Kekhawatiran Syaqila

1461 Kata
Syahir masih memandangi Vino dengan alis bertautan. Memandangi seniornya itu dengan tatapan menyelidik. "Elo duel sama gue di lapangan sekolah, SE KA RANG!" Mendengar itu Kean dan para anggota ekskul yang ada di ruangan menegak kaget dan sontak melirik Syahir yang hanya berdiri dengan tenangnya seakan tidak terpengaruh dengan ucapan Vino yang tidak masuk akal. "Gue gak diajarin buat ngealakuin k*******n, apalagi di sekolah dan jadi tontonan." Ucap Syahir sembari mengulum bibir dan menggigitnya pelan. "Bacot! Sekarang lo bersikap seakan jadi superhero dan belaga jadi orang baik? Cuih... " "Elo senior dan sekaligus ketua ekskul. Seharusnya elo paham betul tentang aturan sekolah yang melarang keras pembullyian dan hal hal yang menyalahi kekuasaan, seperti yang lo lakuin sekarang." Tutur Syahir masih berusaha tenang walau pemuda itu sudah menghela kasar sedari tadi, Vino tertawa hambar dengan memainkan lidah di dalam mulutnya. Terpancing dengan omongan Syahir, "elo anak baru, berani ceramahin gue?!" Sentaknya kasar sudah perlahan maju membuat Kean yang berdiri di pinggir ruangan jadi maju dan menahan tubuh jangkung itu. Vino mengumpat dan berusaha mendorong tubuh Kean kasar, "tahan kak, tahan. Elo kalau begini terus bakalan barabe urusannnya, apalagi kalau ketua Osis tahu" ucap Kean masih menahan tubuh Vino kuat. "Lepasin gue b*****t?!" "Jangan ngumpat astaga, ini gue Kean atlit taekwondo. Gak ada harga dirinya gue." "Bodo amat njing, gue gak peduli?!" Syahir menghela nafas lalu membalikan tubuh berjalan keluar begitu saja membuat semua melongo. Pemuda berahang tegas itu terlihat membuka pintu dan melangkah di koridor tanpa menoleh lagi seakan tidak terjadi apa-apa. "Hei anak baru! Berhenti lo!" Syahir menghentikan langkahnya lalu menoleh dengan membasahi bibir bawah. Pemuda itu mendongak kecil berusaha tidak ikut terpancing dan kebablasan melayangkan pukulan pada senior di hadapannya itu. Vino berjalan cepat dan mendekat kearah Syahir yang berdiri menunggu kedatangannya. Keduanya kini jadi tontonan hampir seluruh siswa membuat Kean menggelengkan kepala heran dan melongos begitu saja. Kenapa jadi panjang begini. "Gue belum nyuruh lo buat pergi," ujar Vino sudah menggertakan giginya geram. Syahir mengkerutkan kening tidak mengerti. "Kalau lo ngajak gue untuk duel lagi, gue gak akan ladenin." Balasnya masih tenang dengan melongos melihat semua mata menatapnya kini. Vino tersenyum miring. "Sebagai anak baru, elo termasuk berani dan kurang ajar. Elo gak punya hak buat nolak dan pergi sebelum gue ijinin lo." "Kenapa gue harus ijin sama lo? Elo siapa sih?" "Anjing! Bocah ini.... " marah Vino sudah meraih kerah seragam Syahir kasar membuat semua jadi panik. Ada juga yang malah mengambil kesempatan dan melakukan taruhan seakan keduanya adalah ayam yang akan diadu. Ada juga yang mengambil gambar dan merekam dengan kamera di ponsel masing-masing. "Gue bakal lepasin dan lupain kejadian ini kalau lo berlutut di hadapan gue sekarang!" Syahir malah tersenyum miring dengan membalas tatapan Vino tepat, "elo yang harusnya berlutut sama korban lo tadi." Vino makin geram dan mengepalkan tangannya erat. Pemuda tinggi itu menarik tangannya dan tersenyum miring begitu saja menatap Syahir. "Suruh nyokap lo buat berlutut di hadapan gue sekarang. Sebelum lo ngerasain memderita sekolah di sini karena berani beraninya lawan gue. Suruh nyokap lo jilat sepatu gue di sini, sekarang!" Syahir mengeraskan rahang. Pemuda itu sudah menatap Vino tajam dengan tangan yang sudah mengepal erat. "Ngapain masih di sini? Ayo pulang." Ujar Syaqila yang entah datang darimana sudah menggenggam kepalan tangan Syahir yang jadi perlahan melonggar. Tersadar dan luluh begitu saja karena kehadiran kembarannya itu. Syahir mengerjap polos dan terseok pasrah karena ditarik Syaqila pergi darisana dan menerobos kerubunan para murid yang berada di koridor. Vino malah mengangkat alis tinggi, hanya menatap kepergian dua orang itu dalam diam. Kean yang sedari tadi sibuk melarang teman-temannya mengambil gambar jadi mengkerutkan kening melihat kemunculan gadis itu. Jauh di belakang sana. Seorang pemuda berdiri memandangi kerubunan itu dengan tatapan dinginnya tanpa berniat mendekat seperti yang lain. **** "Jelasin sama aku kenapa bisa bisanya kamu di koridor tadi dan jadi tontonan hampir semua murid?" Syahir diam. Memandangi Syaqila yang duduk di sofa sembari mengintrogasinya soal kejadian di sekolah tadi. "Dia bersikap seenaknya sama junior." Balas pemuda yang masih memakai seragam sekolahnya itu. Syaqila mendesah panjang dengan memandang Syahir lagi. "Terus kenapa? Gak ada urusannya sama kamu kan?" "Ya Allah, Qila. Gue gak bakalan diam aja ngelihat seseorang ditindas di depan mata kepala gue sendiri. Gue masih punya hati," balas Syahir berusaha tidak meninggikan suara di depan kembarannya itu. "Punya hati? Kamu masih mikirin orang lain dan sama sekali gak mikiran perasaan aku? Kalau kamu kenapa napa gimana? Kalau kamu dimusuhin gara gara itu semua gimana?!" "Itu urusan nanti." "Syahiiiirrrrrr?!" Syahir beranjak berdiri membuat Syaqila mendongak kecil menatapnya dengan mata mengembun. "Jangan cemasin hal yang belum terjadi." Ujarnya hendak melangkah pergi namun omongan Qila membuatnya menghentikan langkahnya. "Kamu mau seperti bunda?" Ujar gadis itu sudah berdiri masih memandangi punggung Syahir yang membelakanginya, "kamu mau terus terusan di rumah sakit dan koma sampai sekarang? Ninggalin kita semua, dan betah tidur disana?" Ujar gadis itu sudah menangis dengan sesekali sesegukan. Syahir menggigit bibir kasar. "Aku gak mau kamu luka. Gak mau kamu masuk ke rumah sakit, sama kayak bunda." Katanya terbata-bata masih sesegukan, "bahkan ayah jarang pulang ke rumah karena sibuk ngurus bunda, kerja, keluar kota, sampai beliau lupa pulang." Tambah gadis itu masih menangis, "kalau kamu kenapa napa, terus aku sama siapa? Sendirian lagi? Sama seperti pas Syahid pergi di ambil oma? Iya?" Lanjutnya dengan nada tercekat, Syahir membalikan tubuhnya dan mendekat kearah sang adik. Merasa bersalah karena terlalu egois. "Gue minta maaf." Lirihnya dengan menjulurkan tangan meraih tangan Syaqila. Namun, gadis itu menepisnya pelan dan berlalu pergi begitu saja. Meninggalkan Syahir di ruang tamu sendirian. Syahir memejamkan matanya erat merasa dilemah. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Memilih diam saja melihat seseorang yang membutuhkan pertolongannya atau membantunya dan dia harus menerima konsekuensinya. Syaqila masih sesekali mengusap air matanya yang masih mengalir dengan derasnya. Gadis yang masih memakai seragam sekolah lengkapnya itu berdiri mematung di depan kamar Syahid yang tertutup rapat. Entah kenapa disaat-saat menyedihkan begini yang terlintas dipikirannya kalau bukan bundanya, yah pasti Syahid. Walaupun keduanya masih canggung satu sama lain karena baru bisa bertemu beberapa bulan yang lalu. Setelah dipisahkan sejak lama oleh Oma mereka. Pintu kamar terbuka buat gadis itu menegak kaget dengan mata sembabnya. Syahid berdiri menatapnya dengan dinginnya masih menutup rapat mulutnya. "Aku..... boleh masuk?" Tanyanya lirih dengan mendongak menatap pemuda jangkung itu. Syahid mengangguk saja lalu menepi memberikan jalan untuk Syaqila agar bisa masuk. Pemuda itu sekilas menutup pintu kamar dan berdiri memandang Syaqila yang sudah duduk di kasur miliknya. "Kenapa berdiri disitu? Sini duduk di sebelah aku," ujar gadis itu sembari memukul-mukul sisi kasur di sebelahnya. Syahid menurut dan duduk di sana dengan muka datarnya. Melirik kecil Syaqila yang masih berusaha menahan tangisnya. "Aku boleh cerita sesuatu?" "Hm." Syaqila mengulum bibir dengan merunduk. "Tadi di sekolah Syahir hampir berkelahi sama senior di ekskulnya dan jadi tontonan anak anak." Ceritanya dengan mendongak kecil menatap mata cokelat Syahid. "Aku sama sekali gak bisa bayangin kalau Syahir kenapa napa, karena Kak Vino itu terkenal kejam sama junior juniornya. Bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa karena berurusan sama dia," jelasnya dengan bibir bergetar ingin kembali menangis, "aku gak mau kejadian itu menimpa Syahir. Aku gak mau kehilangan lagi," tambah gadis itu masih mencurahkan keresahannya. Syahid masih diam. Sama sekali tidak menanggapi, hanya mendengarkan. "Kamu tahu kan sekarang bunda masih koma? Dan ayah jarang pulang ke rumah. Aku cuma punya Syahir dan kamu, aku gak mau kalian kenapa napa lagi. Aku cuma pengen kita sekolah dengan tenang dan lulus secepatnya tanpa ada masalah." Syahid mengerjap samar. "Aku tahu, sekolah kita itu banyak kejadian aneh dan masalah yang seakan mereka sembunyikan. Aku tahu, tapi aku cuma mau menutup mata dan telinga. Biar aku bisa secepatnya lulus dari sana tanpa harus berurusan dengan orang orang Auora." "Pindah." ".............hmmm?" "Pindah sekolah, terlalu bahaya." Syaqila mengerjap aneh mendengar omongan ambigu pemuda itu. "Gak bisa, aku terlanjur suka sama sekolah itu. Dan sekolah itu adalah sekolah yang bunda pengenin dari dulu." Balasnya dengan mendenguskan hidungnya yang sudah berair. "Terlalu bahaya," ulang pemuda itu lagi masih dinginnya. "Kalau begitu kita semua pindah sama sama. Kita cari sekolah yang lebih layak dan normal seperti yang lainnya," "Gak bisa," balas Syahid sudah beranjak berdiri dan melangkah kearah jendela kamarnya merasa ada sesuatu akan terjadi. Pemuda itu memicing mengamati beberapa orang berdiri di depan rumahnya dan sudah menanjat pagar membuat pemuda itu mengeraskan rahang. "Tetap disini, jangan keluar." Ujarnya sudah melangkah cepat dan menutup pintu kamar rapat membuat Syaqila mengerjap bingung. Gadis itu penasaran tapi mau tidak mau menurut dan tetap berada di kamar Syahid menunggu. Walau cemas karena mereka cuma bertiga di rumah. Syahid melangkah menuruni tangga dengan cepat. Pemuda itu mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Syahir. Matanya menajam melihat Syahir yang terlihat berdiri di depan jendela rumah memandang keluar tanpa tahu bahaya di depan mata. Syahid terlihat meloncati anak tangga dengan refleksnya saat melihat bayangan seseorang terlihat mengayunkan tangan dan melempar sesuatu ke dalam rumah dimana tempat Syahir berdiri. "Syahir?! Tiarap!!" PRAAANGGGGG Kaca rumah pecah begitu saja dengan batu-bata yang terlihat berada di sekitar pecahan kaca. Syahir yang masih kaget dengan teriakan Syahid berusaha beranjak berdiri dari tempatnya berlindung. Pemuda itu menolehkan kepala melihat Syahid sudah melesat pergi entah kemana. Hilang begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN