Meneguk air putih dalam gelas yang dilingkupi kedua tangannya di atas meja, Laura beberapa kali menghembuskan napas berat. Pemecatan yang baru saja ia dapatkan memang cukup membuatnya tertekan seolah bernapas dalam himpitan batu besar.
Dadanya kian sesak ketika menatap Ibunya yang bernama--Pricilia duduk dengan napas engap-engapan karena sakit paru-paru basah dideritanya. Setelah Laura menceritakan apa yang terjadi dengannya wanita berusia 40 tahun itu langsung menuang air putih yang kini berada di tangan Laura.
Sedangkan Viona bersama suami yang bernama Alex sedang asyik menyuap makanan di hadapannya. Namun dari gelagat mereka berdua Laura paham bahwa sedang tidak suka jika ia diberhentikan bekerja.
Sambil menyuap roti di ujung garpu ke dalam mulutnya, Laura tampak ragu menelannya ketika sepasang suami istri itu menatap penuh hardik. Roti itu bagai kerikil ketika melewati tenggorokannya.
"Ini sudah ketiga kalinya kau di keluarkan dari pekerjaan, Laura. Dari sana sudah terbukti kalau kau adalah gadis yang ceroboh. Aku tidak mengerti, setelah ini apa yang harus ku perbuat. Ada banyak hutang yang harus dibayar." Viona memijat pelipisnya pusing mulai menyergap ketika memikirkan banyaknya hutang pada atasannya.
Dengan sigap Alex mengambilkan gelas berisikan air putih. "Tenanglah, Sayang," ucapnya menenangkan.
Lelaki yang saat ini tidak memiliki pekerjaan itu tentu saja saat ini terlihat seperti seorang pecundang mecari muka di hadapan istrinya.
Viona menepis gelas dari tangan disampingnya kemudian melangkah pergi ke kamar dengan perasaan kecewa. Sedangkan Pricillia setelah menepuk pundak Laura yang masih duduk di kursi makan berbahan kayu itu pergi ke kamar.
"Tidak perlu dipikirkan, kakakmu memang seperti itu." Kemudian Alex menyesap kopi di hadapannya, dengan mata menatap Laura dengan tidak bisa diartikan. Setelah meletakkan cangkir ke atas meja dia bicara lagi.
"Apa kau membutuhkan pekerjaan lagi, Laura?" tanyanya serius, "Tapi kalau kau tidak ingin tidak masalah."
"Pekerjaan?" Laura menaikkan sebelah alisnya.
"Iya, pekerjaan." Butuh waktu sejenak untuk Alex melanjutkan pembicaraan.
"Aku memiliki seorang teman, dia adalah salah satu manajer di Klab. Mungkin dia bisa membantumu untuk memberikan lowongan, sebagai bartender, atau yang lainnya."
Ide Alex membawa angin segar untuk Laura yang hampir putus asa karena kehilangan pekerjaan.
"Apa kau mau, Laura, malam ini kita temui dia?"
"Natürlich werde ich." (Tentu saja aku mau)
Seulas senyum terukir dari bibir Alex, seolah puas sudah membuat Laura menyetujui rencananya.
***
Laura sudah cantik mengenakan atasan berwarna putih berkain brokat bagian pinggiran di aksen renda, panjang lengan sampai siku. Belahan bagian atas terbuka mengekspos d**a atas Laura yang putih bagai s**u.
Sedangkan ditambah serasi lagi dengan rok pendek berwarna hitam menyerupai huruf A memperlihatkan kaki jenjangnya.
Pemandangan itu membuat Alex beberapa kali meneguk liur melihatnya karena lagi-lagi hasrat kelelakiannya bangkit ketika melihat Laura. Apa lagi body Laura begitu menggoda sebab memiliki beberapa tonjolan di bagian tertentu.
"Ayo kita masuk."
Laura terpelonjak ketika tiba-tiba tangan Alex memeluk pinggangnya dari belakang posesif. Dengan refleks ia pun mengikuti ke mana Alex membimbingnya.
Dentuman keras musik mulai terdengar ketika Laura memasuki kawasan itu. Lampu ruangan yang gelap dibantu lampu disko bulat berada di atas kepala kerlap-kerlip. Mereka semua menikmati musik yang dibawakan oleh disc jockey.
Melewati orang-orang kehilangan kesadaran itu Luara terus di bawa ke sebuah ruangan saat ia menanyakan itu adalah ruangan teman Alex yang merupakan manager Klub ini.
Mereka bertiga saling bicara cukup akrab. Hingga beberapa menit kemudian Alex mengajak Laura keluar dari ruangan manager dan membawanya ke sebuah kamar. Ketika berjalan menggandeng Laura, Alex menoleh ke belakang kemudian mengedipkan sebelah mata pada manager itu seolah ada yang direncanakan.
Sayangnya Laura tidak menyadari hal itu. Sebegitu senang mendapat pekerjaan baru sebagai Bartender membuatnya bersemangat menuruti langkah Alex tanpa curiga.
Hingga langkah mereka berdua tiba di sebuah kamar berukuran sederhana. Memiliki fasilitas sebuah ranjang berukuran sedang dialasi sebuah seprai berwarna merah terdapat sebuah nakas di sampingnya.
Pandangan Laura mengarah ke sekelilingnya. Ia pun mulai curiga, untuk apa dia di bawa ke mari?
Ia memutar tumitnya untuk berbalik, namun sebelum bibirnya terbuka netra hazelnya menyipit ketika melihat Alex mengunci pintu.
Laura merasa curiga pada Alex, terlebih lagi tatapan kakak iparnya seperti binatang sedang kelaparan.
Langkah Alex mendekat dengan santai, namun cukup membuat Laura panik. Bahkan sangat panik. Matanya menatap waspada.
"Kak, kenapa kau mengunci pintunya? Bukankah seharusnya ini bukan tempatku?" Manajer yang baru saja Laura temui mengatakan bahwa tugasnya sebagai bartender hanyalah di bagian depan melayani para tamu-tamu yang ingin memesan minuman.
Kedatangannya di dalam kamar ini hanya bertujuan mengganti pakaian yang sudah diberikan oleh manajer tadi sebab malam ini ia langsung bekerja menggantikan bartender yang sedang izin karena ada keperluan.
Ketika kakak iparnya menyuruh mengganti pakaian, bukankah seharusnya menunggu di depan? Tapi kenapa justru ikut masuk dan kini mengunci pintunya.
Langkah Laura semakin mundur saat Alex terus saja maju dengan sorotan mata pemangsa sedangkan jarinya mengusap bibir seolah tidak sabar menikmati santapan begitu lezat.
"Kak, keluarlah. Aku ingin mengganti pakaian. Teman kakak sendiri yang menyuruh seperti itu, bukan?" Laura bicara disertai perasaan kalut.
Sementara lelaki di hadapannya tidak ingin membalas semua pertanyaan. Namun bibir dan matanya seolah sudah menelanjangi Laura.
"Berikan kuncinya padaku, Kak!" Laura merenggut tangan Alex yang memegang kunci kamar. Namun hasilnya sia-sia ketika Alex menaikkan tangannya tinggi di luar jangkauan.
"Apa kau mau ini?" tanyanya. Matanya beralih menatap kunci yang memiliki gantungan berwarna putih tampak bergoyang-goyang di jarinya.
Laura mengangguk tangannya ingin meraih kunci itu lagi namun lagi-lagi dia gagal, Alex lebih cepat melempar kunci itu hingga terjatuh ke bawah sebuah nakas.
Secara cepat gadis itu melangkah mencari keberadaan kunci itu. Namun sayang, tangannya tidak bisa menjangkau.
Ia pun berinisiatif untuk menekuk kedua lututnya posisi menungging dadanya tepat menempel di lantai. Bersusah payah ia meraih kunci itu memasukkan sebelah tangannya ke bawah nakas. Sebelum kemudian ia merasakan sesak sesuatu menindih dirinya.
"Oh ... baby, tanpa aku meminta pun kau sudah mempersiapkannya."
Merasakan tubuh berat Alex di atas punggung Laura meluruskan kakinya hingga menjadi posisi tengkurap. Ia berusaha untuk bangun.
"Apa yang kau lakukan, Kakak Ipar?" tanya Luara sesak. Dan kian sesak ketika Alex menunduk mendekatkan wajah ke daun telinga mendesah kan suara membuat Laura semakin jijik.
"Aku ingin memilikimu seutuhnya, sayang. Setiap hari kau selalu menggodaku dengan tubuhmu ini. Kini sudah cukup, aku sudah tidak tahan lagi menahan hasrat ini."
Sontak mata hazel itu membulat, Laura baru menyadari, jadi selama ini kakak ipar yang sudah dia anggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu memperlihatkan niat tidak baik padanya?
"Tetap diam! Atau aku akan mencabik-cabik dirimu dari belakang tanpa ampun," ancam Alex ketika Luara terus saja memberontak ingin melepaskan diri.
"Ku bilang lepaskan aku!" Laura mengeratkan rahang mencoba melepaskan diri dan itu semakin membuat Alex b*******h ingin segera menikmatinya.
"Tampaknya kau sudah tidak sabar untuk menghabiskan malam kita yang indah, sayang."
Setelah berucap Laura setidaknya merasa lega, karena Alex menjauhkan tubuhnya. Namun seketika ia bergetar hebat dengan cepat-cepat mengubah posisi menjadi duduk.
Ia menyeret tubuhnya mundur sambil menggeleng takut ketika Alex melepas ikat pinggang berwarna hitam itu.
"Apa yang kau lakukan, Kak? Kumohon sadarlah ... aku adalah adik dari istri yang sangat kau cintai! Dan apa kau lupa? Viona juga sangat mencintaimu lebih dari apa pun?!"
Bibir Alex tersenyum tersungging disertai kerutan di kening. Pria itu seolah mencemooh kata-kata Laura. Dia terus saja maju dengan ikat pinggang di tangan siap untuk mengikat Laura supaya tidak bisa melawan.
"Apa kau pikir aku mencintai kakakmu?" Alex menggeleng.
"Aku tidak lebih menganggapnya hanya sebagai wanita boneka, yang begitu mudah dipermainkan."
Laura menggeleng, tidak habis pikir dia ternyata selama ini tinggal dengan seorang yang jahat. Laura tidak bisa membayangkan jika Viona mendengar kata-kata dari Alex.
Pasti akan hancur. Wanita mana yang mau dianggap sebagai boneka oleh suaminya.
"Kau sudah gila, Alex!" Bahkan Laura mengganti panggilan dari sebelumnya kakak kini berubah menjadi Alex.
"Iya aku memang sudah gila, Laura. Aku gila dengan aroma bramu, aku gila karena aroma sampo ketika kau mandi. Kau seolah menyiksaku setiap hari, Laura. Dan kini saatnya, kau adalah milikku sebelum aku menjualmu pada para lelaki yang mencari kepuasan."
"Tidak, tidak, kau tidak boleh berbuat seperti itu. Aku akan melaporkan perbuatanmu pada Viona!"
Ancaman Laura tidak berarti apa-apa bagi lelaki yang sudah dikuasai oleh hasrat selama beberapa bulan itu. Dia semakin tak bergeming memegang kedua tangan Laura kemudian mengingatnya dengan ikat pinggang.
Laura memberontak ia tak sudi disentuh pria tak tau diri di hadapannya itu. Ia mendorong tubuh Alex menggunakan tangan yang sudah diikat namun tetap saja Alex bergeming.
"Kubilang lepaskan aku, sialan!"
Wajah Laura mulai basah sebab keringat membanjiri akibat memberontak. Hingga kaki telanjangnya berhasil menendang pusaka Alex yang dari tadi sudah menegang.
Laura tak mau menyia-nyiakan kesempatan saat lelaki itu ter ter jerambah ke belakang.
Menggunakan gigi ia menggigit ikat pinggang di tangan. Menggunakan tenaga mulut ia berhasil melepaskan benda yang menyakiti pergelangan tangannya itu.
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Laura, hingga terasa panas menjalar ke seluruh tubuh, telinganya seketika berdengung.
Belum juga sakit dirasakan bagian pipi hilang, kini sakit itu berangsur ketika tangan kekar Alex menarik rambut belakang sehingga membuat wajah Laura reflek mendongak menatap tepat di depan wajah Alex.
"Kau berani bermain-main denganku rupanya gadis kecil." Alex mendekatkan bibirnya ingin melahap hingga gadis itu kehabisan napas.
Cuih!
Namun bayangannya salah saat tiba-tiba Laura meludah ke wajahnya. Sontak membuat lelaki itu mengeratkan tangan, sedang sebelah lagi mencengkram rambut Laura begitu kuat, hingga gadis itu merasa kulit kepalanya akan lepas.