Zenna baru saja sampai di rumahnya dengan keadaan yang lesu. Gadis itu mendudukan dirinya di teras depan rumah untuk menghilangkan penatnya. Zenna melepas tas ranselnya lalu metekkannya asal di samping dirinya duduk. Zenna menatap di dalam rumahnya sekilas, lalu setelah dirasa mamanya tidak ada di rumah, barulah Zenna masuk ke dalam.
“Udah pulang?”
Suara itu mampu mengehentikan langkah Zenna, tanpa berniat untuk menatap, Zenna langsung menjawab. “Sudah.”
“Seperti itu bicaranya seorang anak kepada mamanya sendiri?” tanya Erdera, wanita itu selalu naik pitam jika menghadapi sikap Zenna yang selalu semena-mena kepadanya.
Zenna tersenyum sinis, “Ajaran yang kudapat memang seperti itu.” Lalu Zenna melenggang pergi naik ke atas tangga menuju kamarnya.
“Kurang ajar!” Edera mengeram kesal, wanita itu meremas jemarinya sendiri untuk menghilangkan amarah yang hampir saja meledak.
Sementara itu di kamar Zenna, gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kasur kecil miliknya. Perlahan tangannya merambat ke punggung seolah tengah mencari sesuatu di sana. Zenna memijit pelan punggungnya untuk menghilangkan rasa nyeri yang sedari tadi melanda. Zenna menghela napasnya pelan ketika mengingat bahwa punggungnya pernah dimasuki oleh benda asing dan mengambil sesuatu dari dalamnya.
“Zenna.”
Zenna membuka kelopak matanya ketika mendengar ada suara yang memanggilnya. Sebelum Zenna beranjak dari kasur, gadis itu menghela napasnya pelan.
“Siapa?” tanya Zenna, gadis itu terduduk di atas kasurnya dengan malas.
“Ini kakak,” jawab Lovinta yang berada di luar.
Mau tak mau Zenna harus membukakan pintu untuk sang kakak. “Masuk kak,” ucap Zenna dengan senyum yang dipaksakan.
Lovinta membalas senyum Zenna lalu ikut masuk ke dalam kamar adiknya. Zenna duduk di kursi belajarnya sedangkan Lovinta duduk bersila di atas kasur Zenna. Lovinta menatap Zenna penuh tanda tanya ketika melihat wajah adiknya itu tengah murung.
“Kamu kenapa Zenna?” tanya Lovinta dengan tatapan penuh selidik.
Zenna menatap Lovinta dengan senyuman, “Zenna nggak pa-pa kok kak, kakak tenang aja.”
Lovinta masih tidak percaya, di balik kata ‘tidak pa-pa’ yang diucapkan Zenna tadi, menandakan bahwa gadis itu tengah menyimpan sebuah rahasia.
“Zenna, kamu tidak bisa berbohong sama kakak, ayo ceritakan ada apa sebenarnya?” tanya Lovinta semakin mendesak.
Zenna membuang napasnya kasar, “Lagi banyak tugas kak, sebentar lagi Zenna akan ujian,” kilah Zenna.
Zenna sedang tidak memikirkan tugas yang menumpuk itu, namun ada satu hal yang membuat otaknya harus bekerja dengan keras, apa lagi kalau bukan masalah mamanya. Bukan hanya ucapannya beberapa waktu yang lalu, namun ucapan-ucapan Edera yang begitu menusuk hati setiap harinya, hingga gadis itu sudah tidak tahu caranya bersikap sopan kepada mamanya sendiri. Bukan salah Zenna tidak menghormati orang tuanya sendiri, melainkan salah orang tuanya sendiri yang mendidik Zenna karena tidak pernah mengenalkannya apa itu arti menghormati orang tua.
“Zenna.” Lovinta memegang ke dua pundak adiknya lalu mengguncangnya pelan agar Zenna tersadar dari lamunannya. “Seberat itukah tugas yang kamu dapat dari sekolah?” tanya Lovinta, tatapannya sudah tidak menyelidik, berganti menjadi tatapan sendu.
Zenna terkekeh, “Sebenarnya tidak kak, hanya saja Zenna yang menanggapinya terlalu serius.” Lagi-lagi Zenna berbohong.
Lovinta beranjak dari kasur, lalu gadis itu menghampiri sang adik yang duduk di sebrangnya. Lovinta memeluk Zenna penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Zenna memejamkan matanya menghayati segala kehangatan yang Lovinta berikan.
“Kakak yakin kamu pasti bisa.” Lovinta mengurai pelukannya tangannya menangkup ke dua pipi Zenna dengan lembut. “Adik kakak yang satu ini tidak pernah mengecewakan kakaknya,” sambung Lovinta.
Zenna tersenyum senang, binar kebahagiaan terpancar di sana. Inilah yang membuat Zenna sangat sayang kepada kakaknya dan merelakan apa saja demi kesembuhannya, karena Lovinta begitu menyayanginya dengan setulus hati, Lovintalah yang mengajarkan Zenna agar mencintai sesama manusia dan Lovintalah yang mengajarkan apa itu arti cinta dan kebahagiaan yang sesungguhnya.
“Zenna tidak akan pernah mengecewakan kakak,” ucap Zenna penuh dengan keyakinan dan terdapat janji di dalamnya.
Lovinta tersenyum, lalu mendaratkan satu kecupan sayang di dahi adiknya. Lagi-lagi mata Zenna terpejam mencoba menghalau air mata yang sebentar lagi akan mengalir deras. Zenna tidak ingin itu terjadi, karena kalau itu terjadi Lovinta pasti akan khawatir dan mengetahui yang sebenarnya yang Zenna rasakan selama ini.
Lovinta menjauhkan tubuhnya. “Kamu istirahat ya, maaf kakak menganggu istirahatmu,” ujar Lovinta. Sebelum pergi meninggalkan Zenna, gadis itu menepuk pundak adinya lembut.
Zenna mengangguk, lalu bangkit dari duduknya mengantarkan sang kakak keluar dari kamarnya. Setelah Lovinta keluar dari kamarnya, Zenna kembali menutup pintunya dan menguncinya dengan rapat.
Zenna kembali berjalan ke arah kasurnya, merebahkan tubuhnya mencoba memejamkan matanya, namun Zenna tidak bisa terlelap entah mengapa bayangan kesakitan itu datang secara tiba-tiba. Air matanya mengalir deras tanpa permisi, Zenna yang malang butuh keadilan di keluarganya sendiri, menginginkan kasih sayang yang setara seperti anak seusianya, Zenna juga menginginkan pelukan dari seorang mama dan papa yang begitu menghangatkan jiwa, raga, dan hatinya, dan Zenna juga ingin merasakan kecupan manis di pipi setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Namun, tidak ada yang bisa Zenna lakukan selain pasrah untuk saat ini.
Akibat terlalu lama menangis, Zenna akhirnya memejamkan matanya dengan keadaan sembab, bahkan dalam tidurnya pun napasnya tersenggal terdengar memilukan.
Jam di dinding menunjukan pukul 4.00 WIB, Zenna sudah bangun dari tidurnya sejak 5 menit yang lalu, namun gadis itu enggan untuk beranjak dari kasurnya. Hingga suara ketukan pintu membuatnya harus beranjak. Zenna menatap seseorang yang mengetuk pintunya dengan malas.
“Kenapa ma?” tanya Zenna lirih, jujur saja Zenna sangat tidak ingin bertemu dengan mmanya saat ini.
“Turun, bantuin mama masak,” ucap Edera lalu melenggang pergi meninggalkan Zenna.
Zenna menghembuskan napasnya kasar, lalu mengikuti langkah Edera dari belakang. Keduanya menuruni tangga lalu menuju ke dapur. Di sana sudah terdapat Lovinta tengah mengupas bawang merah.
“Hai, kak,” sapa Zenna sembari melambaikan tangannya dan tersenyum manis kearah Lovinta.
Lovinta hanya membalas dengan senyuman, lalu menepuk bangku yang berada di sebelahnya mengisyaratkan untuk Zenna mendudukinya. Zenna pun menurut, lalu duduk di sebelah kakaknya di mana bangku yang ditepuknya tadi.
Zenna memilih untuk memotong sayuran, bibirnya tidak henti bersenandung kecil untuk menghibur dirinya sendiri.
Lovinta menatap adiknya itu dengan kekehan kecil, “Kayaknya asyik banget sih, lagi bahagia ya?” tanya Lovinta terdapat unsur godaan di dalamnya.
Sebelum menjawab Zenna menatap Edera yang juga menatapnya dengan tajam. Zenna langsung mengalihkan tatapannya tanpa mempedulikan mata Edera yang menatapnya sengit.
“Tentu kak, karena aku selalu bahagia,” ucap Zenna yakin. Meskipun, di dalam hatinya mencemooh dirinya sendiri. Bagaimana Zenna bisa bahagia jika keluarganya saja tidak mendung harapannya itu.
Edera mengalihkan tatapannya setelah sempat melihat Zenna berucap menohok seperti itu. Edera tentu sadar jika ucapan itu untuk dirinya. Namun, wanita itu tidak mengambil pusing ucapan Zenna. Toh juga tidak ada untungnya memikirkan ucapan Zenna.
Zenna kembali fokus pada sayuran yang dipotongnya, setelah selesai Zenna melangkah menuju wastafel guna mencuci semua sayuran yang sudah berbentuk kecil-kecil itu.
Posisi Zenna dan Edera saling berdampingan, namun keduanya saling diam seolah tidak mengenal satu sama lain. Zenna hanya acuh dan memilih untuk kembali duduk di bangku setelah dirasa sayurannya itu bersih.