"Mi, jawab. Maksud Mami teh apa, dengan mengatakan tiga bulan lagi Mami sudah tidak ada di sini."
"Bukan apa-apa!" Meera kembali berbaring, ia memunggungi Banyu.
"Mi, kita sudah sepakat untuk terbuka tentang apa saja. Jangan sembunyikan apapun dari Papi, Mi."
Meera kembali bangun dari berbaringnya.
"Kamu lupa, aku amnesia, aku tidak punya ingatan tentang apapun juga. Ucapan itu hanya terlontar begitu saja dari mulutku!" Meera hampir berteriak di depan Banyu.
'Meera ....'
Meera menarik dalam nafasnya, saat terdengar suara pria baju putih menyebut namanya.
"Sabar atuh, Mami. Papi cuma bingung saja. Jangan marah ya, Sayang. Nanti cepat tua. Senyum dong, istri Papi yang cantik, dan imut ini. Doakan Papi dapat rezeki lebih ya, biar kita bisa cepat beli AC." Banyu menjawil dagu Meera dengan ujung jari telunjuknya.
Meera menepiskan tangan Banyu.
"Jauh-jauh sana, aku mau tidur!" Meera kembali berbaring. Banyu juga berbaring di sebelahnya.
Tapi, mata Meera tetap terbuka, ia menatap dinding. Ia mengingat apa yang terjadi padanya, hingga jiwanya bisa pergi dari raganya. Sebuah nama muncul di benaknya.
'Kareem Muhammad'
Pria itu adalah pria yang akan bertunangan dengannya sesaat sebelum kecelakaan terjadi. Pria yang dipilihkan Papinya. Usianya tiga puluh tahun. Tampan, dan mapan. Tapi, Meera tidak merasakan ada getaran di dalam hatinya untuk Kareem.
Perlahan, mata Meera mulai terpejam, hujan membuat rasa gerah menghilang, dan mengundang kantuk datang.
****
Di Jakarta.
Tania Estika, Mami Meera tengah menangis di sisi tubuh putrinya yang koma. Ada alat medis yang menempel, pasca operasi setelah kecelakaan yang dialaminya. Meera belum juga bangun dari koma.
"Mi, Mami harus istirahat." Serena, menantu Tania yang asli Turki, namun sudah bisa berbahasa Indonesia, menyentuh bahu ibu mertuanya
"Mami tidak ingin meninggalkan dia. Mami ingin, saat dia terbangun, Mami orang pertama yang dia lihat."
"Mi, Mami harus makan, harus istirahat kalau Mami ingin melihat dia bangun. Kalau Mami sakit, bagaimana Mami bisa melihatnya. Ayolah, Mi. Mami pulang, dan istirahat dulu. Biar aku, dan Bang Maalik yang menjaga Meera," bujuk Serena. Diusap lembut bahu ibu mertuanya. Ibu mertua yang sangat baik bagi Serena.
Tania menatap lekat wajah putrinya. Putri bungsu yang sangat ia sayangi.
"Mami pulang sebentar ya, Sayang. Kak Serena, dan Bang Maalik yang akan menjaga Meera. Terus berjuang ya, Sayang. Mami yakin, Meera pasti sembuh. Tak apa kalau Meera tidak ingin menikah dengan Kareem. Yang penting Meera bahagia. Mami sayang Meera." Tania mengusap lembut pipi putrinya. Lalu ia raih jemari Meera, ia kecup dengan lembut.
Setelah itu ia bangun dari duduknya. Serena membimbing lengan ibu mertuanya menuju pintu. Di luar pintu, Maalik menyambut Maminya.
"Aku antar Mami pulang dulu ya. Kalau ada apa-apa telpon saja."
"Iya, Bang."
"Titip Meera ya Serena."
"Iya, Mi. Mami jangan khawatir. Mami istirahat ya."
"Terima kasih, Sayang." Tania mengusap pipi Serena.
"Kami pergi dulu, assalamualaikum," pamit Maalik.
"Walaikum salam."
Maalik melangkah dengan membimbing lengan Maminya.
****
Meera membuka matanya, ia baru saja bermimpi melihat Maminya menangis di sisi tubuhnya yang terbaring tak berdaya, dengan alat medis terpasang di tubuhnya.
Air mata jatuh di sudut mata Meera, mimpi itu begitu nyata baginya.
'Apa itu bukan mimpi, mungkinkah itulah kondisiku saat ini. Mami ... maafkan aku, sudah membuat air mata Mami jatuh lagi. Aku rindu Mami ....'
Tanpa sadar, Meera terisak, tubuhnya berguncang, membuat kasur jadi bergoyang. Dan, hal itu membuat Banyu terjaga dari tidurnya.
"Mi ...." Banyu meraih bahu Meera. Lalu ia bangkit dari berbaringnya. Diambil guling pembatas di antara mereka berdua.
"Aya naon, Mami Sayang?" Banyu kembali berbaring, kali ini tepat di belakang Meera. Dadanya menempel di punggung Meera. Disibak rambut yang menutupi leher, dan bahu Meera.
"Mi, ada apa? Bicara sama Papi, Mi. Katakan apa yang membuat air mata bidadari Papi ini jatuh," bujuk Banyu. Banyu memaksa Meera agar berbaring telentang. Meera telentang, diusap air matanya. Banyu mengangkat kepala Meera ke atas lengannya.
"Mami sedih, karena Mami amnesia. Buat Papi teu masalah, asal Mami masih cinta Papi, masih sayang anak-anak, masih mau menjadi istri Papi."
Meera memalingkan wajahnya, ia merasa jengah karena wajah Banyu terlalu dekat dengan wajahnya. Apa lagi, Banyu hanya memakai celana dalam saja.
Meera menarik nafasnya, meyakinkan penciumannya, kalau Si Tukang sayur ini, aroma tubuhnya ternyata wangi juga. Tidak kecut, asam, atau apek.
"Wajah Mami merah merona, persis seperti saat malam pertama kita. Apa Mami mulai ingat sesuatu, apa malam pertama kita yang Mami ingat. Malam itu pertama kalinya Papi ciuman, dan pertama kali juga bagi Mami. Mami ingat?"
"Jangan memaksa aku untuk mengingat!" Sergah Meera ketus.
'Meera ....'
"Arghhhh!" Meera berteriak frustasi, karena si pria berpakaian putih selalu mengamatinya.
"Mi!" Banyu memeluk Meera, tangis Meera pecah seketika. Banyu mendekap kepala istrinya. Banyu tahu, tidak mudah berada di dalam situasi seperti yang tengah istrinya alami saat ini.
BERSAMBUNG