BAB 9

1001 Kata
"Haaa... Sampai jumpa nanti. Habis maghrib kita fitting baju pengantin," ujar Meila Miska saat Rena dan El berpamitan. Ia tampak sibuk mengatur perlengkapan pesta. "Oke, Bu. Apa ibu sudah sehat?" Rena bertanya sambil bersalaman dan mencium tangan dan pipi ibu mertuanya. Meila Miska tersenyum penuh kasih sayang. Ia merasa nyaman dengan sikap Rena yang pandai menghormati orang tua. "Apa El mengundang semua staff?" Meila Miska bertanya setelah melihat wajah putranya yang tidak gelisah. "Sudah, El naik ke atas dulu ya? Sudah capek," jawab El sambil berjalan menuju tangga ruangan. Meila Miska mengerucutkan bibirnya ketika melihat sikap anaknya. Kemudian, pandangannya beralih ke Rena. "Rena, naiklah ke atas dan beristirahatlah," perintah Meila Miska sambil memperhatikan El hingga ia menghilang dari pandangannya. Meila Miska tahu bahwa El tidak suka pertemuan itu menjadi besar. "Tidak apa, Bu. Saya bahkan tidak lelah. El yang menyetir dari tadi. Apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya Rena. Kasian dia melihat ibu mertuanya sibuk mengatur pesta mereka. "Tidak ada. Kamu istirahat saja. Kan baru nyampe. Lagi pula banyak yang sudah selesai dikerjakan," kata Meila Miska sambil mengusap-usap lengan menantunya. Sungguh sebuah berkah memiliki menantu yang ringan tangan seperti Rena. "Emmm... Oke, kalau Ibu ada butuh bantuan, jangan sungkan panggil saya saja," kata Rena sambil tersenyum manis. "Aaaa... Terima kasih Ibu sudah mengadakan acara ini untuk kami," kata Rena lagi. Rena merasa bersalah karena ia tidak banyak membantu dalam penyelenggaraan acara ini. "Tidak masalah. Ibu yang ingin mengadakan acara ini," jawab Meila Miska membalas senyum Rena. "Rena, kalau El melakukan sesuatu yang menyakiti hati mu, bilang sama Ibu," Meila Miska tiba-tiba menyinggung soal anaknya. Ia bisa merasakan bahwa hubungan Rena dan El sedang dingin. Ia khawatir El akan bersikap kasar pada Rena. ***** Resepsi El dan Rena kali ini sangat meriah. Mereka terpaksa harus menampakkan wajah bahagia, seolah-olah mereka adalah pasangan yang berbahagia dan harmonis serta selalu menyunggingkan senyum di wajah dihadapan para tamu undangan yang hadir, meski di dalam hati mereka menolak pernikahan dan resepsi ini. Beberapa kali Meila Miska juga berpesan ke El agar selalu tersenyum sebelum naik ke pelamin tadi. Waktu menunjukkan hampir pukul empat sore. Para tamu mulai beranjak pergi. Rena juga sudah berganti pakaian. Ia pergi ke dapur untuk membantu anggota keluarga yang lain mengemas makanan, mencuci dan membersihkan apa pun yang diperlukan. Ia merasa tidak nyaman duduk dan melihat orang lain melakukan pekerjaan itu. Saat resepsi Rena dan Farish dulu, mereka berdua membantu penduduk desa mencuci panci dan wajan. Farish sangat ringan tangan dan membantu berbagai pekerjaan sebelum resepsi. Rena menyukai sifat ringan tangan Farish. Farish adalah pria yang sangat bertanggung jawab. Karena itu, hati Rena mudah tertarik pada Farish sejak hari pertama ia menjadi istrinya. "Abang, Rena merindukan Abang." Hati Rena berbisik. Ia mengeluh pelan saat tangannya membungkus makanan dengan perlahan. Saat ia berganti pakaian di kamar tadi, ia melihat El sudah berbaring di tempat tidur, bersantai sambil memainkan telepon genggamnya. Rena tahu kalau El sedang sibuk berchat ria dengan Anggun. Apakah El tidak malu dengan saudara-saudaranya yang lain? Semua saudaranya berusaha keras untuk membantu mengatur acara mereka. Sedangkan El tidak membantu sedikit pun. "Rena, apa El ada di kamar?" Meila Miska Ibu mertuanya bertanya ketika melihat Rena sedang membantu di dapur. "Ada Ibu," jawab Rena singkat. Meila Miska hanya mengangguk mengerti. Kemudian, ibu mertuanya menghilang dari pandangan. Wanita itu naik ke kamar anaknya. Terdengar suara ketukan di pintu. Tanpa menunggu, ia bergegas masuk ke dalam. Ia sudah kehilangan kesabaran dengan tingkah laku El sejak semalam. Dia tidak membantu sedikitpun dan malah asyik sendiri di dalam kamar. "El-Raka, kenapa kamu selalu sibuk di kamar sendiri? Kenapa kamu tidak turun untuk membantu seperti yang lain?" Tanya Meila yang berdiri di kaki tempat tidur. El yang sudah tertidur sebelumnya tersentak dan terus terbangun dari tempat tidurnya. Sambil mengucek matanya, ia merenungi wajah Meila Miska yang menatapnya. "Malu banget Ibu, tahu nggak? Rena sudah sibuk membantu di dapur. Tapi, kamu?" Meila berkata dengan marah. "Malah bermalas-malasan di dalam kamar." Lanjutnya lagi. "Tentu saja. Dia kan perempuan, sudah sepantasnya dia ikut menolong. Lagi pula, aku sudah capek, Bu. Nanti malam, aku juga yang harus menyetir mobil lagi" jawab El acuh. Matanya masih tertuju pada layar ponselnya. "Balik? Bukankah Ibu sudah bilang untuk libur setelah acara." Meila berkata dengan alis berkerut. Benar-benar menguji kesabarannya melihat sikap putra sulungnya sejak beberapa hari belakangan ini. "Tidak bisa. Masih banyak urusan rumah sakit yang harus diselesaikan dalam waktu dekat," jawab El cuek. Ia kemudian kembali melihat layar ponselnya. Jari jemarinya dengan cepat membalas semua pesan dari Anggun. Meila yang melihat tingkah laku anaknya mulai curiga. El terus melihat ponselnya sejak semalam. Nadia juga mengatakan hal yang sama kepadanya. Dan sekarang, ya dia melihatnya sendiri berkali-kali. Bahkan di tempat tidur pun kamu masih main handphone. "Bahkan sampai sekarang pun kamu masih sibuk dengan ponselmu. Kamu sibuk dengan siapa di Hpmu ?" Selidik Meila tidak sabar untuk menanyakan hal itu pada El. Matanya tajam melihat El yang asyik dengan ponselnya sejak semalam. Ia menduga El sudah bertemu kembali dengan Anggun karena saat Anggun menghilang pun, El bersikap seperti ini. "Aku sedang sibuk dengan urusan rumah sakit sekarang. Itu saja," kata El mencoba menghindar. "Jangan sampai Ibu tahu kalau aku berkirim pesan dengan Anggun. Apakah Rena yang bercerita tentang Anggun kepada Ibu?" Batin El curiga. "El, kamu kan anak Ibu. Jadi sudah sewajarnya tahu kalau...," belum sempat Meila Miska menyelesaikan kata-katanya, El sudah memotong, "Bu, sudah ngomelnya, please. Oke lah Ibu mau minta El bantuin apa ini? El mau turun sekarang. Ayo," ia bangkit dan merangkul pundak Meila. Malas dia mendengar omelan ibunya. Meila pun mengeluh. Mau tidak mau, ia terpaksa mengikuti kemauan El. Ia tahu El tidak bisa dipaksa dengan cara yang keras. Tapi, sebagai seorang ibu, ia tidak bisa melihat El tetap bersama dengan perempuan yang selalu mempermainkan perasaan anaknya. Mereka turun ke lantai bawah, El menuju ke halaman untuk bergabung bersama sanak saudara yang lain dan membantu untuk mengerjakan apa yang bisa dia lakukan. Sementara Rena masih berada di dapur bersama kerabat lainnya. Meila Miska juga ikut melangkahkan kakinya ke dapur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN