Danial terduduk cemas di dekat jendela ruang tamunya. Hati lelaki itu tidak tenang karena anak keduanya tidak kunjung menampakkan diri, padahal hari sudah sore, namun Zenna tidak juga pulang kerumahnya.
“Mas lagi nungguin siapa sih?’ tanya Edera yang baru saja muncul dari arah dapur.
“Kenapa Zenna belum pulang juga ya?” tanyannya tanpa menatap Edera sedikit pun. Wajah Danial terlihat sangat cemas bahkan lelaki itu melupakan dirinya hanya mengenakan celana di atas lulut.
“Sudahlah mas, Zenna juga udah dewasa kok. Kalau waktunya pulang pasti dia pulang, memangnya dia tidak lapar, uang jajan saja tidak punya mau cari makan di mana dia? Kecuali kalau dia menjual tubuhnya …” ucapan Edera terhenti katika melihat Danial menatapnya penuh peringatan.
“Jaga bicara kamu Edera!” sentak Danial tajam. “Zenna tidak akan pernah seperti itu, meskipun anaknya tertutup, tapi aku yakin dia gadis baik-baik!”
Edera menghela napasnya kasar. “Terserah mas aja deh. Aku capek ngurusin dia!” Edera melenggang pergi meninggalkan Denial yang masih terduduk di sana.
“Kemana kamu sayang.” Danial menggigit bibirnya cemas. Meskipun Danila terlihat cuek saja dengan Zenna, ketahilah lelaki itu sangat menyayangi gadis itu dengan caranya sendiri.
Sementara itu di dalam kamar Lovinta, gadis itu juga menatap jendelannya dengan perasaan gelisah. Adiknya Zenna belum juga kembali, tidak seperti biasanya Zenna pulang selarut ini. Berkali-kali Lovinta menatap jam yang tertempel di dinding kamarnya. Menghitung setiap detik dan menit yang berlalu. Namun, adiknya yang ditunggu-tunggu tidak juga kembali.
“Kamu lagi ngapain, sayang?” tanya Edera yang melangkah masuk ke dalam kamar sang putri. Wajah wanita itu tersenyum cerah tidak seperti saat di ruang tamu tadi.
“Mah, Zenna kok belum pulang ya?” tanya Lovinta yang masih menatap cemas ke arah jendelanya yang mengarah lansung pada jalan.
Edera berdecak kesal. “Kenapa kamu nanyain Zenna sih? Nggak ada bedanya sama papa kamu,” omel Edera kesal. “Nanti kalo dia lapar pasti pulang kok.”
“Mah, tapi ini udah sore banget dan Zenna nggak pernah seperti ini sebelumnya. Apa mama nggak khawatir?” Lovinta menatap sang mama yang juga menatapnya.
“Nggak lah, buat apa mama khawatir. Anak durhaka seperti dia tidak pantas untuk dikhawatirkan. Bagus kalau dia nggak ada di rumah ini, berarti pengeluaran untuk membeli beras berkurang,” jawab Edera nampak acuh.
“Mah, Zenna juga anak mama. Kenapa mama begitu membedakan? Mah, ingat, Zenna juga terlahir dari rahim mama!” Lovinta berbicara tegas, pertama kalinya gadis itu berbicara sebegitu tegasnya kepada Edera.
“Kamu diracunin apa aja sama anak itu? sekarang kamu semakin berani menceramahi mama kamu sendiri ya?” sindir Edera tajam.
Lovinta tidak pernah membantah ucapan Edera sebelumya, gadis itu sangat penurut dan mania. Namun, entah mengapa beberapa hari ini sikapnya ada yang berubah menjadi lebih pembangkang dan susah sekali untuk diatur dan itu membuat Edera tidak suka.
“Istirahat, sayang. Jangan pedulikan adikmu itu, jika waktunya sudah pulang maka dia akan pulang dengan sendirinya!” lagi-lagi edera bersuara tegas.
Mendengar nada Edera yang meninggi membuat Lovinta tidak suka. “Apa salahnya jika aku menghawatirkan adukku sendiri mah?” tanya Lovinta yang semakin meninggikan suaranya pula.
“Sudahlah, mama tidak ingin bertengkar dengan kamu. Sebaiknya kamu istirahat, pikirkan kesehatan kamu, jangan sampai kondisi kamu drop lagi.” Edera langsung melenggang pergi meninggaklan kamar Lovinta.
Lovinta menghela napasnya pelan ketika punggung sang mama sudah mulai menjauh dari kamarnya. Rasa khawatir itu kembali muncul ketika gadis itu kembali melihat pada jendela kamarnya.
***
“HEI, KENAPA KALIAN BERBUAT TIDAK SENONOH DI GUDANG!”
Teriakan satpam itu mampu membuat Zenna terperanjat kaget dari tempatnya duduk. Tubuh gadis itu semakin gemetar ketika satpam itu semakin mendekat kearahnya.
“Jangan takut, ada kakak di sini,” ucap Nean semakin mendekap tubuh mungil Zenna. Ketika melihatnya pertama kali di gudang itu, Nean begitu prihatin ketika melihat Zenna terduduk tidak berdaya di atas lantai berdebu itu.
“Zenna takut kak.” Isakan kecil mulai lolos dari bibir mungil Zenna dengan tubuh yang semakin bergetar karena takut.
Saat Nean tangah mencari Zenna, entah mengapa di koridor yang mengarah ke gudang menyita segala perhatiannya. Lalu kakinya mulai melangkah mendekati pintu usang yang terbungkus oleh debu itu, sesekali pendengarannya menagkap suara isak tangis dari dalam sana.
“Apa ada orang?” tanyanya ketika sudah berada di depan pintu itu.
Isakan itu masih saja terdengar, bahkan semakin jelas di telinga Nean.
“Apakah ada orang di dalam. Zenna, ini kak Nean. Apa kamu di dalam?” tanya Nean lagi dengan suara yang lebih keras kali ini.
Namun, tidak kunjung mendapat jawaban dari dalam, Nean langung mengambil tindakan untuk mendobrak pintu usang berdebu itu, tidak membutuhkan tenaga lebih ahirnya pintu itu terkoyak dan tergeletak mengenaskan di lantai berdebu itu.
“Zenna!” Nean langsung berlari menuju Zenna yang tengah meringkuk di pojok ruangan dengan tubuh yang mengenaskan.
“Kak Nean.” Suara Zenna begitu lemah dan lirih, namun Nean masih bisa mendengarnya.
“Iya, ini kakak.”
Zenna langung merengkuh tubuh Nean dengan erat. “Zenna takut di sini kak,” cicitnya pelan.
Nean mengusap punggung Kinan yang semakin bergetar. “Tenanglah, ada kakak di sini.”
Nean sangat sedih ketika melihat tubuh gadisnya yang terlihat begitu rapuh. Senyum hangat yang selalu dipancarkan kali ini meredup, bagai lilin yang ditaruh di atas papan kayu yang tertiup angin dengan kencang.
“Zenna sangat takut di sini. Di sini sangat gelap, berdebu dan lembab. Banyak serangga yang menjijikan mencoba mendekati Zenna,” ucapnya lagi dengan suara lirih, namun Nean masih bisa mendengarnya.
Begitulah awal Nean menemukan Zenna di dalam gudang yang berdebu dan lembab itu. Nean tidak habis pikir dengan orang yang tega mengunci Zenna di dalam sana. Namun, saat Nean menannyakan siapa pelakunya Zenna masih enggan untuk menjawabnya.
***
Kini keduanya tengah berada di ruang kepala sekolah untuk memberikan klarifikasi mengapa keduanya bisa berada di gudang dengan keadaan berpelukan, ketika ditemukan oleh satpam.
“Saya sangat kecewa dengan anda, pak Nean,” ucap Pak Handoko raut wajahnya terlihat marah. “Dan kamu Zenna, saya melihat kamu sebagai siswi baik-baik, tapi mengapa kamu melakukan hal di luar dugaan saya?” lanjutnya.
“Maaf pak Handoko, kenapa bapak bisa menyimpulkan bahwa kami berdua memang melakukan hal tidak senonoh di gudang itu? tidakkah bapak lihat bagaimana kondisi Zenna saat ini?” tanya Nean mulai memberanikan diri.
“Zenna dijebak pak, dia dikuci di dalam gudang itu,” sambung Nean.
Handoko menghela napasnya pelan. “Tapi tetap saja saya akan melaporkan hal ini kepada ke dua orang tua kamu, Zenna.”
Mendengat kata ‘orang tua’ yang keluar dari bibir Handoko, Zenna langung mendongak dan memberikan tatapan memohon.
“Pak, saya mohon jangan laporkan masalah ini kepada orang tua saya. Saya berani bersumpah jika saya tidak melakukan hal ‘itu’ sama pak Nean.”
“Keputusan ada di tangan saya. Silahkan kalian keluar dari ruangan saya.”
Zenna sunggu sedih dengan keputusan dari Handoko. Zenna sudah tidak tahu lagi harus bagaimana dengan nasip kedepannya. Pastilah mama dan papanya akan sangat marah sekali dengan masalah ini. Meskipun, Zenna tidak melakukan hal yang hina, namun tetap saja ke dua orang tuanya itu tidak akan bisa menerima alasannya.
“Zenna, maafkan saya. Saya membawa kamu dalam masalah berat seperti ini,” ucap Nean sorot matanya begitu lembut.
“Pak Nean nggak salah, Zenna mau berterima kasih banyak karena pak Nean sudah menolong Zenna di gudang itu.”
“Siapa yang berani mengurung kamu di sana?” tanya Nean kali ini semakin mendesak.
Zenna menggeleng pelan. “Biar Zenna dan Allah saja yang tahu.”
Lagi-lagi Nean hanya bisa menghela napasnya pelan. “Baiklah, jika kamu belum bisa bercerita, maka saya juga tidak akan memaksakan. Sekarang saya antar kamu pulang ya.”
Zenna kembali menggelang. “Tidak usah pak, jika bapak mengantar saya maka orang tua saya akan semakin berpikiran buruk tentang saaya,” jelas Zenna nadanya begitu lemah.
“Ini sudah sangat sore untuk mencari angkutan umum, Zenna. Saya antar kamu pulang, sampai di depan gang saja.”
Zenna sangat jelas melihat kilatan keseriusan dari wajah Nean, lalu setelah berpikir cukup lama akhirnya Zenna mengangguk.