Bab 10 : Cemburu

1053 Kata
Istri Gaib Bab 10 : Cemburu “Bang, jadi kamu akan tidur bersamanya malam ini?” tanya Maura dengan nada sinis dan melepaskan tangannya dari leher Haikal. Dengan tampang masam, Maura melepaskan tangan Haikal dari pinggangnya lalu naik ke atas tempat tidur dan berbaring kemudian menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Haikal menghela napas panjang melihat tingkah Maura yang kini sedang merajuk. Padahal baru sehari ia beristri dua, kepala sudah pusing saja. “Sayang, jangan ngambek ah!” Haikal masuk ke dalam selimut Maura dan menggodanya. “Pergilah ke kamar istri baru Abang, keloni dia!” Maura membelakangi sang suami. Haikal menahan senyum melihat tingkah Maura, ia makin gemas saja. Ia mendekatkan tubuh dan memeluknya dari belakang, lalu mencium pundaknya dengan penuh kerinduan. “Sayang, percayalah ... yang Abang cinta itu cuma adek saja. Abang tak mempunyai perasaan apa pun kepada Nindi, dia hanya istri formalitas saja. Semua akan berjalan sesuai keinginanmu!” bisik Haikal berusaha meyakinkan sang istri. Maura membalikkan tubuh, lalu menatap Haikal seraya mengusap pipinya. Ia begitu mencintai pria itu, ia juga tak tega jila marah terlalu lama. Keduanya saling tatap dan tersenyum, ritual malam pun dimulai. “Ponselnya jangan ditinggal lagi, nanti Abang sudah untuk menghubungi Adek. Mana kangen tiap waktu,” bisik Haikal sambil terus beraksi. Maura hanya mengangguk sambil tersenyum. *** Sedangkan di kamarnya, Nindi masih menunggu Haikal yang tak kunjung datang. Hatinya sedih dan benar-benar tak mengerti, ada drama apa di balik pernikahan mereka sihingga sang suami tak sudi tidur bersamanya. Ia sedikit tersinggung. Satu jam Nindi mencoba memejamkan mata, tapi tak bisa tertidur juga. Ia memang kesulitan tidur di tempat yang baru, apalagi seorang diri begini. Perlahan, air matanya meleleh juga. Ia tak dapat menahan kesedihan ini. Sedangkan di kamar depan, Haikal masih memadu cinta bersama Maura dan melupakan janjinya kepada Nindi. Ia selalu melupakan apa saja jika sudah bersama wanita berambut merah itu yang panah asmaranya begitu menghujam jantung. Hingga subuh, Nindi belum bisa tertidur juga. Berkali-kali ia meraih ponsel dan melihat waktu, tapi yang ditunggu tak kunjung datang juga. “Mungkinkah Bang Haikal ketiduran di ruang kerjanya?” gumamnya sembari bangun dari tempat tidur, dan mengusap matanya yang berair lalu meringkuk dengan memeluk lutut. *** “Bang, aku pergi dulu.” Maura mencium pipi Haikal dan kemudian melangkah turun dari tempat tidur. Haikal mengusap pipinya lalu meraba ke sebelah kanan tempat tidur, sang istri sudah tak ada lagi. Ia membuka mata perlahan, lalu melihat jam yang ada di dinding. Maura pasti akan selalu pergi sebelum jam 06.00 pagi, ia sudah hapal. Dengan malas, Haikal bangkit dari tempat tidur lalu melangkah meraih handuk dan mandi. Setelah berpakaian rapi, ia keluar dari kamar dan baru teringat akan Nindi. Ia melangkah menuju kamar sang istri baru, dan membukanya tapi sudah tak ada siapa pun di kamar dengan nuasa putih itu. "Nindi!" panggilnya. Dari dapur, tercium aroma masakan. Haikal langsung menuju dapur dan mendapati Nindi sedang memasak di sana. "Pagi, Bang," sapa Nindi dengan tersenyum manis. "Duduk, Bang, kita sarapan bareng!" sambungnya sembari meletakkan nasi goreng di atas meja makan. Haikal tersenyum tipis, lalu duduk. Diliriknya mata Nindi yang terlihat bengkak dengan lingkaran hitam di sekelilingnya. "Matamu kenapa, Nin?" tanya Haikal sedikit khawatir, sebab ia tak mau diduga KDRT di usia pernikahan yang baru dua hari. "Nindi gak bisa tidur, Bang," jawab Nindi sambil duduk di kursi depan Haikal. Haikal tersenyum tak enak, sebab ia telah mengingkari janjinya untuk tidur di kamar Nindi tadi malam. "Maafkan Abang, Nin, tadi malam ketiduran di ruang kerja," ujar Haikal sambil melirik wanita berhijab di hadapannya yang terlihat begitu anggun dengan balutan gamis berwarna pink muda itu. "Iya, Bang, gak apa-apa. Nindi emang susah tidur kalau di tempat yang baru," ujar Nindi sambil meraih piring sang suami dan mengisinya dengan nasi goreng buatannya lalu menambahkan ayam goreng dan telor dadar. "Silakan, Bang!" Haikal tersenyum tipis lalu mulai menikmati sarapannya. Masakan Nindi lumayan enak, tapi dia tetap menyukai masakan Maura. Semuanya tetap Maura yang paling unggul dan menguasai hati juga pikirannya. "Bang, nanti siang mau dimasakin apa?" tanya Nindi masih berusaha mencairkan suasana hening di antara dirinya dan Haikal. "Hmmm ... Abang makan siang di kantor, Din, pulangnya gak tentu. Bisa sore, kadang juga malam. Kamu gak usah nungguin Abang pas makan siang nanti!" jawab Haikal pelan. "Oh .... " Nindi tersenyum lagi, ia memang belum mengetahui jam kerja suaminya. "Kamu, kalau bosen di rumah sendiri, main ke rumah Ibu saja!" Haikal mengakhiri sarapannya. Nindi mengangguk, lalu mendekatkan gelas air putih untuk suaminya. Setelah selesai sarapan, Haikal beranjak menuju garasi dan mengeluarkan motornya. "Abang pergi kerja dulu!" Haikal meraih tas kecilnya yang dibawakan oleh sang istri baru. "Iya, Bang. Hati-hati!" Nindi tiba-tiba memeluk Haikal. Haikal terkejut melihat apa yang dilakukan Nindi, ia tertegun dan tak mampu menolak pelukan dari wanita yang memang telah sah menjadi istrinya itu. Nindi melepaskan pelukannya dan menahan senyum melihat ekspresi wajah suaminya yang terlihat merona karena ulah agresifnya. "Assalammualaikum, Bang," ujar Nindi lagi sambil meraih tangan Haikal dan mencium punggung tangan sang suami. "Eh ... walaikumsalam." Haikal baru tersadar lalu mengusap dahinya yang mendadak berkeringat. "Hati-hati, Bang!" ujar Nindi sekali lagi dengam melempar senyum termanisnya. Dengan gugup campur grogi, Haikal naik motornya lalu memasang helm. Kemudian menoleh sekilas kepada wanita yang kini melambaikan tangan kepdanya. Haikal mulai mengendarai motor dan keluar dari perkarangan rumahnya. Melihat sang suami sudah melaju di jalanan, Nindi masuk ke rumah dengan tersenyum-senyum sendiri mengingat ekspresi wajah Haikal saat dipeluknya tadi. "Agresif sama suami sendiri gak apa-apa kali, ya? Abisnya dia pendiam banget, kayak CEO di drakor saja," gumam Nindi sambil membereskan piring kotor lalu mencucinya. Ia masih mencoba memahami sifat sang suami. Jika Haikal mengharuskan dirinyalah yang memang harus agresif, maka ia akan melakukananya demi kelangsungan hubungan pernikahan ini. Walau sebenarnya, ia juga pendiam dan pemalu. Tapi, kalau tak ada yang mau memulai duluan, maka akan membutuhkan waktu lama untuk bisa akrab. *** Dengan jantung yang masih berdebar-debar, Haikal terus memacu motornya. Tak bisa ia pungkiri, hatinya sedikit bergetar saat bersama Nindi, apalagi melihat senyum manis ceria itu. Akan tetapi, bayangan tatapan mata juga wajah kecut Maura saat merajuk langsung terlintas di ingatannya. Ia mulai menguasai diri dan menekankan kesetiaan yang harus ia tanamkan di hati. Hanya Maura yang boleh ia cinta, ia takkan bisa hidup tanpanya. Mauralah segala-galanya, hanya Maura dan tetap Maura. Maura pemilik hati juga jiwa dan raganya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN