"Siapapun yang jadi menantu Ibu, Ibu sudah katakan. Kamu harus bertanggung jawab dan selesaikan semuanya hari ini juga!" Meila Miska berkata dengan tegas. Ia sudah lelah memikirkan putra sulungnya. Ini adalah ketiga kalinya rencana pernikahan El ditangguhkan. Hal ini membuat Meila Miska dan suaminya, Ibrahim Samad, merasa malu untuk menjelaskan kepada sanak saudara mereka. Kali ini, Meila Miska tidak lagi peduli dengan siapa El akan menikah. Ia hanya ingin pernikahan tetap berjalan sesuai rencana. Itu saja.
Karena terdesak, El terpaksa meminta bantuan Rena. Awalnya, Rena enggan karena permintaan itu tidak masuk akal. Bagi Rena, pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah. Lagipula, Rena pernah menikah dan pasangannya tidak bertahan lama karena suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dan dia masih mencintai mantan suaminya, Faris.
Namun, ketika dia melihat wajah El, yang benar-benar mengharapkan bantuannya, Rena merasa kasihan dan menerima lamaran itu dengan terpaksa. Ia pun terjebak dengan tindakannya sendiri.Semua seakan sudah direncanakan karena secara kebetulan kakak kandung Rena, Hafis, hadir menemani Rena dalam kenduri tersebut dan entah mengapa Hafis juga setuju untuk melangsungkan pernikahan mereka.
"Abang sebenarnya sudah lama memperhatikan Rena dan El. Karena kalian berdua, kalau keluar rumah selalu berdua. Abang tidak mau timbul fitnah nantinya. Ada baiknya jika Rena menikah dengan El," ujar Hafis, mengungkapkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam hatinya. Benar, ia khawatir status Rena akan membuat orang lain memandang sebelah mata pada adiknya.
Sepanjang tidak memikirkan urgensi El untuk menikah denganku? Bukan karena kami saling mencintai. Hati Rena terasa sakit.
Ia masih berharap Hafis menentang keputusannya yang dipaksakan itu. Namun, Hafis malah setuju. Rena berdiam diri di balik pintu. Masih mendengarkan percakapan El dan Romi tadi. Entah kenapa hatinya sedikit luluh saat mendengar kata-kata El.
Kenapa aku harus bersedih? Aku juga tidak memiliki hati untuknya. Aku setuju menikah dengannya karena aku ingin menolongnya. Tapi kenapa aku begitu bodoh untuk menolongnya? Rena tiba-tiba merasa marah pada dirinya sendiri. Tidak peduli apa pun yang terjadi, semuanya tidak bisa ditunda lagi. Mereka telah sah menjadi suami istri.
"Aku pikir Rena adalah pilihan yang tepat untukmu. Selama dia bekerja denganmu, aku rasa dia adalah wanita yang baik. Jaga shalatnya, jaga harga dirinya, jaga batasannya. Saya harap kamu bisa memberikan kesempatan kepada dirimu sendiri untuk menilai Rena," bujuk Romi lagi.
Sebenarnya, Romi sendiri telah jatuh cinta pada Rena sejak ia mulai bekerja di perusahaan El. Namun, takdir tidak berpihak pada Romi. Romi pasrah dan menerima semua takdir. Ia hanya berharap sahabatnya itu bisa menghargai Rena.
Tolonglah El buka matamu. Nilailah sendiri antara Rena dan Anggun. Romi membatin dalam hati.
"Aku sebenarnya tidak ada niat menikahinya, Rom. Aku tidak mungkin mencintainya. Dia bukan pilihanku. Tidak pernah terlintas dalam benakku untuk menikah atau jatuh cinta padanya," El masih belum bisa menerima kenyataan yang terjadi. Ia lupa bahwa apa yang terjadi adalah kesalahannya sendiri.
Rena tersentak mendengar kata-kata El.
Aku yang menjebak diriku sendiri? Pertanyaan itu mulai bermain di benak Rena. Apakah itu salahku ketika aku mengambil keputusan untuk setuju menikah dengannya? Ya, bukan karena cinta. Tapi, karena terdesak dan butuh pertolongan. Eh, apa yang salah dengan saya? Seolah-olah semuanya adalah kesalahan saya karena mencoba membantu dan akhirnya saya terjerat sendiri. Sebuah desahan berat keluar dari d**a yang semakin sesak.
Rena perlahan melangkah kembali ke ruang tamu untuk menemui para tamu yang masih belum surut sejak pagi tadi. Ia berusaha memasang wajah manis untuk menyapa setiap tamu yang hadir. Untungnya tidak ada suara-suara sumbang yang menyindir pernikahan mereka. Jika tidak, Rena pasti akan semakin tertekan.
"Mana El? Banyak tamu yang ingin bertemu dengan pengantin pria. Apa Rena sudah menelepon dia?" Pertanyaan Meila Miska itu sama seperti melihat Rena menuruni tangga. Dia melihat mertuanya yang mengenakan busana kebaya berwarna krem yang memancarkan keanggunan dan kelembutan pada penampilannya. Busananya dihiasi dengan sulaman bunga-bunga yang halus dan rapi, memberikan kesan elegan dan mewah pada penampilannya.
Rambutnya diatur rapi ke belakang, disanggul dengan gaya yang simpel namun tetap terlihat cantik. Wajahnya yang menua tidak mengurangi pesona yang ia miliki, bahkan memberikan kesan bijaksana dan anggun yang begitu menawan. Riasan make up yang ia kenakan terlihat natural dan memberikan kesan wajah yang bercahaya dengan aura keanggunan yang khas wanita paruh baya.
Setiap gerakannya terlihat begitu lembut dan gemulai, seakan-akan menyiratkan kebijaksanaan dan pengalaman hidup yang ia miliki. Namun, ia tetap memiliki aura kuat yang memancarkan rasa percaya diri dan keberanian yang menginspirasi orang di sekitarnya.
Rahang Rena ternganga ketika ditanyai oleh mertuanya. "Aku sudah meneleponnya, Nyonya. Eh, ibu. sebentar lagi dia turun," jawab Rena agak kikuk.
Meila Miska tersenyum. "tak apa, awalnya kamu tidak bisa memanggilnya Ibu, tapi nanti kamu akan terbiasa," kata Meila Miska dengan penuh kasih sayang, sambil mengusap pundak Rena dengan lembut. Rena tersenyum lega. Memang, Meila Miska selalu sangat menyayangi Rena. Dia telah berurusan dengan wanita itu beberapa kali. Meila Miska juga yang merekomendasikan Rena kepada El untuk menjadi manajer pribadi El di kantor. Meila Miska juga mengetahui status Rena sebagai seorang janda yang telah ditinggal mati suaminya. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan status tersebut, jika seorang perempuan pandai membawa diri. Ia juga sangat nyaman dengan sikap Rena. Alhamdulillah, Rena selamat menjadi menantu Meila Miska atas izin-Nya.
Rena bersyukur karena Meila Miska begitu baik dan juga karena kasihan pada wanita itu sehingga ia setuju untuk menikah. Meila Miska jugalah yang membantu Rena mendapatkan pekerjaan saat ia kesulitan. Maklum, setelah kehilangan suaminya, Rena terpaksa bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Meski Hafis ingin membantu, Rena lebih nyaman untuk mandiri.
Saat semangat suaminya masih ada, semua kebutuhan rumah disediakan oleh Farish. Alhamdulillah, dia orang yang sangat baik, penyayang, lembut, dan mendukung Rena dengan baik.
Abang, apakah keputusan Rena ini sudah tepat? Abang adalah pria terbaik dalam hidup Rena. Maafkan Rena yang tiba-tiba menerima laki-laki lain. Rena terjebak, Abang. Aku rindu abang. Kenapa abang meninggalkan Rena? Rintih hatinya yang mulai diserbu kesedihan.
"Kak Rena, kamu tidak apa-apa?" Tentang Nadia, adik perempuan El. Seorang gadis berusia 22 tahun yang masih menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta di kota itu. Adik perempuan dari mempelai laki-laki tersebut juga memiliki pesona yang tak kalah memukau seperti kakaknya. Ia memakai gaun panjang berwarna biru laut yang mengalir dengan indah saat ia berjalan. Gaun tersebut memiliki desain yang sederhana namun tetap elegan, dengan detail renda putih yang terlihat lembut di bagian bawah gaun.
Dia memakai jilbab dengan gaya yang simpel, namun tetap terlihat cantik dengan aksesori bunga putih di bagian atas. Wajahnya yang imut dan manis dipercantik dengan riasan make up natural yang memberikan kesan wajah yang segar dan cerah.
Seperti kakaknya, ia juga memiliki postur tubuh yang ramping dan elegan, dengan lekuk pinggang yang indah dan bahu yang lembut. Saat berjalan, setiap gerakan tubuhnya terlihat begitu anggun dan gemulai, seakan-akan menyatu dengan musik yang sedang diputar.
Meskipun adik perempuan dari mempelai laki-laki tersebut memiliki pesona yang berbeda dengan kakaknya, namun keduanya sama-sama memancarkan keindahan yang luar biasa dan menawan. Ia adalah pengiring pengantin yang cantik dan mempesona, memberikan kesan harmoni dan keindahan yang sempurna pada acara pernikahan tersebut.
Sungguh, dia lebih baik dari gadis lain. Aku sebenarnya tidak suka dengan Anggun. Berkali-kali dia berjanji pada abang El tentang pernikahan ini. Lalu, dia mengingkari janjinya lagi! Aku rasa Ibu dan Ayah tidak akan memaafkannya. Dia sudah keterlaluan. Senang merusak keluargaku saja! Nadia bergumam dalam hati. Ia menatap wajah kakak iparnya sambil tersenyum manis.
"Eh, Nad. Oke... Aku tidak apa-apa. Aku cuma mau minta tolong sama Nadia, boleh?" Tanya Rena sambil menggenggam tangan Nadia dengan lembut
.
"Boleh, Kak?" Tanya Nadia.
"Panggilkan Kak El. Dia ada di beranda atas lantai dua," pinta Rena.
Semoga Nadia tidak ragu. Aku tidak ingin mempertanyakannya dalam situasi seperti ini.
Nadia tertawa kecil. "Oh, ingatkan aku apa itu tadi. Oke, Nadia panggil Kak El. Aku akan ke luar, aku akan menemui pengantin wanita yang manis ini," bisik Nadia sambil tersenyum. Rena tersipu malu.