Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama.

1096 Kata
Raffa menarik tubuh Vanesha, melepaskan kemeja yang ia pakai untuk diikatkan pada lengan wanita muda itu agar darahnya tidak semakin merembas banyak keluar. “Tahan sedikit, aku akan segera membawamu ke rumah sakit.” bisiknya pelan di depan wajah Vanesha. “Pastikan semuanya terkendali!” ucap Raffa pada Elmyra dan Ade yang serempak mengangguk. “Sorry, Bro .…” “Aku ikut denganmu!” tukas Ronald cepat ditanggapi anggukan samar Raffa. Langkah kaki Raffa berhenti sejenak, menoleh ke samping, memandang Frans Shaka tajam yang kedua lengannya di bekuk ke belakang oleh Dewa. “Tiga kali, Frans! Tiga kali kau sudah sangat mengecewakanku!” dengkus Raffa sangat dingin dan pupil matanya menggelap sangat kejam. “Pertama saat kau merusak hubunganku dengan Kirana, membayar wanita-wanita kotor untuk mendekatiku! Dan kedua kalinya kau menyabotase bisnisku, hanya karena aku menolak bekerjasama denganmu ….” Raffa berhenti sejenak, cengkeramannya pada bahu Vanesha semakin erat seiring dengan emosinya terlihat memuncak. “Ketiga kalinya adalah … saat ini! Kau datang mengacau di acara pestaku!” Raffa sempat terbata namun segera menutupinya dengan nada marah memandang Frans yang balas menatapnya menyeringai, mejilat dengan lidah, darah di sudut bibirnya yang pecah akibat dari pukulan siku Elmyra ketika membekuknya. Entah kenapa lidah Raffa berbelok saat hendak berkata jika kekecewaannya yang ketiga adalah pengkhianatan Frans memperistri Kirana, wanita yang pernah bertahta dalam hatinya. Semua anak buah Frans berhasil di bekuk oleh kelompok Dewa, Ade dan Elmyra sendiri juga turun tangan memberikan tinju serta tendangan pada siapapun yang melawannya. Raffa sudah membawa Vanesha ke dalam mobil yang ia kemudikan sendiri dan Ronald duduk pada kursi belakang. “Kamu ga apa-apa?” tanya Raffa terdengar kuatir pada nada bicara serta lirikan mata sekejapnya pada Vanesha. “Sedikit nyeri, tapi aku bisa menahannya," jawab Vanesha sembari menganggukkan kepalanya pada Raffa, lalu melirik ke arah Ronald yang tak mengatakan apa-apa sejak mereka keluar dari tempat hiburan. Tidak lama, mobil yang dikemudikan Raffa tiba di rumah sakit ternama pada pusat kota. Vanesha langsung ditangani oleh tenaga medis yang cepat tanggap dan siap siaga melayani. “Cepat lakukan tindakan dan pastikan gadisku tidak merasakan kesakitan sedikitpun!” bisik Raffa menarik lengan dokter yang baru saja keluar dari ruang IGD selepas memeriksa Vanesha. “Kami akan berusaha ….” “Tidak! Kalian tidak boleh hanya berusaha, tapi lakukan semuanya dengan sangat baik, tuntas dan ingat … gadisku tidak boleh merasakan kesakitan sedikitpun!” Raffa memotong cepat perkataan sang dokter yang langsung mengangguk paham. Paham jika pria yang berhadapan dengannya saat ini bukanlah pria sembarangan yang bisa di bujuk dengan kata-kata serta janji. “Pasien harus di daftarkan terlebih dahulu .…” Raffa langsung mengeluarkan kartu p********n limited edition miliknya yang berwarna hitam dengan list emas pada tepinya dan tercetak nama ‘Ghaisan Raffasya Fahrian’ huruf timbul juga berwarna emas, memberikannya ke depan wajah sang dokter. “Anda urus pendaftaran, operasi mengeluarkan peluru, biaya pengobatan juga ruangan perawatan terbaik untuk gadisku! Gunakan kartu ini tapi jangan coba-coba menipu karena semua transaksi menggunakan kartu ini berada dalam pengawasanku!” Sang Dokter hanya bisa mengangguk menerima kartu p********n mahal dari ujung jemari Raffa, mati-matian menahan desahan keberatannya yang bisa berakibat fatal jika ia menolak perkataan pria muda nan tampan tetapi baru saja menganggapnya seolah seperti perawat yang bisa diperintah dan suruh melakukan apa saja. Di dalam ruang IGD yang berbatas tirai kain hijau satu sama lain, Ronald memandang Vanesha dengan menyipitkan mata menggoda adik perempuannya itu. “Apa yang kau pikirkan, Young Lady?” tanya Ronald memajukan tubuh bagian atasnya ke depan wajah Vanesha yang terbaring di atas brangkar sempit. “Kau menyukai Raffa? Ayo mengakulah ….” Vanesha terkekeh rendah, “Aku hanya menolongnya, tidak lebih. Apa aku terlihat seperti menyukai pria itu?” sahut Vanesha santai, bertanya balik yang diseringaikan oleh Ronald. “Aku tau, sangat tidak mudah membuatmu tertarik pada sesuatu, Young Lady. Kecuali kau menyukainya!” “Kau salah, Ronald! Jika seperti itu anggapanmu, kau tidak lebih hanya sekedar kakak lelakiku, namun sama sekali tidak mengenaliku, heum?” “Aku tidak menyukai pria yang tampan! Terutama jika ia adalah rekan bisnismu!” tandas Vanesha seraya menaikkan alisnya agar kelopak mata terbuka lebar balas menatap Ronald yang tersenyum dan menggosok ujung hidung dengan telunjuk. “Tapi Raffa sepertinya peduli padamu. Lihat, dia terlihat baru saja mengancam dokter agar bergegas melakukan tindakan padamu,” bisik Ronald sembari melirik ke arah Raffa yang berjalan masuk ke dalam area IGD. “Apakah lenganmu benar-benar tidak apa-apa?” tanya Ronald pura-pura memeriksa lengan Vanesha yang bersarang satu butir peluru dari pistol Frans. “Jangan terlalu banyak kuatir, nanti kerutan pada wajahmu bertambah dan tak ada wanita yang akan menyukaimu lagi!” Raffa telah tiba di depan brangkar Vanesha, memperhatikan wanita muda yang terlihat akrab dengan Ronald. Raffa masih belum mengetahui hubungan Ronald dengan Vanesha. Dia hanya berpikir jika Ronald sedang membawakan seorang gadis untuknya, sehingga Raffa sudah mengklaim Vanesha sebagai gadisnya. Tetapi Vanesha terlalu cantik dan berkelas jika dianggap sebagai ‘gadis’ alias wanita penghibur Raffa. “Dokter sedang menyiapkan ruangan operasi. Apakah kamu masih bisa sedikit menahan rasa nyeri dan perih pada lenganmu?” Vanesha mengggerakkan dagunya turun naik menanggapi pertanyaan Raffa, lalu meliri ke arah Ronald, “Bisakah aku minta tolong belikan air minum? Tenggorokanku sedikit kering.” Ronald kembali menyeringai tipis akan perkataan adik perempuannya. Setelah tadi di tempat hiburan, Vanesha mendorong tubuhnya hingga terjatuh terjengkang ke lantai tepat sebelum sebuah peluru menghantam memecahkan kaca jendela. Karena adiknya itu lebih memilih menubruk tubuh Raffa yang ia tindih di atas lantai. “Aku akan menjaganya. Tolong belikan juga makanan untukku.” Raffa berkata dan hendak mengeluarkan dompet dari kantung celananya yang segera di tahan oleh Ronald. “Harga minuman dan makanan tidak senilai satu unit apartemen ‘kan? Aku masih bisa membayarnya, Bro,” kekeh Ronald bergegas berlalu pergi dari dua orang yang terlihat saling menyukai tetapi masing-masing masih menahan diri. Raffa memeriksa lengan Vanesha yang masih sedikit merembaskan darah keluar tetapi tidak deras, namun gadis itu terlihat diam saja tanpa meringis atau mengaduh perih kesakitan. “Jangan takut, aku hanya ingin melihatnya,” tutur Raffa, merasakan tatapan Vanesha memandangnya. Raffa hanya memakai kaos ketat pada tubuh tinggi atletisnya. Karena kemejanya telah ia lepas dan saat ini berlumuran darah tersampir pada pagar pembatas brangkar dari sebelumnya diikatkan pada lengan Vanesha. “Aku, Raffa. Kamu?” Raffa berusaha mengajak mengobrol yang sepertinya itu bukan dari dirinya yang biasanya. Raffa paling anti memperkenalkan diri terlebih dahulu pada wanita dan ia juga bukan tipikal seseorang yang akan peduli seperti saat ini ia lakukan pada Vanesha, hingga mengakui wanita muda itu adalah ‘gadisnya’ pada dokter sebelumnya. “Vanesha.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN