syahid mengerjap dengan memandang Syahir lurus, "Syaqila di kamar sendirian," ujarnya membuat saudara kembarnya itu mengernyit kebingungan.
"Sebaiknya temanin dia, biar gue disini." Ujarnya lalu melangkah pelan kearah saklar lampu dan menekannya membuat ruang tamu gelap gulita. Syahir terdiam ragu lalu melangkah begitu saja meninggalkan Syahid disana sendirian tanpa sepatah kata.
Syahid kembali berdiri dari tempat duduknya lalu melangkah keluar mendekati pohon besar tadi. Pemuda itu berdiri dengan memasukan tangan di saku celananya.
"Siapa yang ngirim lo kesini? Apa motif lo?"
Sosok di belakang pohon besar itu tersentak kaget dengan tubuh membeku.
"Bukan urusan lo?!"
Syahid memejamkan matanya erat dengan membasahi bibir, "elo datang ke rumah keluarga gue, sudah pasti ini jadi urusan gue."
Sosok itu meringis kecil masih merapatkan diri pada pohon berusaha bersembunyi. Terlihat darah mengalir di celah lengan kemejanya membuat bibirnya sesekali meringis sakit.
"Gue bisa saja habisin lo sekarang." Ujar Syahid sembari membalikan tubuhnya dan berhenti sejenak, "tapi menghabisi orang lemah seperti lo, bakal ngotorin tangan gue." Balasnya dengan menajamkan pandangannya membuat cowok bertopi hitam di belakang pohon kembali membeku.
"Pergi sekarang, sebelum gue berubah pikiran." Tuturnya lalu menjeda omongannya, "satu lagi, obati luka lo sebelum lo mati sia-sia." Tambahnya lalu meninggalkan pemuda itu disana dengan nafas tercekat dan berusaha mengendalikan diri untuk tidak menampakan diri di depan Syahid.
****
Pagi itu di Aurora.
Cuaca lagi cerah-cerahnya membuat para murid semangat melangkahkan kakinya ke sekolah.
Mr. Christ terlihat berdiri di depan meja kepala sekolah dengan menyerahkan dokumen di tangannya.
"Ini semua data yang bapak minta, semua sudah tercatat disana. Bulan ini lab kita menghasilkan benih yang meningkat dari bulan lalu." Jelasnya dengan tersenyum samar, kepala sekolah menganggukan kepala senang sembari membuka dokumen dan membaca rentetan angka dan juga beberapa tulisan aneh di sana.
"Bagus. Kalau begini terus, kita bisa bangun gedung baru . Dan bisa menerima lebih banyak murid lagi," ujarnya terkekeh senang dan menutup dokumennya pelan.
Mr. Christ tersenyum lagi dengan membasahi bibir.
"Hari ini ketua pimpinan akan mampir buat kunjungan ke sini. Katanya akan ada wartawan juga yang akan meliput beritanya,"
"Bagus, bagus, kalau begitu persiapkan ruangan untuk tamu VIP nya. Kita akan bertemu dengan pimpinan di sana. Sama awasi, jangan sampai ada serangga yang mencoba mencari tahu tentang pertemuan ini."
"Baik, pak." Balas Mr. Christ lalu melangkah keluar dengan menyempatkan menutup pintu ruangan kepala sekolah pelan. Pria berkemeja rapi itu berjalan menelusuri koridor sekolah dan melangkah menuju ruangannya berada.
Mr. Christ menyempatkan menutup pintu ruangannya dan berjalan kearah lemari besar di dalam sana. Pria itu terlihat menjulurkan tangan dan mengambil salah satu dokumen berwarna cokelat gelap.
Pria berhidung mancung itu menarik bibirnya memandangi formulir salah satu guru disana.
"Kalau saja kamu gak ikut campur, mungkin kamu gak akan celaka, ibu Alisa." Ujarnya memandang formulir wanita berkerudung itu, "tapi sayangnya kamu terlalu bodoh dan naif." Tambahnya lagi dengan menghela pelan lalu meletakan lagi dokumen miliknya.
Ketukan pada pintu ruangannya membuat pria itu sontak melangkah mendekat kearah pintu dan membukanya.
"Ketua pimpinan sudah di depan."
"Oke,"
______
"Bagaimana cara bapak membuat sekolah Auorora tetap berjaya seperti sekarang?"
"Coba bapak berikan tips dan rahasianya, pak?"
"Apa benar, kalau disini tidak ada yang namanya perlakuan diskriminasi, semua disamaratakan?"
"Tolong beri sepatah dua kata, pak?"
Ketua pimpinan sekaligus ketua yayasan, bapak Robert Rezana anggota dewan itu tersenyum ramah dengan menatap kearah kamera dan juga para wartawan yang meliputnya di area sekolah.
"Terima kasih sebelumnya, karena kalian semua mau menyempatkan datang kesini. Ke sekolah kami yang berharga ini," ujarnya masih mempertahankan senyuman ramahnya, "Aurora memang punya Visi misi yang dibuat sedemikian rupa untuk mengatur para murid dan menjadikan mereka sebagai murid murid unggulan ataupun murid terbaik sekolah." Tambahnya lagi masih memandang kearah kamera, "dan saya sebagai ketua yayasan, tidak akan pernah membiarkan adanya k*******n di sekolah ini. Dan kalaupun ada murid yang bermasalah, saya dan para guru akan merangkul dan meraih tangan mereka dan kita bimbing mereka sampai jadi murid yang Aurora inginkan." Tutupnya lalu mengakhiri pidato panjang lebarnya dan melangkah masuk ke dalam area ruang guru dan staff diikuti Mr. Christ dan juga kepala sekolah. Para wartawan pun terlihat tersenyum puas dan membubarkan diri dan meninggalkan sekolah.
Di ruangan VIP pun, ketua pimpinan mendudukan diri dan langsung memasang wajah aslinya. Tidak ada senyum ramah-tamahnya. Semua hanyalah topeng di depan wartawan dan publik.
"Saya dengar ada berbagai kekacaun yang terjadi akhir akhir ini. Tentang anak yang bunuh diri itu, terus masalah di Hotel Antariksa yang gagal menghasilkan calon penghasil benih untuk lab." Ujarnya dengan mengeraskan rahang dan mengangjat kedua kakinya di atas meja, membuat kepala sekolah dan juga para guru merunduk takut.
"Kalian semua gak becus ya kerjanya. Kalian mau kuhabisi juga seperti ibu Alisa? Sang pahlawan kesiangan kita?" Katanya lalu tertawa pelan dengan menyalakan rokok miliknya.
"Kalau sampai ada terjadi kesalahan ataupun masalah lagi. Kalian semua akan saya pecat dan pastinya ada bonus untuk kalian semua," ujarnya dengan tersenyum miring dengan mengisap dalam rokoknya yang masih terbakar.
"Baik, pak."
Syahid berdiri tenang di atas atap sekolah dengan memandang ke bawah lapangan sekolah. Ada beberapa murid yang bermain basket di sana dengan beberapa siswi yang duduk dipinggir lapangan memberikan semangat.
Syahid menghela pelan lalu membaringkan tubuh di lantai dengan memandang langit biru yang terlihat mendung gelap. Pemuda itu mengerjap dengan menggerakan lengan menutup matanya.
Samar-samar ingatan masa lalunya kembaki terputar di otaknya. Ingatan yang ingin ia hilangkan. Ingatan yang selalu membuatnya mimpi buruk.
"Tolong..... bantu mereka..... nak. Bunda percaya..... Syahid anak yang.... baik."
Itu adalah kata-kata terakhir bundanya yang ia dengar. Setelah kejadian itu, bundanya koma sampai sekarang.
Entah apa sebenarnya yang Aurora rencakan sampai melenyapkan semua orang yang berusaha mencari tahu kebenaran tentang sekolah itu. Yang berusaha melaporkan masalah di sana ke dinas pendidikan, akan menghilang dan dilenyapkan begitu saja. Termasuk nasib ibu kandungnya, yang dulunya adalah seorang guru disana. Yang berusaha melaporkan masalah besar itu ke dinas pendidikan dan membeberkannya pada wartawan malah berakhir koma di rumah sakit.
Itulah salah satu alasan kenapa Syahid sekolah di Aurora. Mencari tahu tentang rahasia dan kebusukan Aurora. Melanjutkan perjuangan ibunya yang sempat tertunda. Sang ibu, Alisa.
"Aurora...... akan aku hancurkan."