8. Cinta Yang Tak Mati Meski Dipatahkan

2328 Kata
Baek Hyun membaringkan Ruri di sofa ruang istirahat. “Tolong panggilkan dokter,” pinta salah satu staf acara. Mendengar hal itu, seketika Ruri bangun sembari memegang kepalanya yang sebenarnya tak sakit. “Kau sudah sadar? Apa ada yang sakit?” Tanya Baek Hyun. Ruri menggeleng dengan mata yang sengaja dipejamkan seakan-akan sedang menahan sakit. “Aku sudah tidak apa-apa,” jawabnya dengan suara yang lemah. Perempuan itu menatap Baek Hyun yang berlutut sambil memandangnya. Saat itulah Ruri melihat goresan kecil di dahi Baek Hyun. “Kepalamu!” Ruri spontan mengulurkan tangannya ingin menyentuh luka itu. Namun secara tiba-tiba pula Baek Hyun mencegah tangan itu menyentuhnya. “Ini hanya luka kecil. Sebaiknya kau segera pulang dan beristirahat. Aku antar ke mobilmu.” Baek Hyun beranjak bangun. “Kita pulang bersama saja,” pinta Ruri “Maaf ... Aku harus pulang bersama memberku. Ayo ... aku antar ke mobilmu.” Dengan perasaan kecewa Ruri bangun. Ruri membuntuti Baek Hyun di belakang sambil menatap tangan Baek Hyun. Ingin sekali rasanya ia menggenggam tangan itu, lalu berjalan beriringan bersama. Tapi ia tak punya keberanian sampai sejauh itu. Jangankan menggenggam tangannya, saat dirinya mencoba menyentuh luka itu, Baek Hyun sudah mencegahnya. “Tapi... kenapa pria itu mau saja digosipkan dengannya. Baek Hyun belum memberikan konfirmasi apa pun terkait hubungannya. Apakah Baek Hyun sengaja menggantung perasaannya?” *** “Kenapa wajahmu seperti itu? Sepertinya kau tidak menyukai berita kedekatan Baek Hyun dan Ruri yang beredar belakangan ini,” tegur Kai. Wajar saja ia menanyakan itu. Setiap kali melihat berita itu di televisi, Suho menunjukkan wajah tak bersemangat, atau memilih menghindar. “Apa yang salah jika itu benar-benar terjadi. Aku rasa Ruri lebih baik jika ...” “Apa karena Hana tak sebanding dengan Baek Hyun?” Potong Suho tiba-tiba. Kai terheran mendengar pertanyaan Suho. “Bukan ... bukan seperti itu. Aku tahu kenapa Baek Hyun memilih mengakhiri hubungannya. Hana ... mungkin memang tak sebaik itu. Bukankah kau tahu. Chanyoel pernah memergoki keduanya hampir berciuman di lantai atap setelah acara Fansign kita usai. Jika memang tidak ada hubungan apa-apa di antara keduanya. Tidak mungkin Hana mau diajak berduaan di lantai atap yang sepi itu.” Suho menundukkan kepalanya sembari memijit keningnya sendiri. Pria itu kebingungan dan pusing dengan sesuatu yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Tapi entah kenapa ia terus memikirkan Hana. Apa karena ia sudah mengenal Hana sejak lama? Gadis itu pernah mengisi kisah kehidupannya di masa lalu bersama Baek Hyun. Mereka selalu bersama dalam keadaan suka maupun duka. Tak sedikit pun terbesit dalam pikirannya, Hana akan menjadi seperti yang rekan-rekannya duga sekarang. “Suho, apa kau bisa keluar sebentar. Ada seorang perempuan yang mengaku-ngaku kakakmu ingin bertemu denganmu,” ujar manajer Eight yang datang tiba-tiba. “Kakak perempuan?” “Iya ... bukannya kau tidak punya saudara kandung? Jika kau merasa demikian aku bisa menyuruh keamanan untuk memintanya pergi.” Suho teringat sesuatu. “Apa itu kakak tirinya? Aku ingin melihatnya dulu.” * “Aku tidak mengira akan sesusah ini bertemu denganmu. Aku pikir mereka akan benar-benar memaksaku pergi.” Suho tersenyum. “Bagaimana kabarmu dan ibu?” Suho bertanya sambil menyungguhkan segelas teh. “Ibu baik-baik saja, dan aku seperti yang kau lihat sekarang. Kau masih mau memanggil ibuku dengan sebutan ibu?” “Tentu saja. Biar bagaimana pun ayah dan ibu memang pernah menikah dan hidup bersama.” “Aku minta maaf dengan sikap kami di masa lalu. Seharusnya kami tidak memperlakukanmu seperti itu sampai membuatmu pergi.” “Hal seperti itu jangan diingat lagi.” “Tidak ... entah karena dirimu yang sekarang atau bukan, yang jelas ... aku merasa menyesal dan berasalah dengan perlakuan kami di masa lalu. Terutama pada ayah. Ia menitipkanmu pada kami, tapi kami tidak bisa memenuhi keinginannya. Karena itulah aku merasa menyesal, merasa bersalah, dan aku benar-benar ingin meminta maaf. Tolong maafkan kami.” Mara berdiri dan membungkukkan badannya di hadapan Suho. “Kakak tidak perlu seperti itu.” Suho ikut berdiri. “Duduklah kembali.” pintanya. “Kau mau memanggilku kakak?” Mara bertanya tak percaya. “Bukannya dari dulu memang seperti itu.” Suho meletakkan sebuah amplop tebal di atas meja, lalu mendorongnya ke Mara. “Apa maksudmu?! Aku tidak datang untuk ini!” “Aku tahu. Aku tidak menganggapnya seperti itu. Maaf jika kakak tersinggung.” “Ambillah kembali. Aku tidak membutuhkannya.” “Saat ini aku tidak punya waktu menjenguk ibu dan kakak. Kebetulan kakak ke sini, jadi kakak harus mengambilnya. Kita pernah hidup bersama. Ibu juga kakak bersedia menerima kehadiranku bersama ayah di rumah. Ini tak ada apa-apanya jika dibandingkan semua itu.” Mara tak kuasa menahan air matanya. Perempuan tomboi itu segera menghapusnya. Apa yang ia berikan untuk ayahnya juga Suho rasanya tidak ada yang berlebihan. “Kakak bilang ingin meminta maaf bukan? Aku akan memaafkan dan melupakan semuanya jika kakak menerima ini.” Mara terpaksa mengambilnya. “Terima kasih,” ucapnya. “Tetangga kita menitipkan pesan padaku.” Mara mengeluarkan buku dan pulpennya. “Ia menitipkan salam untukmu dan meminta tanda tanganmu. Dia juga berpesan agar kau bisa berkunjung ke rumah jika ada waktu.” Suho tersenyum. Ia mengambil buku dan pulpen itu lalu mengoreskan tanda tangannya di sana. “Apa itu benar-benar tetangga kita?” Tanyanya tak yakin. “Tentu saja.” “Siapa namanya? Aku harus menuliskan namanya.” “Bibi Mey. Kau ingat?” “Bibi Mey? yang tinggal di depan rumah kita?” “Benar sekali. Ternyata kau masih mengingatnya.” “Baiklah ...” Suho menuliskan pesan singkat di sana 'Bibi Mey, semoga selalu sehat dan bahagia' tulisnya. Mara membalikkan kertas ke halaman berikutnya. “Buatkan juga untukku.” Suho tertawa. 'Cepatlah menikah dan beri aku keponakan' tulis Suho di sana. Ia juga menuliskan nomor handphonenya sendiri, diakhiri dengan goresan tanda tangannya. “Aiiishhh ... Aku masih harus merawat ibu.” “Kakak masih bisa menikah dan juga merawat ibu. Katakan saja padaku kapan acaranya. Aku harus memberikan sesuatu juga bukan? dan tentunya menghadiri undangan.” “Aku akan menghubungimu nanti. Kalau begitu, boleh kita berfoto bersama sebagai saudara. Kau tenang saja. Aku akan merahasiakan hal ini dari siapa pun.” “Tidak masalah kakak membicarakan pada siapa pun. Tidak ada hal yang perlu dirahasiakan dari kehidupanku. Ayo berfoto.” *** Di dalam mobilnya Baek Hyun menghentak-hentakkan kepalanya sendiri pada kemudi mobilnya. Kejadian di atas panggung itu menjadi berita yang menghebohkan bahkan sampai ke luar negeri. Jika saja yang menghebohkan itu terkait insiden kecelakaan panggung dan aksi penyelamatannya, itu tak kan jadi masalah. Tapi justru yang disorot adalah hubungannya dengan Ruri artis pendatang baru itu. Sebenarnya Baek Hyun ingin sekali mengklarifikasi masalah itu. Tapi perusahaan mencegahnya. Mereka sengaja membiarkan hal ini mengambang ke permukaan demi mempertahankan popularitas Baek Hyun, juga menaikkan popularitas Ruri sendiri yang memang se-agensi dengannya. Bagaimana perasaan Hana saat melihat berita itu? Baek Hyun teringat bagaimana ekspresi Hana saat mendatanginya ke apartemen sebulan yang lalu. Ia juga teringat saat Hana menangis karena Ranu memaksakan kehendaknya. Menyesal, ketakutan, atau mungkin saja trauma, dan ia dengan tega meninggalkan Hana seorang diri saat itu. Ia bahkan memutuskan hubungan di kala Hana mengalami tekanan batin. Perasaan yang berkecamuk membuat Baek Hyun akhirnya tiba di depan rumah Hana. Namun, setibanya di sana. Baek Hyun melihat sesosok pria yang baru keluar dari pagar halaman rumah Hana. Pria itu terus berjalan keluar, ke arah di mana Baek Hyun memarkirkan mobilnya. Pria itu sama sekali tidak menyadari Baek Hyun yang mengintai dari dalam mobil. Baek Hyun memukul kemudi mobilnya. Ia sangat menyesal kenapa harus ke sana dan melihat semua ini. Ia lebih menyesal lagi karena sempat mengkhawatirkan perasaan perempuan yang sepertinya tinggal bersama pria lain di rumahnya. *** Hana berteriak dan meloncat-loncat penuh semangat bersama ribuan penggemar lain yang hadir dalam konser itu. Wajahnya berseri tanpa beban. Ia memang tak sepenuhnya mampu melenyapkan Baek Hyun dari hatinya. Walau kini yang ia bisa lakukan hanya menatap dan mengagumi pria itu dari kejauhan. Hana begitu bahagia. Ia tak peduli dengan peringatan Baek Hyun untuk tidak muncul di hadapannya lagi. Konser berakhir. Bukannya pulang, Hana malah berlarian di area gedung untuk mencari kamar kecil. Saat menemukannya, ia melihat antrean yang cukup panjang di depan pintu kamar kecil itu. Perempuan itu kembali berlarian di area gedung. Ia menaiki anak tangga menuju ke atas, berharap bisa menemukan kamar kecil lain di gedung itu. Diburu akan perasaan yang hampir-hampir tak mampu ditahan. Hana berjalan cepat mengitari area gedung hingga akhirnya menemukan tempat yang ia cari. Selesai dengan urusannya. Hana keluar dengan perasaan lega. Tapi ekspresinya seketika berubah melihat situasi di sekitarnya saat ini. Ia lupa jalan pulang. * Sudah 1 jam lebih Hana mengitari gedung itu. Gadis itu menggaruk-garuk kepalanya kebingungan. Ia bahkan tak berpapasan dengan siapa pun di sana. Tapi, tak lama kemudian ia mendengar suara yang cukup ramai di area itu. Hana pun melangkah ke arah suara. “Hana? Kau Hana bukan?” Terdengar suara seseorang memanggilnya di belakang. “Siapa yang tahu dia di gedung itu?” Gadis itu pun menoleh. Matanya terbelalak sembari menutup mulutnya sendiri saat melihat sosok Sehun di depannya. “Ah ... ternyata benar itu kau. Apa yang kau lakukan di sini? Apa itu di kepalamu?” Sehun menunjuk bando bertuliskan EXO di kepala Hana. Gadis itu merabanya. Sebelum sempat menjelaskan perihal bando yang ia kenakan. Terdengar suara orang lain yang datang ke tempat itu. Sehun segera menarik Hana dan membawanya bersembunyi di balkon gedung itu. “SIAPA ITU?” Teriak orang tersebut yang sempat melihat sekelebat bayangan Hana dan Sehun. Kedua orang yang tak lain petugas keamanan acara itu berlari mengejar ke arah di mana Sehun dan Hana bersembunyi. “Kita ketahuan,” ujar Hana panik. “Ayo pergi,” Sehun melangkah terlebih dahulu menuruni tangga di balkon itu. Hana masih berdiri di tempatnya kebingungan. “SIAPA KALIAN?!” Orang tadi tiba-tiba muncul sekitar sepuluh meter dari tempat Hana berdiri. “Aku bukan siapa-siapa,” jawab Hana polos. “Lalu kenapa kau ada di area ini? Kemarilah, kami tahu kau tak sendirian. Jika kalian tidak berbuat sesuatu yang mencurigakan sebaiknya kalian kemari dulu. Di sini bukan tempat yang bisa dimasuki sembarang orang. Kami harus memeriksa identitas kalian dulu.” Sehun terpaksa mundur menghampiri Hana kemudian menariknya berlari dari sana. “HEI!! KALIAN MAU KABUR KEMANA!!!” “BERHENTI DI SANA!” Teriak yang satunya lagi. Sehun membawa Hana memasuki ruangan lain di ujung tangga tadi. “Kenapa kita harus pergi?” Tanya Hana panik. “Apa yang mereka pikirkan jika mereka menemukan kita bersama?” “Akh benar. Bagaimana kalau ia tertangkap dan Baek Hyun tahu ia di sini?” Sehun dan Hana mempercepat larinya. Keduanya berhasil keluar dari gedung itu dan terus berlari hingga ke jalan yang sunyi. Ada 4 persimpangan jalan di sana. Juga ada sebuah taman bermain di salah satu jalan. Pria itu menarik Hana masuk ke taman itu dan bersembunyi di balik tanaman hias yang sangat rimbun. Kedua orang yang mengejar Hana dan Sehun tadi kehilangan jejak Apalagi di sana ada 4 simpangan. Mereka kebingungan harus masuk ke jalan yang mana. “Ah ... sudalah ... Aku kelelahan. Ayo kembali. Yang penting mereka sudah pergi dari sana.” “Penggemar lain sudah pulang semua. Apa yang mereka lakukan di tempat tadi?” “Entahlah ... paling mereka sepasang anak muda yang sedang berkencan. Kau tahu zaman sekarang. Anak-anak muda suka sekali tempat yang sunyi untuk berkencan.” Di balik tempat persembunyiannya, Sehun terkekeh sendiri mendengar obrolan yang samar-samar terdengar. “Apa mereka pikir kami akan berbuat m***m?” “Ah ... syukurlah sepertinya mereka sudah pergi,” ujar Hana lega. “Kau berubah jadi penggemar kami sekarang?” Tanya Sehun setelah merasa aman. “Ah ... iya,” jawab Hana tertunduk malu. “Apa dia tahu kau di sini?” Tanyanya lagi sembari berjalan menuju ayunan dan duduk di sana. Pria itu asyik mengayunkan tubuhnya sendiri. Hana menggeleng cepat. “Tidak ... tolong jangan beritahu dia.” Hana berjalan cepat menghampiri Sehun dan berdiri dengan wajah memelas. “Kenapa wajahmu sampai seperti itu? Apa sampai separah itu?” Sehun yang berpura-pura tak tahu apa-apa, bertanya. Hana menunduk. “Jika ia tahu aku datang, itu hanya akan membuatnya semakin membenciku,” jawab Hana jujur. “Baiklah ... tapi maaf tidak bisa membantumu menyelesaikan masalah ini. Sepertinya emosi masih menguasai hatinya. Apa kau datang untuk melihat kami atau hanya untuk melihat Baek?” Goda Sehun. “Aku datang untuk melihat semuanya.” Sehun tertawa. “Kau membawa handphonemu bukan?” Hana mengeluarkan handphonenya dan memberikannya pada Sehun. Pria itu mengetik nomornya sendiri di sana, lalu menghubungi nomor itu. “Hubungi aku bila kau ingin menonton konser kami lagi. Kau bisa menontonnya dengan gratis.” “Benarkah?” Hana melonjak kegirangan. “Tapi ... bisakah kau berjanji untuk tidak memberitahunya?” “Baiklah ... asal kau bisa menjadi penggemar yang baik dan berteriak paling keras saat kami tampil nanti. Teriakkan namaku juga.” Hana tertawa. “Aku berjanji akan melakukannya.” “Sebaiknya kau kembali. Sudah larut malam.” Perempuan itu mengangguk. “Tapi ...” Hana ragu melanjutkan kata-katanya. “Tapi apa?” Tanya Sehun seraya melipat kedua tangannya di dadanya. “Bisakah kita berfoto bersama?” Pinta Hana malu. Sehun menghampiri Hana, dan berdiri rapat di samping perempuan itu. Ia mengangkat handphonenya sendiri dan berpose manis bersama Hana yang terlihat sedikit kaku. Pria itu memotretnya berkali-kali. “Bisakah ita menggunakan handphoneku lagi?” Hana menunjukkan handphonenya yang semenjak tadi ia siapkan untuk berfoto. “Maaf Aku harus pergi. Pasti mereka sedang mencariku sekarang. Sampai jumpa di konser berikutnya. Pastikan kau datang.” Hana hanya mengangguk dengan perasaan malu juga sedikit kecewa. “Hana ...” Sehun tiba-tiba berbalik menatap gadis itu. “Meski cinta itu dipatahkan, jangan biarkan ia mati. Tetaplah bertahan dan terus hidup. Aku pergi dulu,” pamit Sehun sembari melambaikan tangannya. Hana hanya tertegun mendengar perkataan Sehun. Handphonenya tiba-tiba bergetar. Pikirannya yang sedang berusaha mencerna makna perkataan Sehun seketika buyar. Hana membuka handphonenya. Nomor tak dikenal itu mengirim foto-fotonya bersama Sehun tadi. Hana tersenyum sembari melonjak-lonjak senang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN