Agata POV.
Kami berjalan terburu menuju penampungan, dan sampai di sana sudah banyak petugas kepolisian yang memeriksa penampungan itu. Yuni menjatuhkan dirinya di ketinggian lantai sepuluh. Membuatnya patah tulang leher, punggung dan kedua kakinya. Dan sayangnya dia tidak meninggal. Maksudku, bukan aku yang ingin agar Yuni meninggal. Hanya saja, melihatnya tanpa daksa seperti itu, mungkin akan lebih baik jika Yuni meninggal saja.
Aku membawa Yuni ke rumah sakit, sedangkan Ranvier menghadapi para petugas kepolisian untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Harusnya saat ini aku sudah tertidur di atas kasur empuk di apartemenku. Namun karena hal ini, aku sekarang terperangkap di dalam ruangan hening ini. Aku menunggu Yuni yang sedang terbaring dengan tubuhnya yang penuh dengan perban, karena sehabis operasi.
"Kamu sudah makan?" Adnan meletakan kotak makan di pangkuanku.
"Kamu enggak tidur?" tanya ku.
Adnan menghela napas pelan. "Bagaimana bisa aku tidur, kalau mendengar kabar segila ini. Dan yang paling menyebalkan adalah karena urusan ini pasti kamu yang akan menanganinya." dia menatapku lembut sekali. "Aku enggak mau kamu pusing sendiri." tambahnya. "Makan lah," dia membuka kotak makan itu, "Apa perlu aku suapi?" tawarnya lagi.
Aku menggeleng cepat. "Enggak usah, terima kasih sekali, nan." aku mulai meraih sendok itu, dan mulai menyuapi diriku sendiri.
"Yuni mungkin sangat stres oleh semua tekanan itu. Aku sungguh merasa berdosa, karena belum sempat bersikap baik padanya." disela sela makan ku, ku lirik Adnan yang menunduk lesu. "Aku perlu belajar banyak sama kamu." ungkapnya lagi.
"Aku enggak sebaik itu, Nan. Itu hanya kebetulan saja. " sejujurnya apa yang Adnan katakan adalah benar. Bahwa kami semua terlalu keras pada Yuni. Ia bahkan sudah memintaku untuk memulangkannya ke negaranya. Hanya saja, perusahaan memang tidak akan pernah menginjinkan itu, sebelum Yuni kembali menemukan majikan baru, dan kerja sampai hutangnya selesai dibayar.
"Kamu tahu enggak, Ta. Aku sangat terharu, ketika kamu membawa Yuni ke pasar, lalu membelikan semua kebutuhan Yuni."
"Kamu melihatku?"
"Iya, dan kamu saat itu begitu semangat. Kamu mengingatkanku pada seseorang."
"Siapa?"
"Ada lah."
"Kekasih mu?"
Dia terdiam untuk beberapa saat. "Dia adiku, tapi meninggal karena memiliki penyakit langka."
"Penyakit apa?"
"Autoimun."
"Autoimun bisa membuat seseorang meninggal?" tanyaku. Maklum, karena aku ini bukan orang yang mengerti tentang dunia medis.
"Iya, karena dia tidak pernah mengatakannya pada Ibu dan Ayah tentang penyakitkannya itu. Sehingga autoimun menyerang organ vitalnya, lalu dia meninggal." aku melihat Adnan menunduk pilu. "Aku bahkan tidak pernah memberikan apapun yang dia mau, karena aku sangat benci padanya." dia sepertinya menangis.
"Kamu membenci adikmu?" tanyaku.
"Dia adik tiriku. Aku benci padanya, karena mamahnya telah merebut ayahku dari ibuku. Jadi itulah kenapa aku sangat membencinya." keberikan dia tisu. "Apa adikmu mirip sekali denganku?" tanyaku lagi.
Dia mengangguk. "Iya, wajah kalian, sikap kalian, dan bagaimana caranya kamu peduli pada orang lain." dia menatapku dengan kedua matanya yang merah. Tangannya terulur pada pipiku dengan sangat lembut. Mengusapnya di sana dengan tatapan yang amat tulus sekali. "Aku sangat merindukannya agata." Lalu dia memelukku erat dengan suara tangis syarat akan rasa sesal yang amat sangat.
Aku yang sedang makan ini, malah terpaku dan bingung karena tidak bisa lanjut makan. Ku biarkan saja Adnan menangis sampai ia benar benar lega. Menyadari aku tidak bisa makan lagi, Adnan segera melepaskan diriku."Maaf, aku telah membuatmu tidak bisa makan." ujarnya.
"Its, ok. " Aku mengangkat kedua bahu ini. Setelahnya aku dan Adnan bercerita banyak tentang kehidupan kami masing masing. Tentang bagaimana dia mulai masuk ke Artika Home, dan bagaimana perasaannya yang mendadak melow ketika melihatku bergabung dengan perusahaan itu.
***
Kehadiran Ranvier di sisi antara aku dan Adnan, membuat ruangan terasa semakin hening. Aku jelas marah sekali pada laki laki itu. Secara tidak langsung dialah yang menjadi penyebab depresinya Yuni. Seharusnya Ranvier memulangkan gadis itu ke negaranya tanpa memberikan beban hutang yang sesungguh nya tidak mungkin bisa Yuni bayar.
"Kamu pulang saja, Adnan. Ada saya dan Agata di sini." Itu adalah sebuah perintah yang yang tentu saja harus dipatuhi oleh Adnan.
"Saya akan menunggu bersama Agata di sini. Silakan Tuan pulang aja!" tolak Adnan. Aku tidak tahu apa yang salah dengan apa yang dikatakan Adnan, karena Ranvier menggenggam tanganku erat. Aku meringis genggaman tangannya terasa ketat sekali. "Saya tidak suka kalau ada seseorang yang membantah kata kata saya. Saya atasan kamu di sini, jadi sebaiknya kamu pulang sekarang!" Adnan yang berbuat salah, aku yang jadi sasaran.
"Baiklah. Tapi jangan macam macam sama Agata!" kemudian ia pergi setelah mengusap puncak kepalaku lembut. "Take care." bisik Adnan.
Bersama langkah Adnan yang menjauh, keheningan mulai menghiasi ruangan ini. Yang ada hanyalah jam dinding dan mesin yang digunakan untuk membantu pernapasan Yuni. "Kamu sudah makan?" aku kaget dengan pertanyaan Ranvier, aku berpikir kalau dia tidak akan peduli dengan diriku.
"Aku belum, lapar." jawabku, dengan berusaha menarik tangan ini dari genggamannya, namun sayang aku tidak berhasil melepaskannya.
"Kita makan!" dia mengajaku berdiri.
"Aku enggak mau makan! Adnan tadi--"
"Kamu nerima makanan dari Adnan?" pertanyaan retorika yang cukup mengusiku. Memangnya kenapa kalau aku makan makanan yang diberikan Adnan.
"Iya,"
"Tanpa seijinku?"
"Untuk sebuah makanan, aku harus ijin sama kamu?" aku benci sekali dengan laki laki ini.
"Ya, tentu. Kamu itu tunangan aku. Aku tidak peduli kalau kamu makan makanan yang kamu beli sendiri. Tapi kalau kamu menerima makanan dari laki laki lain, apakah aku harus diam saja?" kulihat kilatan kedua mata hitam legam itu menyorot padaku perih dan letih. Aku tidak yakin kalau dia cemburu, karena perempuan yang selalu bersamanya, makan malam bersamanya, party bersamanya atau pergi jalan jalan bersamanya, itu bukan hanya aku. Ah, atau aku lah perempuan yang paling jelek di antara mereka, sehingga aku tetap diam seolah tidak tahu apa apa.
"Kita enggak semanis itu, Vier. Kamu dan aku, enggak memiliki perasaan sedalam itu, sampe aku harus lapor segalanya sama kamu kan? toh, kamu juga sering pergi sana sini, party sana sini, dengan gadis gadis cantik itu, apakah aku pernah marah?" kini kami saling berhadapan. Aku menatapnya datar saja, sedangkan Ranvier terlihat marah dan aku tidak tahu apa sebabnya. Padahal di sini sudah jelas dialah yang salah.
"Jangan membuat kekacauan Vier. Kamu telah membuat kesalahan dan seperti ini lah hasilnya. Seandainya kamu lebih dulu mengirim Yuni ke negaranya, maka ini tidak akan terjadi."
"Kamu menyalahkan ku?" dia terdengar sangat kecewa. "Aku lelah, harus menghadapi para petugas kepolisian itu, dan kamu sekarang ikut ikut menghakimiku?" aku menghakimi?
"Kamu itu tunanganku, sudah seharusnya kamu yang menenangkan aku, bukan malah membuatku semakin kalut."
"Yang membuat kalut itu, kamu sendiri ya Vier. Bukan aku!" Aku benci dipersalahkan, karena ini bukanlah salahku. Dan apa katanya tadi, aku tunangannya yang harus menenangkannya? really dia butuh itu dariku? atau hanya bualan semata?
"Kamu egois ya?" apalagi sih?
"Aku enggak ngerti salahku di mana ya vier. Tapi yang kamu sebut egois barusan itu sama sekali enggak masuk akal. " Aku sepertinya harus menghindari laki laki ini dan menenangkan diriku. Kutinggalkan dia ke dalam ruangannya Yuni. Biarkan saja laki laki itu sendirian di ruang tunggu. Toh, di sana juga ada televisi dan banyak sekali buku. Jadi rumah sakit di sini tuh, memiliki sebuah ruangan besar yang diperuntukan untuk para penunggu pasien ketika di dalam ruangan pasien hanya boleh dikunjungi oleh pihak medis. Dan di dalam ruangan besar ini, ada banyak sopa empuk, satu televisi dengan ukuran besar, lalu di dindingnya juga terpasang rak buku berukuran besar pula, yang isinya ada bermacam macam buku, seperti n****+, majalah, dan buku buku tentang kesehatan, yang bisa membuat kami penunggu pasien tidak jenuh.
Sampai di ruangannya Yuni, ku melihatnya sedang tertidur. Karena Dokter sudah tidak ada, sepertinya aku akan menunggunya di sini saja. Dari pada berduaan dengan Ranvier dan ujung ujungnya malah bertengkar lagi. Malah membuat kepalaku semakin mumet.
Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam, aku sepertinya haus sekali. Dan air adanya di ruang tunggu di mana ada Ranvier di sana. Mau tidak mau aku pun harus ke ruangan itu, yang letaknya berada dua kamar dari sini. Karena jam pengunjung sudah di tutup, maka lorong rumah sakit ini sudah lengah sekali. Suasana pun begitu hening, kecuali pihak medis yang berjaga, dan aku juga Ranvier yang memang bertanggung jawab pada Yuni.
Kutemukan laki laki itu tengah tertidur di sopa. Ruangan tunggu ini pun terasa henging, wajah polos itu membuatku terheran heran. kenapa seorang Ranvier bisa memiliki sikap yang tidak menyenangkan ketika ia sadar. Sedangkan wajah tidurnya begitu menyenangkan. Entah apa yang membuat kedua kaki ini mendekat padanya, ku ulurkan tangan ini dan kuusap wajah tempan yang begitu menawan itu. Dia memiliki kulit yang putih. Kedua mata tajam berwarna hitam pekat seolah memakai lenca berwarna hitam, hidung yang mancung dengan kedua alis tebal namun terlihat rapi, lalu kedua rahang yang tegas, semakin menambah kesan kalau sang Ranvier ini memang lelaki yang begitu menawan.
Dia tampan rupawan melebihi artis artis hollywood sana. Seharusnya prilakunya pun setampan wajahnya, bukan malah sebaliknya.
Dia jahat!
Dan aku benci padanya!
Perlahan kujauhkan tangan ini, tujuanku adalah mengambil air, bukan untuk mengusap wajah lelaki menyebalkan ini. Namun ...
"Kamu berani menyentuh ku?!" tangan ini telah diraihnya kuat, membuat kedua mataku membelalak. Jadi dia belum tidur?
"Eh, Vier, aku--"
"Kenapa kamu memegang wajahku, huh!" dia menariku, sehingga aku jatuh ke atas dadanya. Wajah kami jadi dekat, dan aku gugup dibuatnya.
"Ma-maaf, aku--"
"Mau ONS enggak?" bisiknya
"b******k!" aku memukul wajahnya dengan tanganku yang lain.
"Sakit, Ta!" karena kelepasan akhirnya tanganku yang bebas itu pun berhasil digenggamnya. Aku jadi tidak bernyali, karena Ranvier sudah mengurungku saat ini, aku telah berada di bawah tubuhnya. "Nyonya Ranvier, mau tidur dengan ku di sini kan?" bisiknya.