"Tuan ini berkas-berkas yang Anda minta."
"Hem ...."jawab Alaric tanpa menoleh hanya fokus ke laptopnya saja.
"Aku juga sudah mengirimkan email kepada supplier seperti keinginan, Tuan."
"Hem."
Kemudian Laura melirik jam yang melingkar di tangannya. "Sudah siang, Tuan, waktunya Anda makan."
"Kau saja yang makan, aku sedang tidak ingin." Alaric masih acuh tidak ingin sedikit pun menoleh atau melirik pada Laura.
Laura sendiri bingung entah apa yang terjadi pada bosnya itu. Semenjak setelah mendapat telepon sebelum berangkat ke kantor dia menjadi berubah diam bahkan di sepanjang perjalanan hingga sampai kantor.
Laura berpositif thinking mungkin bosnya itu sedang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hingga menyebabkan seperti itu. Gadis itu mengayunkan kaki menuju pantry untuk membuat minuman dicuaca dingin seperti ini ia memutuskan membuat secangkir coklat panas.
"Wow ... sekretaris kesayangan." Suara Bianca terdengar menyapa dari belakang. Perempuan berpenampilan seksi itu berjalan menghampiri Laura.
Laura diam tak menanggapi hanya konsentrasi pada cangkir yang ia genggam dengan kedua tangannya kemudian menyesap coklat dengan hati-hati.
"Bagaimana rasanya menjadi sekretaris simpanan bos, Nona? Ah, itu pasti menyenangkan. Beruntung sekali kau memiliki tubuh begitu indah, sehingga bisa membuatmu menukar dengan jabatan sekretaris."
Laura masih tidak ingin menanggapi namun rahang gadis itu mengetat pertanda jika ia geram.
Bianca maju lebih dekat di belakang Laura. Menatap tubuh gadis itu dari atas sampai bawah seolah mencemooh. Kemudian maju ke samping Laura berdiri berhadapan.
"Aku punya penawaran untukmu, Laura. Jika suatu saat Tuan Alaric sudah bosan padamu, aku bersedia menggatikanmu. Pasti dia akan lebih bahagia denganku dari pada denganmu."
Damn it!
Bianca memekik dengan bibir menganga.
"Laura, kau!" Rasa panas merayapi kulit perutnya sebab tumpahan coklat panas yang disiramkan Laura.
"Ups, sorry ... kupikir kau tempat sampah." Setelah berujar Laura berlalu pergi dengan santai seolah tidak melakukan apapun.
"Laura!"
Bruk!
Sebegitu puasnya sudah membuat Bianca marah Laura berjalan tanpa menatap ke depan hingga menabrak tubuh tegap Alaric sontak membuatnya meringis sambil memegang bahunya sendiri.
"He he he, Tuan, sedang apa Anda di sini?" tanyanya tersenyum kikuk.
"Mana kopi untukku?"
Kopi? "Bukankah Anda tidak menyuruhku membuat kopi?" tanyanya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Kau seharusnya sudah tau rutinitasmu setiap hari. Tanpa meminta kau harus membuatkan untukku. Begitu saja tidak mengerti, seharusnya kau memperbaiki kinerjamu sebab aku membayarmu dengan gaji cukup besar."
"Baik Tuan." Laura hanya menunduk sambil meremas tangannya sendiri. Lagi-lagi masalah kopi yang mengharuskan Alaric marah padanya.
Namun kini kasusnya berbeda jika sebelumnya Alaric marah karena tidak ingin meminum kopi buatannya kini justru sebaliknya. Lelaki itu bahkan tidak hanya meminta di pagi hari melainkan siang dan juga malam.
Huff ... dasar menjengkelkan!
"Segera buatkan, aku menunggunya di ruangan!" Setelah berucap Alaric berbalik mengayunkan langkah menuju ruangannya.
Bahu Laura merosot setelah menghela napas ia kembali ke pantry membuat kopi untuk bos yang sering berubah-ubah sifat itu.
"Tuan, kopi Anda." Laura meletakkan cangkir ke meja.
Langsung disambut oleh Alaric meminumnya.
"Apa Anda ingin makan, Tuan?"
"Tidak," jawab Alaric singkat.
"Anda tidak ingin, tapi aku lapar ... Tuan." Laura menangis dalam hati.
"Kau kenapa?" tanya Alaric menatap dengan sudut matanya.
"Tidak apa, Tuan. He hehe."
***
Alaric berjalan cepat melewati koridor diiringi Laura berjalan di belakang berjalan cepat tidak juga berlari menyeimbangkan. Sambil memeriksa email-email balasan dari para supplier Laura berfokus pada iPad di tengahnya.
Akhirnya ia harus merelakan makan siang yang baru saja akan disantap di depan mulut saat Alaric memanggilnya. Kemudahan mengajaknya keluar kantor.
"Kalau boleh saya tau, kita mau ke mana, Tuan?" tanyanya. Saat di dalam mobil duduk di samping Alaric di jok belakang dalam diperjalanan.
"Ada urusan penting, dan kau tidak perlu bertanya, begitu pun saat sampai nanti."
"Baiklah."
Lelaki itu semakin misterius menyimpan rahasia-rahasia yang menarik Laura ingin mengetahui lebih lagi namun sekretaris itu buru-buru menyadarkan dirinya sebab posisinya tidak lebih dari kata orang lain.
Sopir melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Melewati pusat kota kemudian jalan berkelok tidak lama berselang mobil mewah mereka sampai di depan sebuah gedung berlantai empat. Setibanya Alaric langsung bergegas berlari masuk tanpa menunggu Laura.
Tidak ingin kehilangan Alaric begitu saja, Laura juga lekas menyusul masuk ke dalam kedung itu.
Dilihatnya Alaric sedang bicara dengan resepsionis untuk menanyakan sesuatu. Yang membuat Laura mengernyit kan dahi adalah. "Sedang apa dia ke mari?" tanyanya dalam gumam.
Sebagai mana yang dia ketahui ini adalah panti jompo. Karena penasaran akhirnya Laura menghampiri Alaric.
"Tuan kalau boleh tau apa yang ingin Anda lakukan, di sini? Bahkan kau tidak ada pernah menyuruhku untuk tempat ini dalam agenda harian Anda kemarin."
"Tempat ini bukan agenda, Laura tapi prioritas utamaku. Ikut aku."
"Eh?"
Alaric menarik pergelangan tangan Laura membawanya masuk ke dalam lift. Ia tampak bingung sebenarnya Alaric ingin menemui siapa?
Ting!
Pintu lift terbuka Alaric langsung mengayunkan langkah keluar melewati lorong yang terdapat banyak kamar di sampingnya. Laura tersenyum saat berpapasan dengan seorang wanita lansia (lanjut usia) berambut putih dipotong pendek kulitnya keriput menggelambir duduk di kursi roda.
Wanita paruh baya itu duduk di kursi roda menghadap langsung ke arah lift. Setiap kali pintu besi itu terbuka ia langsung menoleh dan melihat siapa yang datang.
Ketika melihat Alaric dan Laura yang keluar sontak membuat raut wajahnya berubah murung dan menunduk seolah kecewa.
Laura manarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum lebar, gadis keturunan Indonesia dan Jerman itu selalu merasa terenyuh jika ada orang berada di panti jompo atau panti asuhan. Menurutnya bukan tempat seperti ini seharusnya mereka berakhir, melainkan berkumpul dengan anak-anak dan cucunya menikmati hari tua.
"Hai Nyonya, apa kabar?" Ia sempatkan menyapa walau tidak mengenalnya.
"Baik." Akhirnya wanita itu tersenyum saat membalas sapaan Laura.
"Kau cantik sekali," pujinya. Sontak membuat pipi Laura memerah, ia sangat lemah jika dipuji seperti ini.
"Kalau boleh tau, sedang apa Anda duduk di sini?" tanyanya kemudian duduk berlutut memandang lekat-lekat.
"Aku sedang menunggu anakku, semenjak mereka membawaku ke mari tidak ada yang pernah satu pun menjengukku walaupun sekali."
Laura merasa kasihan dengan wanita ini, hidupnya dihabiskan sendirian. Bahkan raut wajahnya terlihat murung menunjukkan rasa tidak bahagia sama sekali.
Entah apa yang membuat anak-anaknya begitu tega, memberikan tanggung jawab merawat orang tua mereka pada orang lain. Meski di panti jompo ini dilengkapi dengan fasilitas mewah tetap saja rumah keluarga paling nyaman yang diinginkan oleh mereka.
"Nyonya kau tenang saja, mungkin mereka sedang sibuk, setelah semua urusan selesai mereka pasti akan segera datang mengunjungimu."
Raut wajah wanita tua itu masih murung menunduk.
"Atau begini saja, kalau boleh tau di mana mereka tinggal? Aku akan memberi tahu mereka kalau kau sangat merindukan mereka."
Wanita tua itu begitu antusias memberi tahu alamat rumahnya.
***
Alaric mengerjap ketika indra pendengarannya tidak menangkap ketukan sepatu seperti sebelumnya. Ia menoleh ternyata Laura tidak ada di sana. Ia berjalan mundur beberapa langkah dan ternyata melihat Laura sedang bicara dengan seorang wanita lansia.
Alaric tersenyum melihat kedekatan Laura begitu asyik mengobrol selayaknya seseorang yang sudah lama berkenalan.
"Laura, kau sedang apa?" tanyanya saat berdiri di belakang Laura.
"Ah, tidak, Tuan, aku hanya menyapa Nyonya ini saja," balas Laura.
"Ikut denganku." Alaric berjalan lebih dulu dengan gagah langsung diikuti Laura.
"Selamat siang, Tuan Alaric?" sapa seorang perawat berseragam warna biru di depan kamar nomor 09.
"Siang. Bagaimana Ibu saya?" Alaric menjawab sambil berlalu masuk ke dalam kamar.
Langkahnya terhenti ketika melihat wanita yang hampir sama dengan wanita yang baru saja Laura ajak bicara. Hanya saja wanita ini tidak begitu keriput.
Laura menganga diliputi perasaan bertanya-tanya. Saat mendengar Alaric menyebut kata "Ibu".
"Tuan, apa dia Ibu Anda?" tanyanya sorot mata masih mengunci ke arah wanita yang memiliki pandangan kosong duduk di ranjang.
Dan tanpa diduga ketika melihat Laura wanita itu tersenyum seolah merasa senang. Tentu saja ini perkembangan tak terduga bagi Alaric sebab sebelumnya Ibunya tidak pernah tersenyum pada siapa pun, kecuali dirinya.
"Perkenalkan, Laura, dia adalah Ibuku."
Waow ... Laura benar-benar terkejut mendengarnya. Siapa sangka Alaric pria sempurna memiliki harta melimpah ternyata memiliki seorang Ibu di panti jompo dalam keadaan tidak waras atau bisa dibilang hilang ingatan.
"Akhirnya setelah kami menyuntikkan obat Nyonya Agatha bisa tenang, Tuan," sela seorang perawat perempuan penjaga Ibu Alaric.
"Baguslah." Sebab Alaric sebelumnya sangat panik saat mendapat telepon bahwa ibunya mengamuk tiba-tiba.
Ekor mata Alaric menangkap sebuah nampan berisikan makanan. "Apa Ibuku belum makan?"
"Belum, Tuan, semenjak tadi saya sudah membujuknya tapi Nyonya menolak."
"Baiklah kau boleh tinggalkan kami. Kalau ada apa-apa aku akan memanggilmu."
"Baik, Tuan." Perawat itu pergi meninggalkan ruangan.
Sementara Alaric mengambil mangkuk berisikan sup yang masih hangat kemudian menyendok menguapkan pada Ibunya. Sayangnya, Agatha mengunci rapat mulutnya sambil menggeleng.
"Makanlah, Bu."
Sang Ibu lagi-lagi menggeleng.
Melihat semua itu membuat Laura terdorong menghampiri meminta mangkuk dari tangan Alaric.
"Biar aku saja, Tuan," pintanya sambil tersenyum.
"Oke."
Kemudian Laura duduk di ranjang samping Agatha. "Nyonya, aku punya penawaran untukmu."
Mata Agatha melirik ke arahnya seolah merespon. Laura mengangguk semangat.
"Aku berjanji, jika kau mau makan kami akan mengajakmu berjalan-jalan ke taman. Bagaimana? Apa kau mau?"
Agatha langsung mengangguk detik berikutnya membuka mulut minta Laura menyuapinya.
Lagi-lagi Alaric terperangah melihat kedekatan Laura. Sifat gadis itu benar-benar penyayang. Tidak seperti Faullina yang sama sekali tidak menganggap keberadaan Ibunya, bahkan menyuruh Alaric untuk menyembunyikan dari publik tentang indentitasnya bahwa memiliki ibu yang memiliki cacat mental.
"Aku memang begitu bodoh, selalu tidak berdaya di hadapan Papa Edward dan keluarganya." gumamnya dalam hati.