9. Tunas Yang Cacat Dan Terluka

1834 Kata
Perasaan kecewa dan benci itu kembali bersarang di hati Baek Hyun. Hana sudah bukan seperti yang ia kenal dulu. Ia mencoba mengubur kembali perasaannya dalam-dalam dan melupakannya dengan meleburkan diri dalam kegiatannya. Ia membalaskan semuanya ke sana sampai ia benar-benar tak punya kesempatan memikirkan gadis itu lagi. Baek Hyun gila kerja. Ia semakin kaya dan populer. Hanya saja ia tak menggunakan uangnya untuk menikmati kemewahan. Ia lebih suka menjadi donatur yang diam-diam memberikan bantuan atau sumbangan ke panti-panti, korban bencana atau musibah. Melihat orang yang dibantunya secara diam-diam itu, bahagia. Saat itulah Baek Hyun menemukan sedikit suka cita di hatinya. Dalam sebuah sesi wawancara, Baek Hyun mengakui kalau hubungannya dengan Ruri hanyalah sebatas teman biasa. Mereka memang terlihat dekat karena mereka berada di perusahaan yang sama, yang tentu saja membuat intensitas pertemuannya jadi cukup banyak. Dua tahun berlalu. Setelah sekian lama larut dalam kesibukan. Hati kecilnya penasaran untuk mengintip kembali perasaannya yang terkubur. Baek Hyun mencoba menjenguknya kembali dari tempat yang sama. Di mana ia pernah memutuskan membunuh perasaannya sendiri. Tak ada yang berubah. Ah, tidak sepertinya ada sesuatu. Sesosok anak kecil yang terlihat belum pandai melangkahkan kakinya keluar dari pagar yang terbuka itu. Perasan Baek Hyun terenyuh. “Ia sudah memiliki seorang anak?” Baek Hyun merasakan nyeri di dadanya. Kenapa ia terluka sekarang? Seketika ia sadar. Perasaan itu, biar sudah terkubur tetap saja bernyawa dan bertahan. Jika perasaan itu benar-benar mati untuk Hana, ia tentu tidak merasakan pedih di hatinya sekarang. Anak kecil itu melangkah keluar pagar dan berjalan tertatih-tatih mengejar balon mainan yang tertendang ujung kakinya. Perasaan Baek Hyun kembali terenyuh. Haruskah ia menerima kenyataan ini? Benar saja ini sudah terjadi. Ia tak bisa menghindarinya lagi. Baek Hyun keluar dari mobilnya menggunakan topi juga maskernya. Ia menangkap balon yang sudah melayang hingga ke tengah jalan itu, lalu menghampiri anak kecil tadi. Anak itu tersenyum senang melihatnya. “Oh, maafkan aku. Aku sedang menerima telepon dari atasanku hingga aku tidak menyadari putriku keluar dari pagar ini. Dia memang sedang aktif-aktifnya, sehingga lengah sedikit saja, dia tiba-tiba sudah menghilang,” ujar ayah anak tadi yang tidak menyadari kalau pria itu adalah Baek Hyun. “Tidak apa. Untunglah jalanan sedang sepi.” “Sayang, ada apa?” Seorang wanita melangkah menghampiri mereka. “Sayang?” Baek Hyun heran. “Tidak apa-apa. Putri kita keluar dari pagar saat aku menerima telepon dari atasanku. Untunglah dia menemukannya.” “Oh terima kasih.” Perempuan yang merupakan ibu dari anak tadi membungkuk sembari tersenyum pada Baek Hyun. “Tapi ... ngomong-omong Anda mau ke mana?” “Ah, begini. Sebenarnya aku ingin mengunjungi teman perempuanku yang dulu tinggal di rumah ini. Dua tahun yang lalu ia tinggal di sini.” “Maksudmu Hana? Jadi kau temannya Hana?” Baek mengangguk. “Aku anak dari pemilik rumah ini dan ini suamiku. Hana dulu tinggal bersama kami. Tapi sekitar 2 bulan setelah kami menempati rumah ini, Hana pindah. Katanya, pemilik kafe tempatnya bekerja membuka cabang baru di kota lain. Jadi Hana ikut pindah ke sana. Apa Hana sama sekali tidak memberi tahumu?” Baek Hyun menggeleng. “Aku sibuk bekerja hingga kami jarang bertemu.” “Sayang sekali. Kami juga tidak mengetahui kabarnya. Setelah ia pindah, ia tak bisa dihubungi sama sekali. Jika kau penasaran. Cobalah bertanya pada pemilik kafe yang memperkerjakan Hana dulu. Siapa tahu dia menyimpan kontak Hana yang baru.” “Baiklah … terima kasih. Sepertinya aku juga harus pergi,” pamitnya. * “Jadi pria yang kulihat waktu itu suami dari kakak angkat Hana?” ujar Baek Hyun dalam hatinya. Baek Hyun memarkirkan mobilnya di pinggiran jalan yang sepi. Ia menelungkupkan mukanya pada kemudi mobil. Perasaan gundah perlahan-lahan mulai mengorek hatinya, dan membentuk luka di sana. Dalam kegundahan itu, Baek Hyun menatap handphonenya. Pria itu menegakkan tubuhnya dan mulai mengetik nomor Hana pada layar handphonenya. Baek Hyun mendekatkan handphone itu ke telinganya dengan hati yang berdebar. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif …” *** Setelah yakin kafe itu benar-benar sepi, Baek Hyun langsung masuk ke sana. “Maaf, kafe kami sudah …” Hanta itu tak melanjutkan kata-katanya. Ia sangat terkejut saat melihat kehadiran Baek Hyun yang tiba-tiba di sana. “Maaf, aku tidak bermaksud memesan sesuatu. Ada hal yang ingin kutanyakan. Bolehkah aku menunggu sampai kau menyelesaikan pekerjaanmu?” “Ah … pekerjaanku? Pekerjaanku sudah selesai. Silakan duduk. Apa yang ingin kau tanyakan?” Baek Hyun duduk di tempat yang ditunjuk perempuan tadi. “Kau tahu Hana bukan?” “Iya ... iya tentu saja aku tahu. Dia pernah bekerja di sini 2 tahun yang lalu. Ada apa?” Tanyanya penasaran. “Hana teman masa kecilku. Aku ingin menemuinya, tapi aku kehilangan kontak dengannya.” Perempuan tadi terperangah mendengar pengakuan Baek Hyun. Ia sungguh tak menyangka bila Hana pernah menjadi teman masa kecilnya Baek Hyun, salah satu artis yang sangat terkenal saat ini. “Itulah yang sebenarnya membuat kami bingung. Setelah mendengar pemilik kafe membuka cabang baru di kota lain. Hana tiba-tiba saja mengajukan diri untuk bekerja di sana. Dia memang sempat bercerita kalau anak pemilik rumah itu telah kembali ke rumahnya. Aku pikir, itulah yang membuat Hana berniat pindah. Tapi, seharusnya dia hanya pindah rumah, bukan pindah tempat kerja.” “Lalu … apa kau tahu kontak Hana yang baru. Aku mencoba menghubungi ke nomornya yang lama, tapi tidak bisa.” “Setahuku Hana tidak pernah mengganti nomor kontak handphonenya. Itulah yang membingungkan kami hingga sekarang. Kata pengelola cabang kafe di kota itu, Hana tidak pernah sampai ke sana.” *** Baek Hyun menatap kosong langit malam dari lantai atap gedung perusahaannya. Setelah dua tahun dikubur hidup-hidup. Perasaan yang nyatanya masih bertahan dan bernyawa itu kembali bertunas, namun dalam keadaan cacat dan terluka. Baek Hyun memejamkan matanya. Dadanya terasa sesak dan sakit. Hana adalah teman hidupnya semenjak kecil hingga ia menjadi seperti sekarang. Hana pula yang membuatnya melarikan diri dari panti asuhan karena tak ingin berpisah. Hana adalah sahabat perempuan satu-satunya juga cinta pertamanya yang tak pernah meninggalkannya dalam keadaan apa pun. Hana adalah sosok yang ia jaga sejak kecil hingga akhirnya ia tinggal begitu saja. Padahal, dirinyalah satu-satunya yang tersisa untuk Hana selama ini. “Apa kau benar-benar yakin dengan keputusanmu? Lebih dari setengah kehidupanmu kau lalui bersamanya.” “Kau berkata seperti itu karena kau tidak mengalami apa yang kualami.” “Tapi bukannya keputusanmu ini terlalu cepat. Bagaimana kalau dia benar-benar menghilang dari kehidupanmu?” “Aku tidak peduli! Ssudah kubilang aku membencinya sekarang!” “Itu sekarang! Bagaimana nantinya!?” “Aku memang tidak mengenal Hana sepenuhnya. Aku hanya mengingatkanmu, jangan sampai kau menyesal nantinya.” Kata-kata Suho kembali terngiang di pikirannya bagaikan mantra kutukan yang kini benar-benar terjadi. Baek Hyun menatap sebuah kaleng minuman kosong yang tergeletak di lantai atap itu. Ia menghampirinya kemudian dengan perasaan gusar menendang kaleng tersebut hingga terpental ke dinding. Suara keras kaleng yang beradu dengan dinding gedung membuat dua orang yang sedang dimabuk nafsu asmara pada sudut tersembunyi gedung itu, terkejut. Perempuan yang tadinya tak mampu berbuat apa-apa karena dipaksa lawan mainnya segera membenahi pakaiannya. Kesempatan itu membuatnya ingin segera keluar dan membebaskan diri dari pria yang hampir menidurinya. Melihat gelagat gadis yang ingin melarikan diri. Pria yang b******u dengannya itu segera menangkap lengannya. Sebuah teriakkan berhasil lolos dari mulutnya, yang kemudian membuat mulut itu dibungkam oleh pria tadi dengan tangannya. Tak kalah akal gadis itu menggigit tangan pria yang menutup mulutnya. “Aarrggh …” pria itu berteriak kesakitan. Ia lengah. Perempuan tadi lolos dari cengkeramannya dan berlari keluar. Pria itu segera mengenakan celananya lalu berlari keluar dengan kemeja yang ia pasang serampangan. Namun, langkahnya kemudian terhenti. Demikian pula dengan perempuan tadi yang tidak lain adalah staf di perusahaan tempat mereka berada sekarang. Baek Hyun menatap kedua dingin. Ia jelas mengenal perempuan di depannya yang wajahnya sembab, pakaiannya terbuka, sobek dan sangat berantakan dari ujung kepala hingga kaki. “Kembali … aku baru saja ingin memulainya denganmu,” kata pria yang ternyata Ranu yang tampak mabuk berat. Mungkin itulah yang membuatnya bersikap tidak tahu malu di hadapan Baek Hyun. Dengan langkah sempoyongan Ranu berjalan menghampiri staf tadi. Sadar Ranu akan menangkapnya lagi, gadis itu berlari ke belakang Baek Hyun. Ranu yang di bawah pengaruh obat dan minuman keras itu tak memedulikan kehadiran Baek Hyun di sana. Ia terus berjalan menghampiri gadis yang mencoba mendapatkan perlindungan dari Baek Hyun. Dengan kasar ia mencoba mencengkeram tangan perempuan tadi, namun geraknya terhenti karena Baek Hyun tiba-tiba menangkap tangannya. “Pergilah ...” ujar Baek Hyun pada gadis di belakangnya. “TUNGGU!” Ranu menghempas tangan Baek Hyun. Ia mencoba mengejar gadis tadi. Namun langkahnya tertahan karena Baek Hyun mencengkeram kerah kemeja yang ia kenakan. Dengan tangan terkepal, Ranu yang tersulut emosi itu memutar badannya, dan melayangkan pukulan pada Baek Hyun yang berdiri di belakangnya. Pria itu berkelit, sembari menendang d**a Ranu yang membuatnya terjungkal ke lantai. “Arrrrrggghhh!!” Teriak Ranu frustrasi. Tiba-tiba ia tertawa sendiri seperti orang gila. “KENAPA KAU SELALU DATANG MENGGANNGUKU?!” Ranu bangkit, dan berjalan sempoyongan mendekati Baek Hyun. Kedua tangannya mencengkeram kerah baju Baek Hyun. “Kau membuatnya pergi barusan. Waktu itu, saat aku ingin b******a dengan Hana. Kau juga datang bukan?” Dengan gusar Baek Hyun melayangkan pukulannya kembali di wajah Ranu hingga pria itu kembali terjungkal di lantai. “Itu benar-benar dirimu. Aku yakin itu. APA YANG SALAH, HAH!? Aku susah payah membuntutinya diam-diam ke rumahnya. Aku harus membiusnya. Aku memberikannya obat perangsang, dan kau datang seenaknya menghajarku! Kau selalu bermain kasar padaku! Jika kau memang menginginkannya juga malam itu, seharusnya kau menungguku dulu sampai selesai!” Amarah Baek Hyun meluap tak terbendung lagi. Dengan air mata yang bercucuran pria itu berlari menghampiri Ranu. Tangan kirinya mencekik leher Ranu, dan tangan kananya meninju wajah Ranu secara membabi buta. “BAEK! HENTIKAN!” Chanyoel tiba-tiba datang bersama Suho, Xiumin, dan Chen. Chanyoel merangkul kuat Baek Hyun dari belakang dan menariknya menjauhi Ranu yang terkapar tak sadarkan diri. Baek Hyun meronta sekuat tenaga. Pikiran dan jiwanya sudah dikuasai amarah. Ia berteriak dan terus meronta agar bisa menyerang Ranu kembali. Begitu kuatnya rontaan itu, keduanya jatuh terkapar di lantai. Chanyoel terus menawannya, sementara Baek Hyun masih terus meronta, menangis, dan berteriak. Ia mencoba bangun, tapi geraknya terbebani tangan kuat Chanyoel yang sekuat tenaga menawannya. Suho merasa prihatin dan sedih melihat keadaan Baek Hyun yang sudah seperti orang gila. Pria itu tak sanggup menahan air matanya. Ia datang menghampiri dan memeluk sahabatnya itu, mencoba menenangkannya. Sementara itu, Xiumin dan Chen membawa Ranu yang tak sadarkan diri, pergi dari sana. Dalam pelukan kedua sahabatnya, perlahan Baek Hyun mulai bisa menemukan ketenangannya. “Kau baik-baik saja?” Suho menatap Baek Hyun sembari memegang pundak dan wajah sahabatnya itu. Baek Hyun tak menjawab. Ia menjatuhkan kepalanya di pundak Suho. “Ayo kita pergi dari sini,” bisik Suho sembari membelai kepala sahabatnya itu. Suho memutar badanya membelakangi Baek Hyun. Menarik tangan Baek Hyun ke pundaknya, lalu membawanya dari sana, di punggungnya. Terluka dan lelah ... Seperti tunas yang cacat, terluka dan layu, kepala Baek Hyun terkulai tak berdaya di pundak Suho.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN