Eight

2231 Kata
Aku terpenjat saat menyadari jika posisiku berada di tengah jalan. Dan....sebuah truk melaju kencang ke arahku. Tubuhku membeku seketika. Apakah ini akhir hidupku? Tuhan...ku mohon selamatkan aku!! Aku memejamkan mata dan terus melantunkan doa dalam hati. Tolong, siapapun tolong aku! Hangat Apakah aku sudah mati? "Syukurlah," Aku segera membuka mataku ketika mendengar sebuah suara yang sangat asing di telingaku. "Kamu baik-baik saja?" tanya pria paruh baya yang baru saja menolongku. "A..An..Anda, sia..pa?" tanyaku. Pria itu melepaskan pelukannya dan membantuku duduk di trotoar. Apakah dia adalah malaikat kematian yang membawa jiwaku? Lalu dimana ragaku? Aku tidak mau jiwa dan ragaku terpisah. Aku masih ingin bersama Rafael. Namun, dugaanku terbantahkan oleh tatapan dua pengawal Om Bisma yang masih mengikutiku. Mereka berhenti tepat di hadapanku. Aku ingin lari, tapi kakiku masih sakit akibat terkilir. "Maaf, Tuan Brian. Tuan Bisma meminta kami membawa pergi gadis ini." ujar salah seorang dari mereka sembari menarikku. "Ti..tidak. Ak..aku tidak mau. Tolong!" Aku melemparkan tatapan memohonku pada pria yang telah menyelamatkanku tadi. Karena dari apa yang ku lihat, sepertinya ia orang baik. "Lepaskan dia!" Pria itu menarik kasar tanganku yang di pegangi pengawal itu. "Tapi, Tuan.." "Hal ini biar jadi urusanku. Kalian kembali saja ke tempat kalian!" suruhnya. "Tapi, Tuan.." "Pergi atau aku akan memecat kalian? Ingat! Aku punya hak yang sama dengan Bisma untuk memecat siapa saja yang bekerja di bawah Renandi Grup." ancamnya pada kedua preman itu. Siapa pria paruh baya ini? Kenapa dia bisa punya hak dan kekuasaan yang sama dengan Om Bisma? Bukankah itu artinya Beliau merupakan orang penting, sama seperti Om Bisma? "Ba..baik, Tuan. Maafkan kami." balas salah seorang pengawal itu sembari menunduk patuh. Merekapun segera pergi. "Hey, apa kamu yang bernama Litha?" Aku menyeritkan alisku. Darimana Beliau tahu? "Aku Brian, sepupu Bisma. Devania yang memintaku kesini untuk menolongmu setelah dia mendapat kabar bahwa Bisma datang ke rumah sakit." terang pria itu. "Apa kamu mendengarkanku?" tanyanya setelah beberapa saat. Aku mengangguk. "Aku lihat tadi Evelyn yang mendorongmu hingga kamu terjatuh. Apa penglihatanku itu salah?" Aku menggeleng. Nyatanya memang itulah yang terjadi. Gadis itu berniat membunuhku. "Tolong saya, saya tidak mau berpisah dengan Rafael." ujarku. Pria itu tersenyum. "Ayo kita temui sepupuku yang keras kepala itu dan mengatakan kebusukan Evelyn padanya!" ajak Beliau. "Ssshh.." Aku meringis saat merasakan sakit di kakiku. "Oh ya. Sepertinya kakimu terkilir. Biar ku bantu memijatnya." Aku tersentak dan menarik kakiku menjauh saat Om Brian hendak memijatnya. Ku rasa ini, kurang pantas. Apalagi mengingat usia Beliau yang berada jauh di atasku. "Percayalah! Saya hanya ingin mengurangi rasa sakitnya." ujar Om Brian. Dengan ragu, aku membiarkan Om Brian memijat kakiku. Selesai memijat kakiku, Om Brian membantuku berdiri. "Ayo masuk!" ajaknya. Aku menggeleng cepat. "Sa..saya takut Om Bisma kembali mengusir saya." terangku. "Jangan khawatir, aku ada di pihakmu" balas Om Brian. Aku mengikuti langkah Om Brian. Tentunya masih dengan keraguan di hatiku. "Untuk apa kau membawanya kemari?" Aku mencengkram erat lengan kemeja Om Brian ketika mendengar suara Om Bisma yang tajam. Kini kami berada di sebuah lorong rumah sakit. "Rafael butuh gadis ini, Bis." Om Brian. "Kamu sudah gila? Gadis ini hanya akan merepotkan dan mempermalukan Rafael, Brian. Kamu tahu betapa besarnya tanggung jawab Rafael di masa depan, kan?" Om Bisma. "Sudahlah. Aku Ayahnya. Aku lebih tahu mana yang terbaik untuk Rafael. Dan aku sudah memilih Evelyn untuk menjadi istrinya kelak." lanjutnya. "Evelyn? Kamu tahu? Dia adalah wanita ular. Bahkan dia tadi mendorong Litha hingga nyaris tertabrak truk. Orang yang seperti ini yang akan merugikan Rafael nantinya, bukan Litha. Kamu mau punya menantu penjahat sepertinya?" Om Brian. Om Bisma tersenyum kecut. Setelah itu, melihatku dengan tatapan meremehkan. "Kamu hanya membual. Lagi pula, kalaupun itu benar, Evelyn tetaplah jauh lebih baik dari gadis ini." balas Om Bisma. "Dan kamu," Tubuhku menegang saat Om Bisma menunjukku dan memberikan tatapan tajam padaku. "Kamu masih mau keras kepala dengan menolak perintahku untuk menjauhi putraku?" Aku menggeleng cepat. Mencengkram lebih erat kemeja Om Brian. "Bis!" tegur Om Brian. Terlambat. Om Bisma menarikku dengan cepat. Menyeretku paksa untuk keluar dari area rumah sakit. "Bisma!" Aku dapat mendengar jelas suara Om Brian yang terus memanggil sepupunya. Apa yang akan Om Bisma lakukan? Kepalaku terasa pusing. Penglihatanku kabur. Hingga beberapa detik berikutnya ku rasakan tubuhku lemas bersamaan dengan rasa sakit akibat sebuah benturan cukup keras pada lengan dan bagian tubuhku sebelah kiri. Aku tersadar ketika kilauan cahaya mengusik tidurku. Perlahan, aku membuka mataku. Aku berusaha untuk duduk sembari memegangi kepalaku yang terasa pusing. Dimana aku sekarang? Pertanyaan itu terlintas di otakku ketika aku sadar sepenuhnya bila kini aku berada di sebuah ruangan yang cukup nyaman. Aku menurunkan kakiku dari tempat tidur, dan berjalan pelan ke arah sebuah pintu di ruangan tersebut. "Oh astaga!" Seorang wanita paruh baya memekik dan nyaris menjatuhkan nampan di tangannya. Dia terlihat asing. Siapa lagi dia? "Kamu sudah bangun, Litha? Aku kaget melihatmu tiba-tiba sudah bisa berdiri disitu." ujarnya. Aku mundur beberapa langkah. Bagaimanapun juga, dia orang asing. Siapa yang dapat menjamin bahwa dia tak akan menyakitiku. "Pergi!" suruhku ketika melihatnya mulai mendekat. "Aku bilang pergi!" ulangku dengan suara lebih lantang saat Beliau tidak segera menjauh dariku. Kenapa dia malah terus mendekat? Dia melangkah santai ke dalam kamar yang ku tempati kemudian meletakkan nampan yang ia bawa di atas nakas. Setelah itu, ia menghadap ke arahku. "Si..siapa kamu?" tanyaku. "Kamu tidak perlu takut denganku, Litha!" ujarnya lembut. Dia semakin mendekat dan menyentuh tanganku. Aku berusaha menghindarinya, tapi ia malah menariknya dan menggenggamnya. Hangat. "Kamu tidak perlu takut padaku!" ulangnya. Aku menatap bingung ke arahnya. Sebenarnya siapa dia? Dan kenapa aku ada bersamanya disini? "Namaku Fany. Aku istri Brian Renandi. Kamu pasti tahu suamiku, bukan?" tanyanya. Brian Renandi? Apakah maksudnya Om Brian? Aku mengangguk ragu. Membuat wanita itu mengembangkan senyumannya. "Duduklah!" ia menuntunku duduk di tepi ranjang. "Kemarin kamu pingsan saat Kak Bisma mengusirmu. Dan suamiku membawamu kemari." terang Tante Fany. Aku hanya diam. Berusaha mengingat kejadian kemarin. Oh. Aku ingat! Saat itu kepalaku terasa pusing dan aku tidak mampu mengimbangi langkah Om Bisma yang menyeretku dengan kasar. Kemudian, tiba-tiba aku merasa sakit di bagian tubuh sebelah kiriku yang ku rasa itu adalah benturan kala aku terjatuh. "Ra..fael" Dimana ia sekarang? Bagaimana keadaannya? Otakku langsung terisi penuh dengan sosok pria itu. "Rafael!" panggilku. Aku berniat berdiri dan pergi mencari Rafael. Aku khawatir dengannya. Tapi, Tante Fany menahanku. "Tenanglah! Rafael baik-baik saja." ujarnya. Aku kembali duduk dan menoleh menatap Tante Fany. Tante Fany tersenyum. "Apa kamu tidak punya rumah? Dimana keluargamu?" tanyanya. Aku terdiam. Memejamkan mataku beberapa saat. Tenang...tenang, Litha! Kamu tidak boleh melakukan hal gila lagi. "Litha!" panggil Tante Fany. Aku tersentak saat merasakan sebuah jari mengusap pipiku. "Maaf bila pertanyaan Tante menyakiti hatimu," ujarnya. Apakah aku baru saja meneteskan air mata? "Mulai sekarang, Tante adalah Mama kamu, okey? Kamu tidak akan merasa kesepian lagi karena ada Mama yang akan jagain kamu, sayang." Aku membeku saat tiba-tiba Tante Fany memelukku. Sangat erat. "Sudah 25 tahun Kanza dan Kenzo meninggalkan Mama. Mama kesepian, Mama merindukan mereka, sayang." lirihnya. Kanza dan Kenzo? Siapa mereka? Aku melepaskan pelukan Tante Fany. "Si..siapa mereka?" tanyaku hati-hati. "Mereka anak kandung Mama dan Papa Brian. Tapi mereka meninggal di hari kedua mereka dilahirkan. Saat itu, kami baru saja pulang dari rumah sakit. Tapi mobil yang kami tumpangi mengalami kecelakaan. Dan mereka meninggal. Kecelakaan itu juga menyebabkan kerusakan pada rahim Mama." terang Tante Fany dengan air mata mengalir deras. Aku mengangkat tangan kananku dan membawanya ke pipi Tante Fany. Aku menghapus air mata Beliau dengan sangat hati-hati. Aku dapat merasakan bagaimana pedihnya perasaan Beliau saat ini. Ikatan batin antara ibu dan anak memang sangatlah kuat. Jika salah satu pergi untuk selama-lamanya, pastilah yang di tinggalkan akan merasa separuh dari jiwanya ikut hilang. Sama sepertiku. Saat kehilangan orang tuaku. "Sayang, kamu mau kan jadi anak angkat Mama? Kamu mau kan panggil Tante dengan sebutan 'Mama'?" tanya Tante Fany. Aku melihat harapan yang begitu besar di mata wanita paruh baya itu. Membuatku tidak tega jika harus menolak permintaan mulianya. Akupun mengangguk ragu. "Makasih, sayang." ujarnya sembari kembali memelukku. *   Hari ini, aku menghabiskan waktuku bersama Tante Fany. Emm....maksudku Mama Fany. Mama bercerita banyak hal tentang kehidupannya. Tentang persahabatannya dengan Tante Mawar sejak keduanya masih remaja, awal pertemuannya dengan Papa Brian, hingga tentang kedua anaknya, Kanza dan Kenzo. Selain itu, Mama juga bercerita tentang kedekatannya dengan Rafael dan Devania. Keduanya sangat dekat dengan Mama. Apalagi Devania. Devania selalu manja pada Mama. "Kak Litha!" Aku dan Mama segera menoleh ke arah sumber suara. Devania. Dia berdiri di pintu pembatas ruang makan dan area taman belakang, masih dengan seragam SMA nya. Devania berjalan cepat ke arahku dan segera menarikku berdiri untuk dipeluknya. "Kak Litha baik-baik aja kan? Aku sama kak Rafael khawatir." ujarnya. Aku membalas pelukannya. "Aku baik-baik saja." jawabku. "Bagaimana keadaan Rafael?" tanyaku setelah pelukan kami terlepas. "Kak Rafael baik. Besok Kak Rafael sudah boleh pulang." Devania. Aku menghela napas lega. "Mama buatin jus dulu ya, buat kalian." Mama. Aku dan Devania mengangguk. "Kalian bicaralah dulu! Sepertinya ada beberapa hal yang ingin Dev sampaikan ke kamu, sayang." lanjut Beliau yang beliau tujukan padaku. Devania mengangguk. Beberapa saat berikutnya, Devania menuntunku untuk duduk di tepi kolam renang. "Ada apa, Dev?" tanyaku. "Apa aku boleh tau tentang masa lalu Kakak?" tanya gadis itu. Masa lalu? Aku menundukkan kepalaku dan memejamkan mataku beberapa saat. "Kak," Aku tersentak saat Devania menepuk bahuku pelan. "Aku pengen tahu masalah Kakak. Aku pengen tahu, apa yang membuat Kak Litha sangat tertekan dan harus menderita seperti ini." Devania. Aku menggeleng pelan. "Sulit." balasku. "I know. Setelah melihat betapa tertekannya kakak, semua orang pasti tahu kalau Kakak punya masalah yang besar." Devania. Devania menggenggam tanganku erat sembari melemparkan tatapan memohonnya. Benarkah ini Devania? Ia sangat berbeda hari ini. Dia tampak dewasa. "Aku cuma mau bantu Kakak. Siapa tahu ada yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban Kakak. Kakak percaya kan sama aku?" Aku tidak yakin Devania bisa merubah sesuatu di hidupku. Bahkan sekarangpun aku sudah ikhlas dengan semua masa laluku. "Apa ini ada kaitannya dengan keluaga Kakak?" Seketika, sekelebat bayangan muncul di kepalaku. Momen liburan mengelilingi Perancis bersama orang tuaku. Mereka meluangkan waktu hampir seminggu demi merayakan ulang tahunku. Sebuah keluarga yang hangat. Mereka menyebutku sebagai princess mereka. Dan.......semua berubah ketika kecelakaan itu terjadi. Mom melompat ke bangku belakang dan segera memelukku erat. Aku hanya dapat memejamkan mata, memanjatkan doa dalam hati ketika suara benturan keras itu terdengar. Hingga aku merasakan serpihan kaca mengenaiku, dan tubuhku terberbentur sesuatu yang keras. "Mom!" Aku menutup telingaku rapat-rapat. Suara bising akibat kecelakaan itu terus terngiang. Termasuk suara teriakan mom dan dad yang begitu memilukan. "Aaarrrgggh! Mom! Dad!" Kepalaku terasa sakit. Aku mencengkram kepalaku, seolah rasa sakit itu akan hilang jika aku melakukannya. "Kak! Kak Litha, stop Kak!" Devania memegangi tanganku. Berusaha melepaskan cengkramanku. "Litha!" itu suara Mama Fany. "Berhenti sayang!" pintanya sembari membantu Devania melepaskan cengkramanku. "Berhenti, Kak Litha!" teriak Devania sembari menarik paksa tanganku hingga akhirnya terlepas. Aku menatap Devania dan Mama Fany bergantian. Keduanya menatapku sendu. Apa yang baru saja ku lakukan? Apa aku baru saja melakukan hal bodoh lagi? Devania menggenggam kedua tanganku dengan erat. Dia menatapku sendu. "Kak, Kakak percaya kan sama Devania? Dev janji Kak, Dev bakal selalu ada di pihak Kakak. Apapun kenyataan dalam hidup Kakak, Dev akan selalu dukung Kakak, karena Dev yakin, Kakak orang baik." Aku menatap manik mata gadis remaja itu. Terlihat keseriusan disana. Benarkah? Bisakah aku mempercayainya? "Kak, Dev mohon, izinkan Dev bantuin Kak Litha!" pintanya lagi. Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikiranku. "Ak..aku..aku penyebab kedua orang tuaku meninggal," jawabku cepat. Aku menutup mataku rapat-rapat. Menyesali segala kesialan yang terjadi karenaku. "Maksud Kakak? Kakak bunuh mereka?" Aku mengangguk. Air mataku mengalir deras. Dan aku segera menelangkupkan kedua tanganku untuk menutupinya. Dadaku terasa sesak. Mom, Dad, maafkan Talitha. "Ba..bagaimana bisa? Coba jelaskan ke Dev kronologinya!" Devania. "Aku ada di mobil yang sama dengan mereka. Aku bercanda dengan mereka sampai akhirnya Dad hilang kendali, dan...dan mobil yang kami tumpangi....." Aku tak sanggup lagi melanjutkannya. Aku semakin merasakan sesak di dadaku. Glep... "Itu bukan salah kamu, sayang. Itu sebuah kecelakaan." Ku rasakan tangan mama Fany melingkar di tubuhku. "Tapi mereka semua meninggal, Ma. Hanya Litha yang selamat. Ini semua gara-gara Litha." isakku. Aku melepaskan pelukan Mama Fany kemudian menjambak rambutku frustasi. "Berhenti, sayang! Mama tidak suka kamu menyakiti dirimu sendiri." Mama Fany. "Tante Fany benar, Kak. Itu bukan salah Kakak. Bukan kemauan Kakak juga kan, Kakak menjadi satu-satunya yang selamat dari kecelakaan itu? Tuhan menyelamatkan Kakak, artinya Tuhan masih memberi kesempatan Kakak untuk merasakan kehidupan. Tuhan ngasih waktu kakak untuk bahagia lebih lama," Devania menurunkan tanganku dan menggenggamnya. "Kakak nggak sendiri. Ada Dev, Mama, Tante Fany, dan Kak Rafael yang sayang sama Kakak. Kami akan membantu Kakak untuk menghapus luka dan trauma Kakak. Kakak percaya kan pada kami?" lanjutnya. Aku terdiam. Mengapa saat Devania menggenggam tanganku aku merasa tenang? Akhirnya, aku menganggukkan kepalaku. "Aku percaya dengan kalian." jawabku yang segera disambut senyum dari Devania dan Mama Fany. "Sayang, kamu nggak perlu takut lagi dengan apapun. Kami selalu ada di sampingmu. Kami akan menangkapmu ketika seseorang menjatuhkanmu. Banyak yang sayang sama kamu, Litha." Mama Fany. "Iya, Kak. Kakak harus tenang! Jangan pikirkan hal-hal yang membuat Kakak akan merasa down! Pikirkan saja kasih sayang dari kami. Semua masalah pasti akan segera berlalu. Ini hanya sebuah jalan meraih kebahagiaan." Devania. Aku mengangguk dan segera memeluk Devania. "Terima kasih." ujarku. "Ingatlah, Kak Rafael selalu mencintai Kakak. Dia ada di barisan terdepan dari orang-orang yang melindungi Kakak." Devania. Rafael? Benarkah? Apa dia akan terus di posisi itu? Sebagai pelindungku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN