Istri Gaib
Bab 5 : Tidak Gila
"Suaminya meninggal lima bulan yang lalu, kena serangan jantung. Kemalangannya begitu beruntun, kini malah rumahnya yang habis terbakar. Kasihan dia, Kal," ujar Zeki lagi.
"Begitulah takdir, kadang kita di atas dan kadang kita bisa jatuh ke bawah," jawab Haikal sambil meninggalkan Zeki.
Zeki berlari mengikuti Haikal, gosipnya belum kelar.
"Kal, kemarin aku ngobrolin kamu sama Ella dan doi minta nomor ponselmu. Kayaknya dia mau ngajakin CLBK deh." Zeki menepuk pundak Haikal.
"Ngaco aja nih, Tiang listrik! Aku udah punya istri, Ella hanya masa lalu. Buat kamu ajalah, Zek, kalian sama jomlo itu." Haikal duduk di kursi panjang sambil mengeluarkan ponselnya.
Zeki kembali melengos. Ia sebenarnya tak percaya kalau Haikal sudah punya istri, sebab sudah beberapa kali ia mampir ke rumah pria bertubuh tegap itu, ia belum pernah melihat istri yang selalu ia sebut-sebut itu.
"Hmmm ... ya deh. Eh, btw ... boleh dong sesekali kenalin kita ama istri kamu, Kal. Kasih lihat fotonya juga boleh," ujar Zeki lagi.
Haikal melirik Zeki, satu-satunya teman yang begitu usil dan selalu penasaran akan kehidupan pribadinya.
"Okelah, kapan-kapan aku ajakin kalian makan malam ke rumah," jawab Haikal akhirnya.
"Bro, ayo berangkat sekarang! Panggilan darurat di bangunan bertingkat sarang walet di Pasar lama," ujar Tyo sembari mempercepat langkah menuju mobil mereka.
Haikal kembali menjalankan tugas bersama empat temannya. Mereka mulai menuju ke lokasi kebakaran lalu bertarung dengan Si Jago Merah.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 13.25, barulah api di bangunan bertingkat sarang walet itu berhasil dipadamkan. Memang tak ada korban jiwa di sana, tapi sarang walet yang harganya ratusan juta milik para pengusaha Cina itu sudah ludes menjadi abu.
Haikal dan empat temannya masuk kembali ke dalam mobil merah berlambang Damkar itu, lalu menuju kantor. Ia sudah merasakan perutnya melilit sejak dari tadi. Untung saja pass nyampai di kantor, jatah makan siang sudah ada di atas mejanya.
Sambil menikmati makan siangnya, Haikal sembari mengetik sebuah chat untuk istri. Hatinya tiba-tiba sangat merindukan wanita berambut merah dengan bulu mata lentik itu.
[Sayang, lagi apa?] Haikal langsung mengirimkan pesan itu.
Beberapa menit kemudian, pesannya langsung mendapatkan balasan.
[Lagi kangen Abang nih.]
Haikal mengulum senyum membaca chat istrinya.
[Sama, Abang juga kangen Adek.]
[Abang udah makan?]
[Ini lagi makan, Sayang. Video call yuk! Abang benar-benar rindu.]
[Oke, Bang.]
Beberapa saat kemudian, Haikal sudah bisa melihat penampakan wajah cantik sang istri. Wanita berambut panjang dengan warna merah itu terlihat sedang duduk di pinggir pantai sebab rumah orangtuanya memang terdapat di sekitar pantai.
"Sayang, I love you," ujar Haikal.
"I love you too, Bang." Muara memajukan bibir sexinya. "Abang, selamat bekerja ya, sampai ketemu nanti malam."
"Iya, Sayang."
Haikal mengakhiri panggilan videonya. Ia semakin tak sabar untuk segera pulang ke rumah dan bermanja di pelukan sang istri yang membuatnya begitu mabuk kepayang.
***
Seminggu berlalu, malam ini Bu Ida sengaja menunggu Haikal di teras rumah. Kalau anak bungsunya itu sudah pulang bekerja, ia akan menghampirinya.
Beberapa saat kemudian, pria berjaket kulit dan motor ninja hitam itu masuk ke perkarangan rumahnya. Bu Ida langsung berlari ke jalanan, lalu menyeberang dan menghampiri Haikal yang sedang mendorong kendaraanya itu masuk ke dalam garasi.
"Baru pulang kerja, Kal?" sapa Bu Ida berbasa-basi.
"Iya, Bu. Hari ini banyak kebakaran, sekarang saja masih ada tim yang bertugas, dan untungnya Haikal tidak ada jadwal malam ini," jawab Haikal sambil mengeluarkan kunci rumah dan memasukkannya ke knop pintu.
Bu Ida mengikuti Haikal masuk ke dalam, lalu duduk di depan televisi dan menghidupkannya. Suasana rumah sepi, Haikal mencari istrinya ke kamar, tapi Maura tak ada di sana. Ia meraih handuk dan mandi, sebab tubuhnya sangat gerah karena kesibukan hari ini yang begitu padat.
Selesai mandi dan berpakaian, Haikal menghampiri Ibunya yang sedang menonton televisi. Ia sudah tahu maksud dan tujuan kedatangan wanita berdaster bunga-bunga itu.
"Kal, ini sudah seminggu. Ibu mau dengar jawaban darimu. Ibu udah ketemu Pak Ustad Bumi, ahli ruqyah, dia pemilik 'Rumah Ruqyah' yang ada di Jalan Pawan 1." Bu Ida menatap putra bungsunya yang kini duduk di hadapannya.
"Haikal nggak gila, Bu, nggak perlu diruqyah. Haikal mau kok dijodohkan dengan Nindi. Ibu atur saja semuanya," jawab Haikal dengan tampang masam sambil beranjak mengambil tas kecilnya yang ada di atas meja ruang tamu.
Bu Ida langsung tersenyum senang, ia memanjatkan syukur atas perubahan anaknya itu yang sudah mau untuk menikah dan ia berharap Haikal tak lagi berhalusinasi setelah punya istri yang nyata nanti.
“Bu, ini ATM Haikal, Ibu peganglah! Di situ ada uang tabungan, Ibu uruslah semuanya!” ujar Haikal sambil menyerahkan kartu berwarna merah dengan lambang bank daerah itu.
“Jadi, kamu mau Ibu mengurus pernikahan dengan Nindi secepatnya?” Bu Ida kembali mengembangkan senyum.
“Iya, lebih cepat lebih bagus, biar Ibu lega dan gak was-was lagi,” jawab Haikal dengan wajah masam.
“Ya sudah kalau gitu, minggu depan kita langsung acara lamaran dan bulan depan langsung nikah. Besok Ibu akan mulai berbelanja untuk barang hantaran pas lamaran nanti.” Bu Ida bangkit dari kursinya. “Oh iya, kalau kartu atmnya sama Ibu, terus kamu gimana? Apa masih ada ATM yang lain atau gimana?”
“Itu ATM khusus tabungan saja, beda sama ATM gaji,” jawab Haikal sambil mengekor ibunya yang menuju pintu.
“Oke, anak Ibu yang paling baik dan sholeh, terima kasih sudah mau menuruti mau ibumu ini.” Bu Ida memeluk tubuh anak bungsunya itu lalu mencubit pipinya dengan gemas.
Haikal hanya merengut, melihat sang ibu masih memperlakukannya seperti anak kecil. Mentang-mentang saja ia anak bungsu dan satu-satunya laki-laki pula.
“Ya sudah, Ibu pulang dulu. Oh iya, kamu udah makan belum, Nak?” Bu Ida yang sudah melangkah menuruni teras rumah Haikal, kembali membalikkan tubuh.
“Udah. Ibu hati-hati menyeberangnya!” jawab Haikal sambil duduk di kursi teras dan mengeluarkan ponselnya.
Dengan melantunkan shalawat, Bu Ida menyeberangi jalan raya. Hatinya begitu senang, sebab kali ini Haikal mau menerima perjodohan darinya. Padahal sudah dari tiga tahun yang lalu, ia selalu berusaha menjadi mak coblang, tapi selalu gagal.
Bu Ida berharap rencananya kali ini mulus tanpa rintangan, apalagi Haikal sudah setuju. Ia tak mau para tetangga terus memperbincangkan sang putra bungsu yang dikatakan suka berhalusinasi dengan mengaku punya istri namun nyatanya masih sendiri.
Bersambung .....