6. Terpenuhi

1057 Kata
"Glad, kamu kenapa?" Yudha jadi curiga kalau-kalau Gladys tidak menikmatinya. "Kamu nggak nyaman atau ada yang sakit?" tanya Yudha lagi sambil merapikan anak rambut istrinya yang menutup sebagian wajahnya. "Enggak kok, lanjutin aja. Ini enak," jawab Gladys. Wajahnya mengembangkan senyum tapi Gladys tidak mampu membalas tatapan Yudha seperti biasanya. Yudha yakin, ada hal yang membuat Gladys merasa tidak nyaman sehingga Yudha bertekad untuk membuat Gladys hanya memikirkannya saja. Rasanya tidak rela, sedang bercinta begini tapi istrinya malah memandang ke arah lain. Yudha ingin diperhatikan, dipuja dan puji serta ingin mendengar suara indah memabukkan yang selalu ke luar dari bibir tipis istrinya setiap kali mereka menyatu mempertemukan kenikmatan surga dunia. "Tapi Glad, kamu beneran nggak mau malam ini?" tanya Yudha lagi karena rasanya dia masih ingin melakukannya. Gladys menatap Yudha lama, dan pada akhirnya Gladys menganggukkan kepala. Seperti janjinya tadi, dia akan tetap bersama Yudha di sini. Hidupnya itu bersama Yudha, masa depannya. Bukan Teo yang sudah menjadi masa lalunya. "Aku mau," jawabnya. "Nggak akan PHP lagi, 'kan?" Yudha memastikan dulu. Takutnya kalau semisal di tengah permainan nanti Gladys mendadak menolaknya atau memintanya berhenti. "Serius kali ini," jawabnya. Suara kekehan tawanya membuat Yudha ikut tertawa. Tanpa banyak basa-basi, Yudha langsung membalikkan posisi. Melanjutkan apa yang tadi sempat tertunda. Beginilah jadinya sekarang, mereka sudah menyatu. Perlahan tapi pasti, Yudha menarik kepala Gladys agar menatap lurus ke arahnya. Tidak butuh waktu lama, Yudha cepat-cepat menghujani kecupan mesra di wajah Gladys. Terutama di bibirnya yang selalu menggoda hasrat. "Arhk! Yud, pelan-pelan," pinta Gladys. Suaranya sedikit mengerang menahan gejolak yang dihadiahkan sang suami. Permintaan Gladys untuk memperlambat gerakan maju mundurnya sama sekali tidak diindahkan oleh Yudha. Dia tetap menghajar Gladys tanpa ampun, sampai akhirnya Yudha merasa istrinya sudah tiba di puncaknya. "Aku lemes banget," desah Gladys benar-benar seperti ikan tulang lunak. Tak ada tenaga, dan rasanya ingin pasrah saja. Menyerahkan semua sisanya kepada Yudha. "Kamu hebat, Yud," puji Gladys seraya mengacungkan jempolnya di depan wajah Yudha yang kini sudah bersemu merah mendapat pujian dari istrinya. "Kamu masih suka 'kan?" Yudha ingin memastikan kalau istrinya benar-benar nyaman dan suka melakukannya dengannya. Lagi-lagi Gladys tersenyum. "Suka dong," balas Gladys. Jawaban Gladys berhasil menumbuhkan bunga-bunga liar dalam diri Yudha. Gerakannya semakin brutal tapi tetap mengasikkan dan malah semakin memabukkan. Gladys bisa merasakannya dengan sangat jelas di setiap hentakan yang Yudha berikan. Itu artinya Gladys emang nggak punya cowok lain di hidupnya. Batin Yudha bersemangat. Malam yang panas menjadi pemanis bagi sepasang suami istri yang semalam saling marahan. Keduanya masih sama-sama terjaga. Gladys merebahkan kepalanya di atas lengan kiri Yudha sambil memeluk tubuh kekar Yudha yang polos tanpa busana. Kondisinya tidak berbeda jauh dengan Gladys sendiri, hanya bedanya Gladys menutup dadanya pakai selimut. Usapan lembut tangan Yudha di lengannya membuat Gladys tenang dan nyaman. Namun sayangnya, perkataan Yudha mengenai chat pembunuhan tadi kembali terngiang-ngiang di ujung kepalanya. "Yud, kamu pernah ngerasa bosen nggak sih sama aku?" tanya Gladys takut-takut. Kening Yudha mengerut, tatapannya terfokus pada wajah Gladys yang sedikit basah oleh keringat. Yudha sempat berpikir sejenak, lalu dia menggelengkan kepalanya mantap. "Enggak. Lagian nggak ada alasan kuat untuk aku ngerasa bosen sama kamu." Yudha yakin betul kalau selama dia menjadi suaminya Gladys, tidak pernah merasa bosan sama sekali. "Kalau kepikiran buat selingkuh atau nyari kepuasan di luar itu gimana? Pernah kepincut sama hal kayak gitu?" Gladys masih mengorek-ngorek yang Yudha rasakan sebenarnya. "Pernah," jawab Yudha membuat Gladys syok. "Kapan? Kenapa?" tanya Gladys begitu penasaran. Tangan kiri Yudha yang dijadikan bantalan oleh Gladys, sekarang sudah mendekap erat Gladys erat-erat. Bukanlah jawaban yang Gladys dapatkan, tapi malah kecupan di keningnya. "Kapan, Yud? Cerita," pinta Gladys tidak sabar. "Dulu, pas aku masih SMA. Pas kita baru awal-awal nikah. Cuma ya nggak sampai selingkuh. Tahu sendiri 'kan, kalau dulu kita nikah terpaksa. Waktu itu ya aku posisinya lagi suka sama cewek lain, tapi karena aku nggak pengen nyakitin dia dan nggak pengen merusak dia sebagai pelakor, akhirnya aku bisa nahan dan nggak pernah selingkuh sama siapa pun. Apalagi jajan, Glad, sama sekali nggak kepikiran. Aku tetep milih kamu, yang jelas-jelas boleh dan sehat. Aku juga takut kena penyakit seksual menular. Lagian punya satu juga nggak ada habisnya." Yudha sengaja menjelaskan semuanya dengan rinci. Mendengar pengakuan Yudha membuat hati Gladys berbunga-bunga. Namun Gladys tidak bisa menahan untuk tidak memukul pelan dadanya Yudha. "Masa kamu lebih kasihan ke dia yang nantinya jadi pelakor, daripada kasihan ke aku yang lagi hamil anak kamu." Satu pukulan pelan kembali mendarat ke d**a bidang milik Yudha. Perlakuan Gladys sekarang bukannya membuat Yudha kesal ataupun marah. Lelaki itu malah terkekeh sambil memiringkan badannya dan kini jdi berhadapan dengan Gladys. Tidak sampai di situ saja. Yudha juga dengan sikap gagahnya dia dekap istrinya lalu dia ciumi berulang kali. "Kayak dulu tuh kita deket aja," kata Yudha yang dibenarkan juga oleh Gladys. Dalam pelukan, Gladys bisa tersenyum. Ini yang dia inginkan sampai tua nanti. Hidup bersama dengan Yudha, tanpa ada yang merusak kebahagiaan mereka. Oke, untuk sekarang aku bakal fokus ke sekarang aja. Untuk ke depannya, aku pikirin nanti. Batin Gladys yang sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Yud, aku 'kan lebih tua dari kamu. Pernah nggak sih kamu nyesel, punya pasangan yang lebih tua dari kamu?" Kening Yudha mengerut. "Kamu kenapa sih? Pertanyaannya aneh banget, nggak biasanya nanya beginian." "Ya aku penasaran aja," jawabnya. "Kamu tinggal jawab aja, Yud." "Buat apa nyesel, kita bisa nikah juga 'kan karena kebodohanku. Daripada aku berlarut-larut sama penyesalan, mending aku mensyukuri aja apa yang udah aku miliki." Yudha yakin, ini pemikiran yang tepat untuk mencapai kebahagiaan. "Semakin kita menginginkan kebahagiaan seperti apa yang dirasakan orang lain, semakin kita sulit mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya. Karena kita terlalu sibuk mengejar kebahagiaan semu." Yudha mendekap erat istrinya, memberi tahu kalau dia bahagia memiliki Gladys. Apa yang dikatakan Yudha ada benarnya juga. Gladys juga tidak menyesal sudah menikah dengan Yudha yang notabenenya lebih muda darinya. Meski usia mereka terpaut beberapa tahun, tapi Gladys merasakan kedewasaan dalam diri Yudha. Hal yang harus dia syukuri karena kedewasaan tidak berpatokan pada umur. "Kamu tahu 'kan, kalau hasrat seksual perempuan sama laki-laki itu berbeda? Terus perempuan itu kalau semakin tua jadi semakin berkurang cairan lubricantsnya, ka-," "Kita bisa beli lubricants yang banyak nanti, biar kamu nggak perlu khawatir lagi tentang hal ini." Yudha sengaja memotong pembicaraan Gladys. Dia sudah tahu apa yang akan dikatakan istrinya. Gladys tersenyum. Hanya memikirkan dia bakal menghabiskan masa tuanya dengan Yudha saja sudah membuat Gladys senang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN