Seorang gadis berlari dengan pakaian kerjaan, di belakangnya ada puluhan pengawal yang mengejar.
"Tuan Putri! Tunggu! Tolong jangan keluar, di sana bahaya!"
Hanya melirik sekilas, gadis cantik memakai gaun berwarna putih dengan rambutnya yang terurai sepunggung dan sebuah mahkota di kepalanya hanya tersenyum saja.
Ia kembali berlari, dengan sedikit mengangkat gaun yang menutupi kedua kaki indahnya.
"Tuan putri!"
Kembali mereka berteriak, agar perempuan yang dimaksud itu tidak pergi keluar dari gerbang. Tapi sepertinya putri kerajaan itu memang nakal. Terlihat ia berlari bahkan sampai ke taman kerajaan bagian luar, di mana ada danau dan bunga - bunga indah di sisi - sisi danaunya.
Gadis itu tersenyum, sampai ia bertemu dengan seorang lelaki yang tengah menatap danau dan membelakanginya.
Putri Raja itu mendekat, "Hay, kamu siapa?"
Perlahan lelaki tampan dengan kedua mata gelap menawan memutar diri dengan penuh keterkejutan menatapnya, "Tuan Puteri?"
Gadis cantik itu mengerjap, "Kamu kenal aku?"
Dia menundukan wajahnya penuh hormat, "Saya Al-"
"Tuan Puteri!"
Dari belakang para pengawal itu datang, membuat apa yang akan disampaikannya terpotong. Puteri melirik sekilas pada para pengawalnya itu.
Mereka menunduk dengan penuh hormat, "Mohon segera masuk Tuan Puteri, tolong lah kami. Nanti Tuan Raja akan menghukum kami."
Mendengus kesal, Tuan Puteri cantik itu kembali menatap si lelaki tampan. "Hay kamu! Saya minta gelang kamu!"
Apa yang dikatakan Tuan Puteri cantik itu, membuat si lelaki tampan dan para pengawalnya kaget.
"Tu-Tuan Puteri ...," mereka merasa tidak enak, pada lelaki di depan sang Tuan Puteri. Namun gadis itu menarik gelang yang dipakai si lelaki.
"Aku mau gelang ini, copot!"
Lelaki itu mengerjap, "Ba-baik Tuan Puteri."
Si gadis tersenyum, "Siapa nama kamu?"
Lelaki itu menunduk, perlahan membuka gelangnya."Saya Pangeran Alkesh."
Informasi yang cukup membuat si Putri cantik itu mengerjap, "A-anda Putera Mahkota Raja Elang putih?"
Dan lelaki itu mengangguk, menyodorkan gelangnya. "Mohon diterima gelang ini,"
Si Puteri cantik, mengambil dengan ragu. "Bo-bolehkah?"
Si Pangeran tersenyum, "Boleh, Puteri. Tapi lain kali saya mohon, Tuan Puteri jangan pernah keluar dari Istana."
Puteri cantik menatap gelang ditangannya, "Tapi bagaimana kalau aku ingin bertemu dengan kamu?"
"Saya akan datang ke Istana."
Gadis juita itu tersenyum dan mengganggam gelang perak ditangannya, "Baik, aku pegang janjimu."
Pangeran tampan tersenyum dengan anggukan pelan, "Saya berjanji."
Terdiam sejenak, si gadis juita itu terlihat enggan untuk berpisah. Namun para pengawalnya sudah siap membawanya kembali ke dalam. Hingga ia pun perlahan memutar diri, setelah kembali menatap sang Pangeran tampan dengan cemas.
"Apakah kita akan bertemu lagi?"
Pangeran tampan itu mengangguk lagi, "Akan saya pastikan Tuan Puteri, saya yang akan mencarimu."
Dan atas apa yang dikatakan sang Pangeran tampan. Puteri cantik itu pun tersenyum. Kemudian berbalik dan meninggalkannya.
.
.
.
.
.
"Aleta! Yuhuuuuu!"
Aku terbangun dari mimpi aneh, tentang kisah kerajaan aneh, dan kedua sepasang manusia yang sepertinya mulai jatuh cinta sejak pandangan pertama.
Menatap pada keempat sahabatku yang saat ini berada di kamarku. Irene sedang berdandan, Hazel sedang catokan, Sonia sedang membaca buku, dan Rizki sedang memakai pomade di rambutnya.
"Kalian ngapain di sini?" Perlahan aku bangun.
Mereka menatapku sekilas, "Aduh, Babe. Ini hari minggu, kita bakal nonton dan jalan-jalan. Masa Babe gak inget?"
Rizki yang menjawab, lelaki itu menatap dirinya pada cermin, saling dorong dengan Irene yang juga sedang bercermin.
"Ikss," protes Irene, dan ditanggapi Rizki dengan mengerucutkan bibirnya.
Sonia mendengus, gadis yang selalu terlihat smart itu menutup bukunya dan berjalan mendekat padaku, "Lo cepet mandi, dan kita bakal beresin kasur lo!"
Dia memang selalu terlihat tegas, namun tentu saja dengan penuh perhatian. Aku yang selalu ngeyel pada ketiga temanku, terlihat lebih penurut jika berhadapan dengannya.
Aku mengangguk, dan berjalan ke arah kamar mandi dengan handuk yang juga sudah diambilkan Sonia, "Gue yang akan pilihin lo baju," Sonia bergegas membuka lemari.
"Dan gue yang bakal rapiin rambut lo!" Hazel menyambung.
"Untuk make up, gue dong, pastinya." Dan Irene ikut menimbrung dengan percaya diri.
Karena pekerjaan hampir semua sudah tertangani, Rizki terlihat protes. "Lah, gue ngapain?"
"Lo, beresin tuh kasur!" Jawab Irene, Sonia dan Hazel secara bersamaan. Membuatku terkekeh geli. Rizki mengerucutkan bibirnya, "Pada jahat emang!"
***
Kami berlima mulai memasuki parkiran Mal. Aku berada di tengah - tengah. Di antara Rizki dan Irene. Sedangkan Sonia dan Hazel berjalan berdua di belakang kami.
"Kalau bisa, gue pengin banget nonton AADC. Menurut gue, cuma film itu yang sampe saat ini masih gue inget," Rizki berkata.
"Elaah, itu jaman piraun. Sekarang jamannya curahan hati seorang istri." Timpal Irene.
"Ah, itu mah kesukaan lo! Gue mah anti yang namanya sinetron menye-menye kaya gitu." Sambung Sonia dari belakang.
"Dih, kemarin siapa coba, yang gue telpon, dia lagi dengerin lagunya Rossa yang hati yang tersakiti." Sindir Hazel, membuatku, Rizki dan Irene tergelak menertawakannya.
Sonia terdengar mencebik, dan sepertinya mencubit Hazel. Karena beberapa detik setelah itu aku mendengarkan jeritannya.
Aku memilih diam dan mendengarkan pembicaraan mereka. Kedua mataku meneliti ke arah Mal itu, kala melihat Arjuna dan keempat temannya berjalan ke arah kami.
Dan tepat sekali tatapan lekat Arjuna terarah padaku. Membuatku menunduk, mencari objek lain demi bisa menenangkan diri.
Berkali - kali berkilah, tetap saja jantungku berdetak tidak normal. Arjuna selalu saja sukses menghipnotisku.
"Ada apa?"
Rizki bertanya pada kelima lelaki menawan itu. Kurasa Rizki tidak menyukai cara Arjuna yang menghalangi jalan kami.
Aku ingin sekali mengangkat tatapanku, tapi nyaliku tidak seberani itu. Alhasil, berakhir di sepatunya saja.
Terdengar helaah napas Arjuna, "Ini jalan kami, silahkan lewat jalan lain!"
Maksudnya apa? Aku mengangkat tatapanku, menemukan kedua mata gelap menawan itu menghunus padaku.
"Silahkan lewat jalan lain!"
Rizki terdengar mendengus, namun dia bukanlah orang yang suka mencari masalah. Sehingga yang ia lakukan adalah menarikku dan mengajak ke sisi yang lain.
Kala Arjuna dengan pelan sekali berhasil meraih tanganku, dan menyelipkan sesuatu. Membuatku meliriknya diam-diam, dan tatapan kami berserobok beberapa saat.
Dia lebih dulu mengalihkan tatapannya, setelah senyuman misterius itu ia sunggingkan. Membuatku linglung, karena jantungku seperti akan loncat dari tempatnya.
Demi Tuhan dia tampan sekali, kedua kakiku lemas hanya karena senyuman itu.
"Aleta!" Teriak Rizki, kakiku tanpa sengaja menginjaknya. "Maaf," kataku, mengangkat sebelah kakiku yang menginjak kakinya.
Aku kembali menoleh, pada punggung lebar yang semakin menjauh itu. Kemudian berbalik dan melihat benda yang ia selipkan di tanganku.
Sebuah cin-cin bermata merah sapir. Membuatku kembali menatap punggung lebar yang kini sudah menghilang.