8. Pasrah pada keadaan

1148 Kata
"Apa ini?" Aku meletakan cincin yang semalam ia selipkan di tanganku ke atas meja. "Gue enggak suka dikasih cincin sama siluman!" Tidak peduli jika teman sekelasnya mendengarkan panggilan manisku itu. Arjuna menatapku lekat seolah sedang menilai hatiku. Dan percayalah, aku tidak sekuat itu. Aku mengalihkan tatapanku, "Matanya dijaga ya?" Tentu saja menyindir lelaki yang sok tampan ini. Kemudian aku segera berjalan keluar dari kelas itu. Menuju kelasku dari kelasnya. Aku harus turun dari lift. Sekolahku ini memang termasuk sekolah yang besar dan populer. Di dalam lift, aku masih membayangkan bagaimana caranya Arjuna menatapku tadi. Sangat lekat, dan membuat jantungku berdegup melebihi kapasitasnya. Menghadirkan perasaan gelisah, dan suhu tubuhku yang mendadak panas. Menghela napas dalam, dan mencoba menenangkan diri. Kala lift terbuka menghadirkan seorang lelaki yang baru hari ini aku melihatnya. Apakah dia murid baru? Lelaki itu menatapku lekat, namun dia tidak bertanya. Dan aku hanya tersenyum tipis, kemudian keluar dari lift, dan membiarkan lelaki itu memasukinya. Sepertinya ia akan naik ke kelas atas. Gedung di sekolahku berbentuk leter U. Jadi gedung besar kami mengelilingi taman yang di tengah - tengahnya ada lapangan khusus untuk upacara. Gedung paling atas adalah tempat pemarkiran mobil dan motor. Lalu barulah gedung pertama, tingkat dua, dan tiga adalah ruang belajar siswa murid Mutiara. Termasuk olahraga indoor, kantin dan toilet. Aku tidak tahu ada berapa murid Mutiara. Tapi sepertinya lebih dari seribu. "Hey kamu!" Langkahku terhenti dan menoleh pada lelaki itu, dia sepertinya tidak masuk ke dalam lift. Saat ini dia berjalan mendekat padaku. "Ada apa?" tanyaku. Dia berhenti di depanku, dan meneliti wajahku. "Nama kamu Aleta?" Aku mengangguk, "Kenapa?" Dia tidak menjawab, namun kedua matanya kembali lekat. Seolah sedang meneliti diriku. Dan tentu saja membuatku tidak nyaman. "Kalau tidak ada yang penting, gue pergi." Dia mengangguk, "Ok, next time kita bakal ketemu lagi." Apa katanya! Dia pergi begitu saja, dan apa katanya? Next time? Siapa juga yang mau bertemu dengannya? Dia membuatku takut, kelakuannya sama persis dengan si Arjuna. Suka sekali menatap si lawan bicara seolah mau menaklukannya. *** "Babe lo dari mana aja?" Rizki mendekat dan merangkulku. Saat ini kami berada di depan kelas. Sudut mataku menemukan tatapan sinis dari teman sekelasku, dia namanya Resti. Ah, aku hampir lupa. Kalau gadis itu katanya naksir Rizki, Irene yang bilang waktu itu. Merasa tidak enak, aku perlahan mendorong Rizki, "Gue ada urusan bentar." Aku berjalan mendahuluinya. "Tapi lo enggak angkat telpon gue, Babe!" Rizki mengikutiku dari belakang. "Lo tadi naik ke kelas atas, lo mau nemuin siapa?" Duh, temanku yang satu ini memang kepo. Padahal tadi aku sudah mengendap - endap. Aku menghampiri Irene, Sonia dan Hazel. Mereka memang duduk di antara bangkuku. Aku duduk bersama Rena, Irene di depanku duduk dengan Rizki. Lalu di belakangku Hazel dan Sonia. Kadang aku merasa kasihan pada Rena, karena ketika kami berlima mengobrol. Dia selalu memilih diam, aku sebenarnya ingin sekali mengajak Rena masuk ke dalam kami berlima. Tapi entah kenapa Rizki menolak itu. Dia bilang, Rizki sudah nyaman dengan kami berempat. "Babe!" Rizki mulai bawel, itu tandanya ia sedang menuntut penjelasan. Irene, Hazel dan Sonia menatap pada kami berdua. "Dia kenapa?" Tanya Hazel dengan tatapan geli. Aku menggeleng saja. "Enggak tau, gila kali," jawabku asal. Rizki berdecak dan duduk di samping Irene, "Nih, bocah! Dia naik ke kelas atas." Dia menunjuk wajahku. Hal itu refhleks membuat Irene, Hazel dan Sonia menatapku. "Lo mau ngapain?" Irene bertanya. "Lo enggak lagi nyamperin si Arjuna kan?" Sonia menyambung. "Aih, gue mulai parno. Jangan - jangan lo mulai suka sama cowok aneh itu?" Tuding Hazel, mereka ini benar-benar sedang menginterogasiku. Rizki mengacak rambutku kesal, "Denger Babe, kita enggak boleh pacaran. Sebelum selesai SMA, itu kan janji kita berlima." Tentu saja aku tidak lupa, kalau perjanjian itu dibuat oleh Rizki, Irene dan Hazel. Sedangkan Sonia dan aku tidak ikut campur. "Kita harus sukses dulu, baru punya pacar, ok." Aku hanya mengangguk mengiyakan, kala getaran di ponselku membuatku merogoh saku rok. Pesan dari nomor yang tidak aku kenal. 0899xxx Aku tunggu kamu di Rooftop Sekolah! Menatap pada kelima sahabatku, aku ingin menanyakan pada mereka. Siapa yang telah menyebarkan nomorku pada orang lain. Tapi belum saja kedua bibir ini terbuka, kembali kurasakan getaran di ponselku lagi. 0899xxx Aku tahu sendiri nomor ponselmu! Ah, ya. Aku Arjuna, si lelaki siluman! Apa ini? Dia menyindirku? Karena aku suka memanggilnya siluman? Lucu sekali dia. Kelima sahabatku sedang mengobrol seru, mereka membicarakan liburan nanti mau pergi ke Bogor, katanya. Perlahan aku bangun dan berjalan keluar, aku akan menemui si lelaki siluman itu. Sampai berada di Rooftop, aku menemukan lelaki siluman itu tengah menatap langit dengan kedua tangannya yang ia masukkan ke dalam kedua saku celananya. Aku menghela napas pelan, punggung tegap yang berbalut jas almamater itu terlihat sungguh nyaman. "Aku tahu, punggungku keren!" Dia berbalik menatapku dengan senyuman menyebalkannya. "Gue enggak mau lama-lama! Bentar lagi ada ulangan!" Terus terang saja, berada terlalu lama apa lagi saling berhadapan seperti ini, membuat kedua kakiku lemas tanpa alasan. Dia menawan sekali, sepertinya dia benar-benar siluman. Dia tersenyum, berjalan mendekat, "Pakai cincin ini!" "Enggak kamu!" Aku menolak cincin yang ia sodorkan, "Gue sama lo!" Aku menunjuk dadanya, "Enggak ada hubungan apa-apa. Dan kita juga gak sedekat itu!" Dia terdiam, kedua bibirnya terlihat tersenyum kecil. "Iya, kamu benar. Tapi Aleta, kita sudah terhubung sejak di masa lalu." Aku terkekeh, "Lo ngayal ya? Maksud lo, gue itu sudah mati di masa lalu, dan terlahir kembali. Begitu?" Dia tidak menjawab, namun tatapan cemas dan tulus itu membuatku mengartikan, bahwa jawabannya 'iya'. Ia meraih tanganku, dan meletakan cincin itu di telapak tanganku. "Tolong dipakai ya ..." "Enggak! Dan lo jangan ngayal, yang kaya gitu, tuh, cuma ada di film - film doang," Aku menjatuhkan cincin itu. Sungguh lelaki siluman ini membuatku takut, aku memutar diri, dan meninggalkannya. Kala seorang lelaki bertopeng hitam itu kini berada di depanku. Membuatku hampir berteriak karena takut. "Permaisuri ..." lelaki bertopeng itu mendekat, tapi aku mundur, berbalik dan berhadapan tepat dengan Arjuna. Dia terdiam, dengan menatapku cemas sekali. Aku bingung, karena berada di antara dua mahluk yang menyeramkan ini. Namun harapanku hanya satu, aku hanya bisa ditolong oleh lelaki yang pernah menolongku tentunya. "Arjuna ... gue ..." Dia merangkup kedua sisi wajahku, rasanya lembut sekali. Tapi sialnya jantungku seperti mau copot, degupannya parah sekali. Oh Tuhan ..., tolong. Tubuhku bergetar, dan rasanya ingin pingsan. "Kamu ikuti permintaanku, pakai cincin ini. Maka dia akan menjauhi kamu." Tidak ada pilihan, akhirnya aku menyerahkan tangan tangan kiriku, dan ia meraihnya, kemudian menyematkan cincin bermata merah sapir itu ditanganku. Aku menegang, keringatku merembes di kedua sisi pelipisku. Hanya karena tangan kami bersentuhan. Tuhan ... Dia itu kenapa? Tampan sekali. Sempurna sekali. "Jangan pernah terlepas, karena ini bisa lindungin kamu." Dia masih menggenggam tanganku, dan menatap kedua mataku lekat sekali. "Lihatlah," dia menunjuk ke arah belakangku. Membuatku mengikuti arahannya. Dia tidak ada, mahluk itu. Tapi kenapa? Belum sempat aku bertanya, aku merasakan lengan kokoh itu melingkar di kedua bahuku, "Dia tidak akan ganggu kamu lagi." Baiklah, aku sudah kehilangan napasku, sepertinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN