Zenna terlihat tengah bersenandung kecil sembari mengemasi buku-bukunya ke dalam tas sekolahnya. Di usianya yang ke 17 tahun gadis itu menduduki kelas 3 SMA semester akhir, beberapa minggu ini Zenna disibukkan dengan berbagai les yang diadakan sekolahnya guna mematangkan materi untuk menjemput ujian nasional nanti. Ketukan pintu kamarnya membuat kegiatan Zenna terhenti.
“Belum tidur?” tanya Danial menghampiri Zenna lalu duduk di samping gadis itu.
“Belum,” jawab Zenna sekenannya, lalu gadis itu kembali melanjutkan kegiatannya.
Danial memegang ke dua tangan Zenna, mengisyaratkan agar gadis itu untuk berhenti sejenak. Zenna paham, gadis itu mengehla napasnya pelan lalu meletakkan tasnya di atas meja belajarnya kemudian ikut duduk bersila di atas kasur miliknya bersama sang papa.
“Ada apa?” tanya Zenna secara terang-terangan.
“Kakak kamu kondisinya masih kurang stabil papa minta tolong sama kamu …” Danial menggantungkan suaranya ketika melihat tangan Zenna terangtat.
“Papa tidak usah khawatir, hadirnya Zenna di sini karena aku diciptakan untuk membantu hidup kakak,” jawab Zenna tenang, namun mampu membuat hati Danial berdesir.
Danial terdiam mencoba mencerna ucapan yang baru saja Zenna lontarkan. Zenna menatap datar Danial, lelaki itu masih menunduk.
“Papa harap kamu tahu apa keinginan mama dan papa, sebenarnya …” Danial kembali menggantungkan ucapannya, lagi-lagi Zenna mengangkat tangan kanannya.
“Hanya memanfaatkan sumsum tulang belakang dan darah Zenna ‘kan?” tanya Zenna yang masih terus menatap Danial dalam. Diamnya Danial membuat Zenna tersenyum miris, dugaan Zenna selama ini tidak lah salah.
“Papa silahkan keluar dari kamar Zenna, karena esok hari Zenna akan mengalami hari yang panjang. Sebenarnya sama seperti hari-hari sebelumnya, penuh kesakitan dan diabaikan. Tapi tenang, Zenna tidak akan mengungkit itu semua.”
Ucapan Zenna mampu membuat Danial bungkam. Setelah melihat Zenna terbaring dan memastikan putrinya itu aman, barulah Danial keluar dari kamar Zenna dan tidak lupa mematikan lampu dan hanya menyisakan lampu tidur.
Ketika Danial benar-benar keluar dari kamar Zenna, barulah gadis itu menumpahkan segala rasa sesak di dadanya. Gadis itu menangis seorang diri, isaknya terdengar memilukan dan mampu menyayat hati. Takdir membuat Zenna paham akan keadilan, semua manusia yang tercipta dan dilahirkan seharusnya mendapat kasih sayang dan tempat ternyaman di rumahnya sendiri, namun tidak untuk Zenna. Bahkan gadis itu sudah merasakan ketidak adilan sejak dirinya kecil.
Zenna kembali menutup matanya mencoba menghalau rasa sakit di hatinya, perlahan kesasadarannya pun hilang dan mulai tenggelam dalam mimpi yang indah.
Pagi harinya, seperti biasa Zenna sebelum pergi ke sekolah pasti gadis itu menyempatkan untuk sarapan pagi, selain menambah stamina dan konsentrasi dalam belajar, sarapan pagi juga mampu membantu penghematan uang jajan.
Suasana di meja makan nampaknya tidak akan pernah berubah, mama dan papanya asyik membicarakan Lovinta tanpa mempedulikan Zenna yang berada di tempat, menganggap Zenna seolah hanyalah angin lalu.
Lagi-lagi Zenna pergi dengan hati yang sakit, bahkan gadis itu lebih memilih menaiki angutan umum dari pada harus ikut satu mobil bersama dengan papanya. Kaki Zenna sudah kesemutan menunggu angkot yang tak kunjung datang, sesekali Zenna melirik jam tangannya guna memastikan bahwa jam masuk sekolah masih lama dan Zenna masih bisa mengejarnya. Zenna melambaikan tangan ketika mobil yang ditunggunya sedari tadi sudah nampak tak jauh di depan mata. Mobil itu berhenti tepat di depannya, tanpa menunggu lama lagi Zenna masuk ke dalam.
Zenna bernapas lega ketika menatap gerbang yang berada di depannya, untunglah Zenna sampai di sekolah sepuluh menit sebelum bell berbunyi.
“Selamat pagi pak,” sapa Zenna pada satpam penjaga sekolah.
“Pagi neng, kesiangan ya neng?” tanya satpam itu.
Zenna hanya tersenyum lalu mengangguk menyetujui pertanyaan satpam itu. Zenna berjalan di koridor sekolah yang sudah nampak ramai, Zenna menundukkan kepalanya karena malu, banyak karena pasang mata yang menatapnya.
Zenna duduk di bangkunya yang terletak paling pojok belakang, sembari menghilangkan kejenuhan Zenna membuka buku mata pelajaran hari ini untuk sekedar membacanya agar tidak lupa. Tiba-tiba bahunya ditepuk oleh seseorang dari samping.
“Clara.” Zenna menatap teman sebangkunya itu dengan kesal. “Aku kaget tau,” sambung Zenna dengan nada kesal.
Clara hanya meringis menampilkan gigi putihnya. “Maaf Zenna, lagian kamu serius banget, emangnya lagi baca apa sih?” tanya Clara sembari mengintip buku yang Zenna pegang.
“Lagi baca ulang mata pelajaran aja,” jawab Zenna.
Clara mengangguk-anggukan kepalanya paham. “Eh, tau nggak sih ada guru olah raga baru loh,” ucap Clara begitu antusias. “Ganteng lagi,” sambung gadis itu.
Zenna yang mendengar betapa antusiasnya teman sebangkunya itu hanya memincingkan sebelah alisnya. “Semua guru olah raga yang mengejar di sini pun kamu bilang ganteng,” ucap Zenna cuek.
Clara memanyunkan bibirnya, “Memang itu faktanya kok,” ucap Clara tidak terima.
Zenna hanya menganggukkan kepalanya tanpa berniat ingin mengomentari ucapan Clara. Bell masuk sudah berbunyi, seluruh siswa siswi berhamburan masuk ke dalam kelas. Zenna mengikuti pelajaran dengan baik, bahkan nilai gadis itu paling tinggi di mata pelajaran pagi ini.
“Zenna, tolong bantu ibu membawa buku teman-temanmu ke kantor,” ucap Fatma, guru sekaligus wali kelas Zenna.
“Baik bu.” Zenna mengangguk lalu bangkit dari duduknya menuju meja guru yang berada di depan, Zenna membawa buku tugas teman-temannya ke kantor dan di letakkan di meja Fatma.
“Terima kasih, Zenna,” ucap Fatma dengan senyum manisnya.
“Sama-sama bu, kalau begitu saya pamit masuk ke kelas lagi.” Sebelum pergi, Zenna mencium tangan Fatma terlebih dahulu.
Saat Zenna tengah berjalan di koridor menuju kelasnya tak sengaja gadis itu menabrak tubuh seseorang hingga membuat tubuh kecilnya limbung ke belakang.
“Maaf,” ucap seseraqng itu sembari membantu Zenna bangun.
“Tidak pa-pa, saya yang salah jalan tidak lihat-lihat,” ucap Zenna.
Mata keduanya saling bertemu, namun buru-buru Zenna membuang pandangannya kea rah lain.
“Maafkan saya pak,” ucap Zenna lagi. “Saya pamit masuk ke dalam kelas,” sambung Zenna, tanpa menunggu jawaban Zenna langsung melenggang pergi dengan berlari kecil.
Zenna mengatur napasnya ketika sudah berada di depan pintu kelasnya, napasnya terengah akibat berlari. Setelah dirasa napasnya teratur, Zenna mulai masuk kedalam kelas dan ternyata kelasnya tidak ada guru yang mengajar.
“Zen, abis dari mana aja sih? Lama banget,” omel Clara, wajahnya nampak kesal.
“Maaf, tadi bu Fatma nyuruh aku yang lain,” kilah Zenna, Zenna tidak mungkin bercerita mengenai insiden tadi.
“Zen.” Clara mengguncang bahu Zenna hingga membuat gadis itu terperanjat kaget.
“Kenapa lagi? Kamu bikin aku senam jantung.”
“Abisnya kamu neglamun terus, neglamunin apa sih?” tanya Clara meletakkan buku yang baru dibacanya tadi.
“Nggak adfa,” jawab Zenna, namun tidak membuat Clara puas, temannya itu masih saja melayangkan tatapan penuh selidik.
“Beneran?” tanya Clara.
“Iya Clar, emangnya kamu pengen jawaban apa?” tanya Zenna memutar bola matanya malas.
“Ok deh aku percaya.”
Zenna membuang napasnya lega, tidak mudah untuk membohoingi seorang Clara, gadis itu memang pandai mendeteksi kebohongan, maka dari itu Zenna harus menjadi orang pandai ketika berbohong kepada Clara.
Bell pulang terlah berbunyi, seluruh siswa siswi berhamburan keluar dari kelasnya, begitu pun dengan Zenna dan Clara ke dua gadia itu akan berpisah di gerbang sekolah karena rumah Zenna dan Clara berbeda arah. Zenna nampak tengah menunggu angkutan umun, tak sengaja mata gadis itu menangkan siluit sesosok lelaki yang dirinya tabrak di koridor tadi, Zinan langsung berlari menjauh menuju angkutan umun uang sudah berhenti di depannya. Sebisa mungkin Zenna harus menjauh dari jangkauan lelaki itu.