"Kalau mau terus duduk di tembok boleh," El sengaja menggoda Rena. Seketika Rena memasang wajah masam. El kembali tertawa ketika melihat wajah cemberut perempuan itu.
Ternyata dia benar-benar memanjat pagar. Hati El bersungut-sungut. Masih geli dengan apa yang terjadi.
"Sebenarnya, aku tidak mengunci pagarnya. Kamu bisa saja membuka pagar dan mengambil kunci yang ada di bawah keset. Tapi, kamu memilih untuk memanjat pagar. Bodohnya, apa kamu tipe orang yang tidak mengecek terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu?" El tertawa lagi sambil menarik pintu pagar dengan santainya. Telinga Rena terasa panas mendengar kata-kata El.
Bagaimana mungkin aku 'menikah' dengan pria yang sudah gila tak punya otak seperti dia? Ya Tuhan, jangan biarkan aku terbunuh olehnya. Rena menghela napas panjang dalam-dalam untuk mengontrol emosi.
Rena sangat marah ketika mendengar kata-kata El dan mengetahui dirinya dipermainkan seperti itu. Wanda dan Romi hanya tertawa kecil melihat tingkah laku pasangan itu.
"Jadi, silakan masuk. Lewat sini aja. Jangan memanjat pagar. Nggak lucu," sindir El lagi sambil tertawa lepas.
Sabar... Sabar... Rena menarik napas panjang dan mencoba menenangkan diri. Ia menatap Wanda dan Romi yang tertawa geli mendengar ejekan El.
Apanya yang lucu. Orang gila! Rena belum selesai mengumpat pada dirinya sendiri.
Kemudian, Wanda dan Romi membantu Rena memasukkan barang-barangnya ke dalam rumah. El hanya berdiri dan melihat mereka tanpa membantu. Setelah selesai memasukkan semua barang, Wanda pamit untuk pulang. Tinggal El, Rena dan Romi.
"Terima kasih sudah membantuku mengangkat barang," kata Rena kepada Romi sementara El memperhatikan.
"Manis sekali," jawab El sambil tersenyum mengejek.
"Baiklah, aku akan mengantarmu pulang. Besok kamu datang naik taksi ya," lanjut El berjalan menuju pintu.
Romi menatap Rena. "Oke, Rena. Aku pulang dulu ya," kata Romi sambil tersenyum. Rena membalas senyuman Romi dengan anggukan pelan.
"Ayo cepat lah...," panggil El ketika melihat Romi masih tertahan karena mengobrol bersama Rena.
"Kenapa? Cemburu?" Pertanyaan Romi sengaja dibuat untuk menduga-duga.
"Apa? Cemburu? Sorry, dia bukan tipeku. Kalau kau mau? Ambil saja. Gratis kok," jawab El sekenanya.
Gak mungkinlah aku cemburu. Anggun adalah satu-satunya yang aku cintai.
"Eh, kau El. Hati-hati kalau ngomong, nanti didengar Rena. Kasihan, dia nanti kecewa dan sedih" Romi menegur.
"Biarin aja dia dengar. Apa masalahnya?" El menjawab dengan rendah hati.
Kalaupun dia mendengar, aku tidak peduli. Jadi, dia tidak perlu menggantungkan harapannya padaku. Karena aku akan setia pada Anggun.
Namun, perkataan El terdengar oleh Rena. Rena mendengus marah. "Kalau tidak menyakitiku, hidupmu tidak tenang, kan? Apa kau ingat betapa dekatnya aku denganmu? Eeiii....," gumam Rena dalam hati.
Sudahlah mau marah, mau kesel juga percuma. Wataknya sudah seperti itu. Bagaimana bisa aku memiliki bos gila seperti dia? Sebelum menikah, dia tampak normal. Tapi, setelah menikah, dia seperti orang tidak waras!
Tapi jauh di lubuk hati Rena, dia merasa sedih. Sedih karena dia tidak dilayani dengan baik oleh El. Dia tidak mengharapkan pelayanan yang istimewa. Cukuplah El menghormatinya sebagai manusia yang ingin dihormati, bukan dipermainkan atau dipermalukan.
***
JUMAT itu, sepulang kerja, El dan Rena pergi ke rumah orang tua El yang tak lain adalah mertuanya. Hari Minggu itu adalah hari resepsi mereka. Semua staf di kantor El sudah diberitahu.
Tiba-tiba telepon genggam El berdering. Tak heran jika pria itu menjawab panggilan tersebut. Wajahnya tampak ceria.
"Halo, sayang," El menjawab telepon dengan nada ceria.
Ya, tadi malam aku berhasil menemukan Anggun. Aku menelepon teman-teman Anggun yang selalu bersama Anggun sebelum dia menghilang. Mereka bercerita bahwa Anggun sedang ada masalah keluarga. Karena itu, dia menghilang.
Anggun berasal dari keluarga yang broken home. Orangtuanya bercerai saat ia masih remaja. Karena itu, El setia dan bersedia membantu segala permasalahan Anggun. El juga mempercayai wanita itu seratus persen tanpa rasa curiga. Apa yang diceritakan Anggun atau apapun yang dikatakan Anggun, El percaya dan tidak pernah mempertanyakannya. Ia juga ingin Anggun mempercayainya seperti ia mempercayai Anggun. Tanpa disadari, itulah kelemahan El. Terlalu percaya dan terlalu setia.
"Aku sedang menyetir. Kamu sudah sehat? Maaf, aku tidak bisa menemanimu," kata El lirih. Tadi malam ia bertemu Anggun sebentar, Anggun demam dan meminta El untuk menemaninya. Namun, El tidak bisa memenuhi permintaan itu karena ia harus segera ke rumah Puan Mastura. Jika tidak, ia harus mendengarkan omelan Ibunya. Aku tidak bisa melakukannya!
Rena tetap diam. Ia melayangkan pandangannya ke luar jendela sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Jika mengikuti kata hatinya, ia tidak ingin resepsi itu berlangsung. Namun, ibu mertuanya terus memaksa dan akhirnya ia terpaksa menurutinya.
"Aku juga merindukanmu. Aku akan memberitahumu jika aku tiba nanti. Aku tidak akan lama. Hanya sebentar. Setelah acara selsai, aku kembali ke Mataram, dan aku akan langsung menemuimu. Oke, sayang?" El berkata lagi. Untuk kali ini, matanya melirik ke arah Rena.
Pantesan, akhir-akhir ini ni moodnya bagus. Rupanya, dia sudah bertemu dengan pacarnya. Alhamdulillah, sekring otaknya sudah tersambung sekarang. Semoga saja dia bisa waras lagi. Hati Rena bersungut-sungut.
"Oke, sayang. Aku juga sayang kamu. Ya tentu saja. Sayang... Jangan seperti ini. Ya, aku janji. Hanya kamu di hatiku. Yess... Oke, bye," El terus mematikan telepon dan wajahnya berbinar-binar setelah menerima telepon.
"Lusa setelah acara, kita akan kembali ke Mataram. Tolong kamu siap tepat waktu ya. Jangan terlalu banyak dandan. Aku tidak suka menunggu," kata El sambil matanya tetap fokus ke arah depan.
Aku tidak sabar untuk bertemu Anggun lagi. Aku kangen kamu sayang.
Rena tidak menjawab. Ia masih memusatkan pandangannya ke luar mobil. Ia bahkan tidak menatap wajah El.
Sayang Eeeuuwww....please!!! Rena mengejek dalam hati.
"Hei, kau dengar apa yang kukatakan?" El bertanya dengan suara agak tinggi.
Aku bicara padamu, kau mungkin tidak tahu.
"Dengar kok," jawab Rena acuh tak acuh.
Aku memang menyuruhmu untuk berbicara, tapi bukan berbicara dengan kasar padaku.
"Lain kali, ketika orang lain berbicara, tolong lihatlah wajah mereka. Itu yang disebut sopan santun. Semua staf di Rumah Sakit memiliki sopan santun, kamu yang menurutku tidak memiliki sopan santun! Selalu saja kalau bicara dengan kamu, kamu tidak melihat wajahku," El mulai mengomel. Ia sakit hati dengan jawaban singkat Rena.
Aku tidak tahan, ketika aku bicara, orang tidak melihat wajahku dan meremehkanku. Sialan kau!
"Maaf," jawab Rena perlahan.
Kalau gak cerewat seperti emak-emak mungkin hatinya tak tenang. Padahal sudah ketemu pacarnya masih saja moody.
"Maaf? Lagi? Itu saja?" Cemberut El masih bertahan. Terlihat jelas ia masih marah pada Rena.
"Aku ingin kamu tahu kalau aku sudah bertemu dengan kekasihku tercinta, Anggun. Jadi, apa yang aku bilang tadi, kamu lakukan apa yang kamu suka, aku tidak akan melarangmu. Aku dan tolong jangan ember mulutmu untuk menceritakan tentang Anggun kepada ibu atau siapapun. Kalau ada yang tahu, kamu orang pertama yang akan aku cari! Paham?" El berkata dengan sedikit terkejut. Ia melirik Rena sekilas. Wajahnya sengaja dibuat serius untuk menakut-nakuti Rena.
"Oke," jawab Rena singkat. Ia terlalu malas untuk berbincang panjang lebar dengan El. Akan ada hal-hal yang tidak menyenangkan nantinya.
"Oke..oke.. itu saja yang bisa kamu katakan." El berkata lagi. Rahangnya terlihat bergerak-gerak sambil mengatupkan rahangnya dengan kencang. Entah apa yang selama ini ia gerutu pada Rena.
Eh orang ini... Apa dia tidak kehabisan kata-kata? Menyebalkan sekali! Rena membentak pada dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, mereka tiba di tempat tujuan. Begitu El memasuki halaman, beberapa tenda telah didirikan memenuhi area tersebut. Ditata layaknya sebuah pesta besar.
Banyak sekali tenda-tenda itu. Wah bakal jadi acara resepsi besar ini . Hati Rena mulai menciut. Ia mulai merasa tidak nyaman dan berdebar-debar. Lalu, mereka berdua turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah.