Bab 9 : Kamar Terpisah

1132 Kata
Istri Gaib Bab 9 : Kamar Terpisah Nindi tak mau berdebat, jadi ia menurut saja walau terasa ada yang mengganjal di hati. Dengan masih berusaha tersenyum, ia menghampiri Haikal yang kini membukakan pintu kamar untuknya. “Kamu istirahatlah, Abang masih mau nonton televisi,” ujar Haikal sambil berlalu dari kamar Nindi. Nindi mengangguk, lalu menutup pintu kamar. Diletakkannya tas yang hanya berisi baju tidur, handuk dan mukena. Setelah itu meraih handuk dan mandi, tak lama lagi sudah masuk waktu magrib. Ia akan melaksanakan sholat. Azan magrib sudah terdengar berkumandang, Nindi sudah bersiap memakain mukena. Ia melangkah keluar dari kamar dan bermaksud untuk mengajak sang suami sholat berjamaah. “Bang, Abang di dalam?” Nindi mengetuk pintu kamar yang tadi diakui Haikal sebagai kamarnya itu. “Bang!” panggil Nindi lagi. Haikal melangkah menuju pintu lalu membukanya. Tampaklah seorang wanita berwajah manis dengan mukenanya. “Bang, mau sholat berjamaah?” tanya Nindi dengan sambil tersenyum. Haikal menggaruk kepalanya, ia jadi gugup, sudah lama ia tak pernah melakukan ibadah wajib itu. Lebih tepatnya pasca patah hati ditinggal Ella nikah, ia semakin malas sholat hingga pada akhirnya vakum sekalian. “Bang, ayo!” Nindi membuyarkan lamunan Haikal. “Eh, Nindi duluan aja sholatnya! Abang belum mandi,” jawab Haikal berusaha memberikan alasan penolakan. “Nindi tungguin, Bang!” Sang istri terlihat memaksa. “Abang lama mandinya, kamu duluan saja. Gak baik menunda waktu sholat.” Haikal masih berusaha menolak secara halus. “Ya sudah kalau gitu,” jawab Nindi lalu membalikkan tubuh dan kembali ke kamarnya. ******* Setelah selesai sholat, Nindi beranjak ke dapur dan membuka kulkas, mencari sesuatu yang dapat untuk dimasak. “Nindi!” Haikal menghampirinya ke dapur. “Ya, Bang.” Nindi sedikit terkejut dan langsung menoleh ke arah suara, segera ia tutup kembali kulkas yang kosong itu. “Ayo, katanya mau ke rumah mamamu?” ajak Haikal. “Iya, Bang. Kulkas juga kosong, Bang, kita belanja sekalian ya!” ujar Nindi lagi sambil menggandeng lengan sang suami. Haikal sedikit terkejut dan tak enak untuk menyingkirkan tangan Nindi yang menggandeng lengannya. Ia berharap, Maura tak melihat hal ini, ia tak mau wanitanya itu terluka karena cemburu. Mereka melangkah keluar dari rumah dan Haikal menyuruh Nindi untuk menunggu di depan rumahnya, sedang ia akan ke rumah sang ibu dan meminjam mobil abang iparnya sesuai titah Bu Ida tadi sore. ****** Sesuai yang telah keduanya sepakati, setelah dari rumah mama Nindi dan mengambil koper pakaian, mereka mampir di Supermarket guna berbelanja segala keperluan. Haikal mendorong troli belanjaan, sedang Nindi berjalan di sampingnya. Ia berusaha santai dan menutupi kegelisahannya, namun pikirannya hanya tertuju kepada Maura. Hatinya begitu bimbang dan tak bisa tenang. Setelah membayar di kasir, ia bernapas lega dan berharap semuanya akan cepat selesai. Saat ini, ia hanya ingin pulang secepatnya, menemui sang istri pertama yang sekarang pasti sedang menunggunya. Haikal segera memasukkan belanjaan ke mobil dan membukakan pintu mobil untuk Nindi. “Bang, kita mampir makan di warung tenda itu, yuk! Bebek bakarnya enak loh, laper nih.” Nindi menunjuk warung lamongan yang berada di ujung jalan. Haikal melirik jam di pergelangan tangannya, saat ini sudah pukul 21.00. Akan tetapi, ia juga lapar dan kasihan juga dengan Nindi, mereka hanya makan tadi siang saja. “Oke,” jawabnya pelan sembari membelokkan mobilnya ke warung itu. Nindi merasa, suasana semakin mencair antara dirinya dan sang suami. Ia mulai berpikir, semua harus ia yang mendahului jika ingin cepat akrab. Kedua pengantin baru itu duduk di bangku paling belakang lalu memesan dua bebek bakar. Sambil menunggu, Nindi berusaha mengajak Haikal untuk mengobrol, tapi tanggapan pria yang sedang galau itu hanya menjawab dengan kata ‘iya-iya’ saja. Beberapa saat kemudian, keduanya mulai menikmati makanan yang sudah mereka pesan. Dengan tak berselera, Haikal mempercepat makannya. Di pikiran pria petugas damkar itu, hanya tetap ada Maura seoarang. Ia berharap, setelah ini Nindi tak mengajaknya untuk mampir ke mana-mana lagi. Ia ingin cepat kembali ke rumah. ******* Satu jam kemudian, barulah Haikal dan Nindi tiba di rumah. Jam sudah menunjukkan pukul 22.20. Secara bersama-sama, mereka membawa belanjaan menuju dapur. Setelah itu membawakan koper sang istri ke kamar. “Bang, kita bakal tidur di kamar yang terpisah?” tanya Nindi dengan memberanikan diri saat melihat sang suami hendak menuju kamarnya. Haikal membalikkan tubuh dan menggaruk kepala bingung. Kini ia makin dilema, dan bingung harus mengatakan apa dengan keanehan gaya rumah tangga mereka ini. Ia sadar, di mana-mana, suami istri tidurnya ya satu kamar, gak beda kamar seperti yang akan diberlakukannya sekarang. “Eh, bukannya begitu, Nin ... hmmm ini bukan kamar, hanya ruang kerja saja. Aku ... akan tidur bersamamu ... di kamar yang itu, tapi ... aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu,” jawab Haikal dengan gugup. “Kamu ... beres-beres pakaian saja dulu, masukin lemari!” sambungnya sambil menyeka keringat dingin. “Oh, begitu. Ya sudah, selesaikanlah pekerjaan Abang. Nindi tunggu di kamar, ya!” Nindi tersenyum lalu membiarkan Haikal masuk ke ruangan yang kini diakuinya sebagai ruangan kerja. Nindi menghela napas, lalu masuk ke kamarnya dan melakukan sesuai perintah Haikal yaitu memindahkan pakaiannya dari dalam koper ke dalam lemari. ******* Haikal tiba di kamar, dan bernapas lega. Akan tetapi, Maura belum menampakkan diri juga. Haikal meraih ponsel dan berusaha menghubungi istri pertamanya itu tapi ponselnya malah tak aktif. Dengan bingung, Haikal beranjak menuju lemari lalu berganti pakaian. Tiba-tiba, ada sesuatu yang jatuh diantara pakaiannya yaitu sebuh ponsel yang sengaja ia belikan untuk Maura agar saat sang istri pergi, ia bisa meneleponnya. “Maura, kamu di mana? Marahkah kamu saat ini? Aku menikahi Nindi juga karena permintaanmu, tapi mengapa kini kamu malah menghilang begini?” Haikal mengusap wajahnya dengan kesal. Ia begitu mencintai Maura, lebih dari apa pun, ia tak sanggup jika harus tanpanya. Tiba-tiba, sepasang tangan memeluk tubuh sixpack itu dari belakang. Haikal langsung tersenyum dan membalikkan tubuh. “Sayang!” serunya kala mendapati wanita berambut merah itu sudah berdiri di hadapannya. “Kamu ke mana saja?” Haikal langsung memeluk tubuh ramping bak artis Korea personil Blackpink itu. Dengan penuh kerinduan, keduanya berpelukan begitu lama. Seperti sepasang kekasih yang sudah terpisah puluhan tahun saja, padahal mereka baru saja berpisah dua hari satu malam. “Bang, Adek kangen Abang,” bisik Maura dan mendekatkan wajahnya kepada Haikal. “Sama, Sayang, Abang juga kangen.” Haikal menyentuh bibir mungil itu dan mulai berpagut mesra. ‘Tok-tok’ pintu kamar diketuk. “Bang, udah selesai belum kerjaannya? Mau dibantu gak?” Terdengar suara Nindi dari depan pintu kamar Haikal. Adegan panas itu jadi terhenti. Maura merengut dan menatap Haikal dengan sengit. Ia merasa tak nyaman dengan kehadiaran istri baru sang suami. “Belum, Nin. Kamu tidur aja duluan, nanti Abang nyusul,” teriak Haikal dengan tak melepaskan tangannya dari pinggang Maura. “Jangan lama-lama, Bang! Nindi tak berani tidur sendirian.” Suara Nindi terdengar parau sambil melangkah menuju kamarnya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN