Part 09. Menjadi Idola

1414 Kata
Beberapa hari bekerja di rumah besar milik Zinnia, Wala mulai terbiasa. Semua pelayan di rumah itu juga sangat senang dengan adanya Wala di sana. Selain sangat rajin dan tekun, secara tidak langsung, kehadiran Wala juga menjadi penyemangat bagi para pelayan. Dia bahkan tidak ragu membantu pekerjaan apapun, walau itu di luar tugasnya sebagai tukang kebun. Tinggal di rumah itu, juga membawa kesan tersendiri bagi Wala. Rumah itu sudah ibaratkan sebuah asrama putri. Kecuali satpam penjaga rumah, semua pelayan di sana adalah wanita dan kebanyakan masih lajang. Termasuk sopir pribadi Zinnia, juga adalah seorang wanita. Semua itu memang disengaja oleh Zinnia, karena dia merasa lebih nyaman, apabila bersama para wanita saja ada di sekelilingnya. Hanya Wala satu-satunya pria yang menjadi primadona di sana, sehingga semua pelayan saling berlomba untuk berebut perhatian darinya. "Bang Wala, ini aku bawakan kopi untukmu." Mawar yang paling senang tebar pesona untuk mendekati Wala, pagi itu menyapa lebih dulu dan menyuguhkan secangkir kopi untuk Wala yang tampak baru saja selesai menyapu halaman rumah. Hari masih pagi, matahari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur. Akan tetapi, Wala sudah bagun dan mulai mengerjakan semua pekerjaannya. Kebiasaan bangun pagi selama di kampungnya, masih dia bawa, hingga di kota itu. "Terima kasih, Mbak Mawar." Wala meraih kopi itu dari tangan Mawar dan duduk di salah satu kursi taman. "Apa Bang Wala mau makan? Perlu aku siapkan sarapan intikmu sekarang?" Mawar masih terus mencoba menunjukkan kepeduliannya terhadap Wala. Tentu saja, karena dia ingin Wala juga membalas perhatiannya. "Nanti saja, Mbak. Aku mau merapikan tanaman-tanaman ini dulu." Tidak ingin terlalu menanggapi Mawar, Wala segera mengalihkan, sambil menunjuk rimbun rumput liar yang mulai menutupi beberapa pot tanaman hias di taman itu. "Apa yang sedang kamu kerjakan di sini, Mawar?" Mawar tersentak dan langsung menoleh ke belakang. Tanpa dia sangka Zinnia ternyata sudah berdiri di belakangnya, seraya menatapnya dengan aura tidak senang. "Sebaiknya kamu ke dapur dan buatkan aku secangkir!" perintah Zinnia ketus, sambil menyilangkan kedua tangan di d**a. "Ba-baik, Nyonya!" jawab Mawar gugup, sambil membungkuk dan bergegas melangkah menuju dapur. "Cepat ya!" tegas Zinnia, sambil menaikkan sudut mulutnya dan terus menatap Mawar dengan senyum sinis. Buru-buru dia menggantikan Mawar, duduk di kursi taman, di sebelah Wala. Menyadari Zinnia ada di sebelahnya, seketika Wala merasa serba salah. "Maaf, Mbak. Saya permisi, mau melanjutkan pekerjaan saya lagi." Sembari menahan gugup, Wala bergegas bangun dari tempat duduknya, hendak kembali melanjutkan semua pekerjaan yang sempat tertunda. "Heh, sebentar, Bang?" Zinnia menahan tangan Wala dan menyuruhnya tetap duduk kursi taman itu. "Temani aku minum teh dulu!" pinta Zinnia dengan nada memberi perintah. "Tapi, Mbak ... saya harus ...." "Nanti saja itu dikerjakan lagi. Sekarang aku mau kamu temani aku minum teh!" Zinnia dengan cepat memotong ucapan Wala, tidak ingin tukang kebunnya itu menolak permintaanya. Wala terpaksa kembali duduk dan semakin salah tingkah. Meski sudah beberapa hari ada di rumah itu, dia belum terbiasa melihat penampilan Zinnia. Terlebih pagi itu, Zinnia terlihat hanya mengenakan sebuah hot pant ketat dan mini tanktop sebagai atasan, serta sebuah handuk tergantung di lehernya. Bekas-bekas butiran keringat, juga masih terlihat di dahi janda muda tersebut. Zinnia memang wanita yang sangat peduli dengan kesehatan serta penampilannya. Sekedar streching dan work out ringan di pagi hari, biasa dia lakukan, untuk mempertahankan kebugaran tubuhnya. "Bagaimana, Bang Wala ... apa kamu betah kerja disini?" Zinnia mulai membuka percakapan di antara mereka. "Be-betah, Mbak," sahut Wala kian gugup, karena majikannya itu menatapnya dengan senyum yang tampak sangat menggoda. "Bukan betah karena di sini banyak wanita yang suka menggodamu, 'kan?" sindir Zinnia dengan senda guraunya. "Bu-bukan itu, Mbak. Tapi memang semua orang disini baik dan ramah terhadap saya," sahut Wala memberi alasan, bersusah payah menyembunyikan rasa gugup. Sambil asyik menikmati kopi dan teh pagi itu, Zinnia dan Wala terus berbincang. Zinnia cukup piawai mencairkan suasana, sehingga dia dan Wala kian merasa akrab, tanpa rasa canggung. Dalam perbincangan hangat di pagi nan sejuk itu, Wala bercerita panjang lebar tentang kehidupannya di kampung kepada Zinnia. Mendengar cerita Wala, membuat janda muda itu kian mengagumi sosok sederhana, pemuda yang tengah bersamanya. Zinnia pun ikut bercerita seperti apa dia melewati masa kanak-kanak hingga dia remaja di Belanda. Bagaimana dia sampai menikah dengan seorang duda yang sudah sangat berumur yaitu Mr Elliot Gerlach, semua itu juga Zinnia ceritakan kepada Wala, meski hanya secara singkat saja. Wala hanya tersenyum dan tidak terlalu heran mendengar cerita Zinnia tentang pernikahan tak lazimnya, bersama pria dengan selisih usia sangat jauh. Zinnia berusia 18 tahun kala mereka menikah, sedangkan Mr Elliot, berusia 55 tahun. Pria yang lebih pantas menjadi ayahnya. Saat ini usia Zinnia sudah 24 tahun dan pernikahan mereka hanya berjalan enam tahun, sebelum akhirnya Mr Elliot lebih dulu meninggalkannya, akibat terjangkit virus corona. "Saya turut berduka atas kepergian Mr Elliot, Mbak. Beliau juga adalah orang yang paling dermawan dan berjasa di kampung saya." Wala menunjukkan rasa empatinya menanggapi cerita Zinnia. "Terima kasih atas simpatimu, Bang. Selain terkena covid-19, dari dulu Mr Elliot memang menderita banyak komorbid, itu sebab jiwanya tidak tertolong, ketika dia terpapar virus." Zinnia hanya tersenyum tipis. Dia sudah lama mengiklaskan kepergian suaminya. "Oh ya, Bang. Setelah membersihkan kebun, kamu tolong bersihkan kolam renang juga ya! Karena air kolamnya kotor, sudah beberapa hari aku tidak bisa berenang." Zinnia memberi tugas baru kepada Wala. "Siap, Mbak." Wala mengangguk dan menyanggupi dengan patuh. Zinnia balas tersenyum sambil bergegas beranjak meninggalkan Wala dan membiarkannya melanjutkan pekerjaan. ** Hari beranjak siang ketika Wala memutuskan untuk mulai membersihkan kolam renang, mengikuti perintah Zinnia. Pekerjaan seperti itu memang baru pertama kali dia kerjakan di sana. Tetapi, melalui beberapa tayangan televisi serta internet, Wala pernah mempelajari cara membersihkan kolam renang dan langsung mempraktekkannya disana. Terlebih dia adalah seorang lulusan SMK jurusan mesin. Dengan mudah Wala bisa mengetahui cara membersihkan mesin pompa serta filter kolam renang itu. Dengan sangat cekatan, tangan Wala juga mengayun jaring panjang untuk membersihkan beberapa sampah daun yang mengambang di atas kolam. "Aku akan nyebur ke dalam kolam agar bisa membersihkan kotoran yang menyumbat saliran pembuangan." Wala melepaskan kaos serta celana yang dipakainya. Dengan hanya mengenakan boxer, dia menceburkan dirinya ke dalam kolam. Sesekali Wala membenamkan seluruh tubuhnya ke dasar kolam, lalu kembali mengangkat kepala ke permukaan, sambil terus membersihkan semua kotoran yang ada di dasar kolam. Sangat asyik dengan pekerjaaanya, Wala sama sekali tidak menyadari kalau semua pelayan wanita di rumah itu, tampak bengong dan menjadikan dirinya bahan tontonan. Semua wanita-wanita yang sangat mengidolakannya tersebut, terpaku dengan mulut menganga menyaksikan keseksian seorang Wala. Dada bidang dengan perut bergelombang menyerupai roti sobek, bahu kokoh serta kedua lengannya yang terlihat kekar berotot, memancarkan aura kejantanan seorang laki-laki sejati, tak terbantahkan dalam diri Wala. "Wah ... Bang Wala benar-benar gagah, ya!" Mulut Mawar berseru takjub, tak dapat menyembunyikan kekagumannya. "Iya ... dia memang pantas jadi idola." Pelayan yang lain juga ikut menyambung kekaguman itu dengan ekspresi yang sama. Dengan mata tak berkedip, wanita-wanita itu terus memperhatikan semua kegiatan Wala di kolam renang. Bersamaan itu pula, Zinnia terlihat turun dari kamarnya yang ada di lantai dua rumah besar itu. Seketika dia mendengus gusar, melihat semua pelayan sedang berkumpul di ruang tengah. Saking asyiknya memperhatikan Wala, mereka tidak mengetahui kalau Zinnia sudah ada di belakang mereka. "Hemm ... sedang apa kalian semua disini!" Zinnia berdehem keras seraya mendelikkan kedua matanya. "Dasar perempuan-perempuan ganjen. Cepat bubar dari sini dan lanjutkan lagi pekerjaan kalian!" Dengan perasaan jengkel, Zinnia mengumpat semua pelayan itu, serta mengusirnya. Para pelayan yang terkejut menyadari kehadiran Zinnia di tempat itu, langsung menundukkan kepala, membungkuk dan satu persatu berlalu dari ruang tengah tanpa ada yang berani membantah. Zinnia menggelengkan kepala dan memasang wajah masam menatap satu demi satu pelayannya yang kini sudah mulai membubarkan diri. Namun, sebuah seyum indah juga terbias di bibirnya, ketika dia menoleh ke arah kolam renang. Sama halnya seperti semua pelayan, dia pun sangat terpesona melihat kesempurnaan bentuk tubuh Wala, yang kala itu masih bertelanjang d**a. Bergegas dia mendekati kolam dan duduk di sisi sebuah sunbed. "Istirahat dulu, Bang!" Zinnia melambaikan tangannya kepada Wala yang baru saja naik ke permukaan kolam. Sambil mengusap wajah serta rambut basahnya, Wala mendekati Zinnia. "Sekarang kolamnya sudah bersih, Mbak. Silakan kalau mau berenang," ujar Wala, menerangkan kalau dia sudah menyelesaikan pekerjaan sesuai perintah majikannya itu. "Iya, Bang." Zinnia masih hanya tersenyum, serta dengan santai melepas bathrobe yang dipakainya, tanpa sedikit pun rasa canggung di hadapan Wala. Seketika Wala memalingkan wajahnya. Zinnia lagi-lagi terkesan sengaja memamerkan keindahan lekuk tubuhnya, yang kini hanya mengenakan bikini sebagai penutup bagian paling sensitifnya. Wala hanya bisa menelan ludah. Pemandangan tidak biasa dan terlihat begitu indah di matanya itu, membuat dia semakin salah tingkah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN