'Kamu mau menerima saya Naya, jika saya sudah menjadi pria baik lagi?' Naya menggeleng-gelengkan kepala bagai orang kerasukan. Kerasukan lamaran Laksa malam itu, yang mampir ribuan kali ke pikiran Naya. Sungguh tak ada bosannya. "Astagfirullah ... astagfirullah ... !!!" Menutup kedua telinga pun tak mengurangi intensitas ilusi suara yang sungguh menyiksa jantung Naya. "Kenapa kamu, Nay?" Rustini mendekat, melihat sahabatnya ini aneh beberapa hari belakangan. Ia menyodorkan teh manis dari teko jatah buruh, yang masih tersisa setengah. Rantang Naya yang biasanya sigap diisi lauk-pauk sisa buka puasa tadi pun, belum juga tersusun rapi. Rustini mengambil alih. Membantu menyusunnya. Naya masih bungkam. "Kamu sakit lagi ya? Tolong Nay, jangan sakit. Kita kelimpungan bener kalo kamu saki