BAB 4 - Kehidupan Olivia

1698 Kata
Olivia, gadis Cantik dan manis, dengan kulit putih bersihnya. Dengan rambut pirangnya yang sedikit ikal. Dia tinggal di salah satu rumah tua dipinggiran kota Amerika. Dengan aksen dan desain rumah Amerika kuno. Cukup besar mengingat itu bangunan-bangun tua kuno Amerika. Mereka hanya menyewa disana. Dia tinggal dengan ibunya, lili, wanita paruh baya yang sudah lama ditinggal sang suami, papanya Olivia. Tapi sampai detik ini dia memilih sendiri dan fokus membesarkan ketiga anaknya. Ada Olivia, anak pertamanya. Lalu Daniel yang kini kuliah disalah satu kampus ternama di Amerika dan adik bungsu Olivia. Barbara yang masih SMA, dia sama cantiknya dengan Olivia. Hanya saja berbeda sifat, kalau Olivia lebih tenang, Barbara jauh lebih centil. Bahkan suka sekali membawa make up ke sekolah SMA-nya. "Ma, Oliv berangkat ya." Pagi seperti biasa di rumah Olivia. Ada mama dan kedua adiknya di ruang makan. Lili yang selalu masak pagi. Lalu membangunkan anak-anaknya untuk sekolah dan olivia yang akan berangkat bekerja. Olivia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Terkadang disuruh berangkat pagi pulang sore. Atau sore pulang malam. Tergantung dengan bagiannya saja yang diperintahkan oleh atasannya. Hari ini Olivia kebagian berangkat pagi. "Hati-hati ya sayang." "Iya ma." Olivia mencium pipi sang mama lalu pergi. Sebelumnya dia melewati kedua adiknya. Olivia mengusap kepala kedua adiknya itu. "Yang rajin sekolahnya. Yang pintar. Biar jadi orang sukses. Gak kayak kakak." Kata Olivia pada keduanya. Olivia hanya tamatan sekolah menengah pertama di Amerika. Kehidupannya sangat susah waktu itu, waktu dimana sang papa akhirnya meninggal setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Menjadi korban tabrak lari, penabrak itu tak bertanggung jawab dan pergi begitu saja. Papa Olivia sudah dibawa ke rumah sakit oleh petugas lalu lintas. Tapi sesampai di rumah sakit. Dia tak bisa diselamatkan. Olivia ingin melaporkan kejadian itu. Ketika mereka datang ke kantor polisi, mereka malah dimintai biaya banyak hal. Olivia dan mamanya tak punya uang banyak untuk membayar polisi. Dia menyerah dengan sang mama Mereka hanya bisa berharap pada Tuhannya. Berdoa setiap hari, kalau orang itu akan mendapatkan balasan yang setimpal. "Iya kak." Kata kedua adik Olivia padanya. Mereka juga sangat tau perjuangan sang kakak yang mati-matian bekerja untuk membiayai hidup dan sekolah mereka. Barbara dan Daniel sangat menyayangi kakaknya. Mereka berjanji pada dirinya sendiri, tak akan macam-macam. Hanya sekolah dengan giat. "Ma, Daniel juga berangkat ya." Setelah Olivia pergi kemudian Daniel berdiri. Dia sudah selesai dengan sarapannya. Dia pamit pada sang mama. Mencium pipi sang mama. Daniel juga mengambil beberapa pekerjaan sampingan. Dia janji pada sang kakak dan mamanya, pekerjaan itu tak akan menggangu kuliahnya. "Ke kampus atau ke tempat kerja?" Tanya sang mama pada Daniel. "Ke tempat keja ma. Kuliahnya siangan kok. Cuma buka cafe dan bersih-bersih." Kata Daniel pada sang mama. "Jangan kecewakan kakak kamu ya Niel, pokoknya. Kasian kakak kamu sudah berkorban banyak untuk kalian." "Iya ma. Dan juga sayang banget sama kak. Semoga nanti kakak bisa ketemu laki-laki yang bisa membahagiakan dia." "Semoga." Barbara ikut menjawab bersama dengan sang mama. Daniel terkadang suka memanggil dan menyebut dirinya, Niel atau dan. Sesuka dan se-ingin-nya orang saja. "Dan berangkat ya ma." "Hati-hati kak. Semangat." Barbara berseru. Memberikan semangat pada sang kakak laki-laki itu. Barbara pun harus segera berangkat. Bus menuju sekolahnya akan segera tiba. Barbara mengusap bibirnya yang penulis minyak bekas makanan. Dia membenarkan lipstiknya dan pamit pada sang mama. "Da mom." Kata Barbara. Mencium sang mama di pipi dan langsung pergi. Barbara lebih gaul dari pada kedua kakaknya. Kadang dia suka memanggil mamanya "mom" atau mama karena terbawa oleh kedua kakaknya. "Lipstik kamu ketinggalan." Teriak sang mama yang melihat lipstik Barbara ada diatas meja makan. "Oh iya ma. Lupa." Barbara yang sudah lari berhenti. Dia kembali mendekati meja makan dan mengambil lipstik merahnya. Dia mengantonginya dan kembali berlari keluar dengan membawa tas sampingnya. Menuju keluar dan menunggu bus. Tak lama Bus ke sekolahnya datang. Barbara langsung naik dan mencari tempat duduk yang nyaman didalam bus. * Sama halnya dengan Barbara, Olivia juga naik bus ke restoran tempat dia bekerja. Setelah beberapa menit perjalanan akhirnya mereka sampai. Olivia berdiri dari tempat duduknya, dia mengeluarkan uan kecil dan membagikannya pada supir bus. Dia turun dari bus. Restorannya ada beberapa meter dari jalan. Olivia hanya butuh jalan beberapa menit lagi menuju restorannya. Dia melihat jam di ponselnya. Olivia bergegas. Dia tak mau datang terlambat. Walau masih lama jam restoran Olivia harus buka. Olivia suka datang lebih awal. Kadang duduk melamun di dapur. Ingin sekali menjadi chef di dapur, melihat para koki-koki handal disana yang bersertifikat, sementara dia, hanya belajar memasak dari melihat Vidio. Tak akan diterima kerja untuk menjadi koki di restoran mewah. Jadilah. Olivia hanya bekerja sebagai pelayan di restoran. Mengantarkan makanan ke pelanggan-pelanggan dan tersenyum ramah pada mereka. Walau kadang ada beberapa client yang suka kurang ajar pada mereka. Tapi Olivia tak berani melawan. Dia takut dilaporkan dan dipecat. "Liv." Seorang kepala pelayan disana memanggil Olivia. Olivia sedang bersiap-siap untuk bekerja. Dia baru saja memakai sarung tangan. "Iya Mr." Kata Olivia pada kepala pelayan yang dia panggil Mr. Semua juga memanggil dia begitu. "Antar ke meja itu ya." Tunjuk kepala pelayan itu pada Olivia. Ke meja yang ada disudut restoran. Dia merupakan tamu setia Olivia. "Baik Mr." Olivia mengambil pesanannya dan membawakan itu ke meja tujuan. Dia menaruhnya dengan perlahan dan hati-hati. "Sayang, tolong tuangkan minumannya. Dia tamu laki-laku paruh baya. Mungkin usianya sekitar empat puluh tahunan. Bertubuh gemuk dengan perut buncit. Dengan rambut putih khas Amerika. Olivia tak bisa menolaknya. Dia menuangkan bir yang tamu itu pesan. Tapi dengan kurang ajarnya tamu itu malah mengusap paha Olivia. Pakaian pekerjaan disana, sebagai pelayan itu rok hitam diatas paha, lalu baju putih ketat membentuk body dan sedikit kancing yang dibuka. "Permisi. Minumannya sudah saya tuangkan." Olivia bergegas pergi setelah menuangkan minumannya. Dia harus menerima perlakuan seperti itu karena tak punya pilihan untuk melawan. Dari meja yang lain, ada seorang wanita cantik yang memandangi Olivia. Yang sangat cantik dan menggoda dari sudut mana pun yang dia lihat. Dia wanita dengan usia empat puluhan. Tapi bisa dipuji masih sangat cantik. Bodynya ramping dan seksi. Tidak kurus tapi tinggi dan cukup berisi. Olivia ada di jalan pulang. Diluar jadwalnya ternyata ada salah satu pelayan yang tak masuk karena sakit. Olivia mengambil alih untuk mendapatkan uang tambahan juga. Menuju akhir bulan tagihannya banyak. Bayar air, listrik, kontrakan juga yang sudah sangat jatuh tempo. Olivia lelah sekali. Dia berjalan sempoyongan. Itu mungkin sekitar pukul, dua belas malam lebih. Dia Amerika ini sudah biasa, para gadis masih berkeliaran. Bahkan untuk mengadakan yang mana masih gadis dan tidak pun, sangat susah kalau hanya dilihat dari look-nya. Olivia juga sudah menelfon mamanya, memberitahu pekerjaan tambahan yang dia ambil , agar lili dan kedua adiknya tak khawatir. Kebetulan juga Daniel mengambil pekerjaan malam, jadi Daniel yang biasanya akan menjemput sang kakak jadi tak bisa menjemputnya. Terpaksa Olivia mencari kendaraan. Tengah malam sangat sulit mencari kendaraan umum. Dia harus mencari taxi. Cantika berdiri dan menunggu taxi yang lewat, sambil berjalan dan menelusuri trotoar jalanan. Olivia sudah memesan taxi online. Tapi taxinya tak juga datang. Dia memutuskan menunggu disalah satu sudut jalan. Sambil sesekali melihat ponselnya. "Hai sayang." Ketika Olivia sedang menunggu. Beberapa orang datang. Mereka seperti para preman yang mabuk. Olivia ketakutan. Dia mencoba lari tapi dua orang dari mereka menahan tangannya Olivia. Mereka memeluk Olivia bersamaan. "Help me please!!!" Olivia mencoba berteriak sekencang mungkin. Tapi jalanan saat itu sepi. Dua orang berbaju hitam, berbadan besar, tiba-tiba muncul dan memukul dua orang itu. Mereka langsung pingsan. Yang satu takut dan kabur. Olivia terlepas dari mereka. Olivia menangis ketakutan. Dia menunduk kepada kedua orang itu. "Terimakasih sudah menolong." Kata Olivia. "Sama-sama." Satu wanita, wanita yang di restoran itu datang, muncul dari balik badan kedua orang itu. Dia terlihat berumur tapi masih cantik. Dia memberikan kartu nama kepada olivia. Olivia bingung dan menerima kartu nama itu. "Panggil saya madam." kata wanita itu. Olivia mengangguk. Dia membaca kartu namanya yang ada ditangannya. Berupa alamat bar. "Kalau kamu butuh uang tambahan. Kamu bisa bekerja dengan saya. Gajinya banyak." kata madam to the point'. "Boleh tau pekerjaannya?" olivia tergiur. Dia butuh banyak uang untuk akhir bulan ini. "Datang saja ke tempat itu. Saya akan memberitahukan pekerjaannya." madam bergegas pergi dengan kedua bodyguardnya. "Apa sebagai wanita penghibur." tebak olivia. "Pinter banget. Tapi bar saya berkelas, bukan untuk laki-laki hidung belang yang sembarangan. Kalau mau datang saja ke tempat itu saya akan jelaskan selengkapnya disana. Pekerjaan ini juga tertulis dalam surat perjanjian. Bukan wanita penghibur sembarangan." Mobil madam mendekatinya. Salah satu bodyguardnya membukakan pintu. Madam masuk kedalam mobilnya. "Tunggu disini sampai taxinya datang." kata madam pada salah satu pengawal. "Baik madan." dia menjawab dengan tegas dan dengan sekali anggukan kakunya. Olivia bingung kenapa madam itu baik sekali padanya. Tak lama taxi yang olivia pesan datang. Olivia masuk kedalam taxi. Orang itu ikutan masuk kedalam taxi. Olivia sedikit menjauh takut. "Saya hanya ingin memastikan anda pulang dengan selamat." katanya dengan nada yang sangat kaku. Olivia hanya bisa menundukkan kepala, percaya dan berharap dia orang baik. "Jalan pak." Kata olivia pada supir taxinya. Supir taxi itu melanjutkan mobilnya dengan kecepatan normal. Sampai di depan rumah kontrakan olivia. Bahkan orang itu, bodyguard itu turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk olivia. "Silakan turun." katanya dengan menunduk. Olivia melihat sekeliling. Untuk tak ada orang, olivia sedikit lega karena itu. Orang itu masuk kedalam taxi. Ketika olivia akan membayar taxinya, malah dilarang oleh orang itu. Katanya madam sudah membayarnya. Olivia masuk ke rumah. Lili berdiri didepan pintu. Lili tak sengaja melihatnya dari jendela. Tadi dia sudah tidur tapi terbangun ketika mendengar suara mobil berhenti didepan rumahnya. Lili sengaja menunggu olivia pulang. "Tadi itu, teman ma. Dia khawatir sama olivia. Jadi diantar sampai rumah, naik taxi." "Oh. Ya sudah istirahat sana ke kamar. Butuh mama buatkan sesuatu?" Seperti minuman atau olivia lapar. Tapi olivia menggeleng. Sudah tengah malam. Dia tak mau merepotkan mamanya. "Oliv akan mandi dan tidur. Mama juga tidur ya. Daniel udah pulang?" olivia ingat adiknya yang juga kerja malam. "Katanya daniel tidur di rumah temannya. Dia gak pulang malam ini." "Oh iya ma." Olivia mencium pipi sang mama lalu naik keatas. Ke kamarnya. Rumah mereka ada dua lantai. Biaya sewanya juga bisa dibilang cukup memberatkan untuk olivia. Tapi hanya itu yang paling murah baginya. Olivia masuk ke kamarnya. Lili mengunci pintu dan pergi tidur di kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN