Bab 6 : Lamaran

1286 Kata
Istri Gaib Bab 6 : Lamaran "Bang, ayo masuk!" Maura memeluk Haikal dari belakang. Haikal menoleh dan mendapati sang istri sedang mencium pipinya. Ia merengkuh Maura ke dalam pangkuannya dan menatapnya penuh cinta. Wajah keduanya mendekat lalu saling berpagutan mesra. "I love you, Bang," ujar Maura di sela adegan panas mereka. "I love you too, Sayang." Haikal kembali memagut mesra Maura. "Kangen .... " Maura bermanja di pangkuan Haikal. "Abang juga kangen, Sayang." Ada beberapa tetangga yang sedang berjalan di depan rumah berpagar biru itu, menatap aneh pada pria petugas damkar yang terlihat sedang berbicara sendiri di depan teras rumahnya. Ia terlihat seperti sedang memeluk seseorang dan mencumbunya, namun mereka tak melihat siapa pun bersama anak bungsu dai Bu Ida itu. "Masuk yuk, Bang!" ajak Maura manja. Haikal tersenyum lalu menggendong tubuh Maura masuk ke dalam, kemudian menutup pintu. Ia tak menyadari kalau ada beberapa tetangga yang mengintip dirinya. *** "Tuh 'kan ... Si Haikal itu benaran gila deh!" "Mungkin dia pacaran ama makhluk halus yang kita gak bisa melihatnya." "Lihat gak tadi, dia kayak lagi gendong seseorang gitu? Padahal kan gak ada apa-apa." "Bu Ida juga sih, anaknya kayak gitu dibiarin aja. Coba diruqyah, biar waras dia!" "Dia gak gila menurutku, hanya depresi saja karena ditinggal pacarnya nikah lima tahun yang lalu. Abis itu, dia gak pernah pacaran lagi. Tahu-tahu, udah aneh gitu aja tingkahnya." "Kasihan ya, ganteng-ganteng kok aneh gitu!" "Biar aneh gitu, dia petugas damkar loh. Pekerjaannya sangat mulia, gak tega aja kalau dia berhalusinasi terus." Tiga orang ibu-ibu yang tadi mengamati kelakukan Haikal di teras, menggosipkan dirinya. Mereka prihatin melihat tingkah aneh dari putra bungsu Bu Ida itu. *** Sedangkan di dalam kamar, Haikal sedang memadu cinta dengan sang istri tercinta. Hasratnya begitu menggelora melihat tubuh mulus dihadapa itu, dan tak menunggu lama, keduanya mulai menyatukan raga dengan buaian dewa asmara hingga menuju puncak singgasana surga dunia. "Sayang, kata Ibu ... bulan depan nanti dia akan menikahkanku dengan wanita pilihanya itu. Mungkin ... kita takkan bisa bercinta seindah malam ini lagi," ujar Haikal dengan keringat membanjiri tubuh sixpacknya, ritual mereka telah usai ditunaikan. "Oh, ya?" Maura mendelik Haikal yang baru saja menjatuhkan tubuh di sampingnya. "Akan tetapi, sesuai permintaanmu, aku takkan menyentuh dia. Aku hanya milikmu, Sayang." Haikal meraih Maura ke dalam pelukannya. Maura menggigit bibir, sebenarnya ia tak rela jika harus berbagi suami, tapi mau bagaimana lagi. Keadaannya memang sedang terdesak saat ini, demi keamanan hubungannya bersama pria yang sangat ia cintai itu. "Kamar ini hanya milik kita, jangan ajak dia ke sini," ujar Maura sambil mengusap d**a sang suami. "Iya, Sayang. Kalau dia sudah tidur, aku akan menemuimu ke sini. Setiap malam kita akan selalu bersama, dia hanya akan menjadi istri di buku nikah saja," jawab Haikal sambil mengecup dahi snag istri. Keduanya mulai mengelapkan mata dan terbuai dalam mimpi masing-masing. *** Seminggu kemudian, acara lamaran pun dilangsungkan. Bertepatan dengan malam minggu. Hanya acara kecil-kecilan saja, penetapan tanggal pernikahan antara Haikal dan Nindi. Haikal hanya mengangguk saja dan pasang tampang manis. Ia akan mengikuti skenario yang akan disusun oleh ibu juga calon mertuanya itu. Nindi, sang perawat cantik yang mengenakan jilbab itu terlihat begitu bahagia dengan acara lamaran ini. Akhirnya ada ada juga pria baik yang serius melamarnya, walau jodoh itu datang lewat sang mama melalui perjodohan. Apalagi, ia memang sudah jatuh hati di saat pertemuan mereka. "Jadi, acara pernikahannya akan dilangsungkan hari minggu tanggal 6 September 2020 bulan depan. Rencana selanjutnya, kita bahas lewat wa ya, Jeng!" Bu Ida mengedipkan sebelah matanya kepada sang calon besan. "Beres, Jeng, atur aja!" Bu Ratna tersenyum. Dua jam kemudian, acara lamaran pun selesai. Keluarga Haikal pamit pulang kepada keluar Nindi. Kesepakatan telah mereka kantongi, tinggalkan menunggu hari H nya saja. Dengan bimbang, Haikal langsung masuk ke mobil abang iparnya itu, lalu pulang. Ia kepikiran terus dengan Maura yang sudah menunggunya di rumah. Ia tak tega membayangkan wanitanya itu akan kesepian tanpanya. Hatinya sudah dideru kerinduan, wajah sang istri sudah memenuhi kepalanya sejak dari rumah Nindi tadi. *** Sesampainya di depan rumah sang ibu, Haikal bergegas turun dari mobil abang iparnya lalu pamit pulang ke rumah. Ia begitu bimbang dengan Maura, tak mau istrinya yang cantik itu bersedih. Ia seakan bisa merasakan kegundahan yang dirasakan wanita berambut merah itu. "Langsung pulang kamu, Kal? Gak masuk dulu?" tanya Henni menangkap raut cemas di wajah adik bungsunya itu. "Haikal langsung pulang, Mbak, semuanya ... assalammualaikum," ujar Haikal seraya membalikkan tubuh saat langkahnya telah tiba di depan pagar rumah ibunya. Bu Ida dan Henni hanya saling pandang melihat tingkah Haikal, lalu masuk ke dalam. ******* "Sayang, Abang sudah pulang," ujar Haikal saat membuka pintu rumahnya. Pria berjas hitam itu celingukan dan mengedarkan pandangan ke seisi rumah, sambil melangkahkan kaki menuju kamar. Akan tetapi, langkahnya langsung terhenti saat melihat sosok wanita yang sedang duduk meringkuk memeluk lutut di ruang tengah. "Sayang, kamu lagi apa?" sapa Haikal sambil duduk di samping sang istri dan memeluknya. "Adek lagi nungguin Abang," jawab Maura dengan wajah sedih. "Maaf ya, Abang lama perginya. Adek jangan sedih gitu!" Haikal menatap wajah tak bersemangat wanita berkulit putih dengan tinggi semampai itu. Maura merebahkan diri di pangkuan sang suami, meraih tangan pria berkulit sawo matang itu dan menempelkan di pipi. "Bang, berjanjilah ... setelah menikahi wanita itu, Abang takkan berubah dengan Adek," ujar Maura dengan hati yang bimbang, ia takut nanti Haikal tak mencintainya lagi. "Sayang, kalau kamu tak ingin Abang menikahi Nindi, tampakkanlah dirimu di depan ibu. Abang juga menerima perjodohan ini hanya karenamu." Haikal membangunkan tubuh Maura dan menatap matanya. "Nggak bisa, Bang!" jawab Maura pelan. "Jadi, Abang harus bagaimana?" tanya Haikal bingung, ia juga sedih. "Adek rela kok Abang menikahi wanita bernama Nindi itu. Hanya saja ... semakin mendekati hari H begini, Adek jadi galau. Takut Abang gak sayang Adek lagi." Maura menatap Haikal. "Kasih sayang dan cinta Abang hanya untuk Adek seorang. Abang janji." Haikal mengulurkan jari telunjuknya di hadapan sang istri. "Kalau Abang sampai menyentuh dan mencintai dia, maka hubungan kita akan berakhir!" Maura tersenyum pahit sambil mengaitkan jari kelingkingnya. Haikal mengusap pipi sang istri lalu meraihnya ke dalam pelukan. "Iya, Sayang, Abang janji," bisik Haikal sembari menggendong tubuh Maura menuju kamar. Maura tersenyum sambil mengusap pipi sang suami dan menatapnya penuh cinta. Di saat sedang terlelap sambil memeluk tubuh sang istri, ponsel Haikal di atas nakas bergetar. Dengan malas, ia langsung bangun dan meraih benda pipih itu. Haikal langsung melebarkan matanya saat melihat nama "Pak Guntur" menghiasi layar ponselnya. Ia langsung menggeser tombol hijaunya dan menempelkan ke telinga. Diliriknya jam di dinding kamar baru menunjuk ke angka 01.45. "Haikal, segera bersiap! Sepuluh menit lagi mobil tim satu mendarat ke depan rumahmu. Lokasi Jalan Merak no.1." Suara Pak Guntur dari seberang sana. "Siap, Pak!" jawab Haikal. Sambungan telepon terputus, Haikal segera bangkit dari tempat tidur dan menyambar handuk. Lalu mandi dengan cepat. Beberapa saat kemudian, Haikal sudah bersiap dengan dinas berwarna birunya. Maura masih tertidur lelap. Haikal mendekat dan mengusap pipi mulus istrinya. "Sayang, Abang pergi dulu," bisik Haikal sambil mengecup bibir istrinya. Maura membuka mata dan mengucek mata, ia tersenyum manis sambil merangkul leher Haikal dan berniat membalas kelakuan sang suami yang menciumnya di saat tidur. "Sayang, Abang dulu. Adek tidurlah, dan nanti jangan lupa ponselnya dibawa biar Abang bisa menghubungi Adek," ujar Haikal. "Iya, Abang hati-hati! Selamat bertugas!" Maura bangkit dari tempat tidur dan menggandeng tangan sang suami keluar dari kamar lalu mengantarnya ke pintu depan. Haikal membuka pintu dan mendapati mobil damkar timnya sudah menunggu di depan pagar rumah. Haikal mengecup kening sang istri lalu melambaikan tangan. Pintu ditutup, ia langsung berlari menuju mobil. "Kal, tadi ngapain kamu monyong-monyong gitu di depan pintu tadi?" Zeki menyikut Haikal yang duduk di sampingnya. Haikal hanya melengos dan malas untuk menjelaskan kepada temannya yang memang terlalu kepo itu. Bersambung .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN