Satu bulan kemudian….
“Katanya, kamu sedang butuh uang?”
Pertanyaan Haris Adhitama alias bosnya membuat Risa mengernyit. Baik, semua orang sudah pasti butuh uang. Masalahnya adalah … kenapa bosnya tiba-tiba membahas ini?
“Pak Haris tahu dari mana?” tanya Risa kemudian.
Sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, Haris menjawab, “Kamu mengajukan pinjaman, bukan? Pihak bank mengonfirmasi apakah kamu sungguh karyawan tetap atau kontrak. Mereka menanyakan karena berkaitan dengan potensi kamu bisa melunasi utangnya atau tidak.”
Risa memang sempat mengajukan pinjaman ke bank satu bulan yang lalu, tapi baru mendapatkan keputusan ditolaknya baru-baru ini.
“Ma-maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau pihak bank sampai menghubungi Bapak.” Risa jadi merasa tak enak dan tentu saja malu.
“Sebenarnya pihak bank menghubungi bagian personalia. Saya tahu soal ini dari teman saya yang memang mengurusi calon debitur di bank itu,” jelas Haris.
“Tapi pinjamannya nggak di-ACC, kok, Pak,” ucap Risa yang memang adalah fakta.
“Ya, memang saya yang meminta pihak bank agar jangan sampai menyetujui pengajuanmu.”
Risa tentu merasa heran. “Memangnya kenapa, Pak?”
“Kenapa tidak mengajukan pada perusahaan saja?”
“Sudah, Pak. Tapi saya kebetulan sedang butuh uang dengan nominal yang nggak sedikit.”
“Memangnya untuk apa? Saya boleh tahu?”
“Untuk biaya pengobatan ibu,” jujur Risa. “Sebagian besar biayanya memang ditanggung BPJS, tapi ada beberapa hal dan keperluan lain yang nggak ter-cover.”
“Seharusnya kamu bilang pada saya. Saya pasti akan membantumu tanpa perlu mengajukan pinjaman ke sana-sini.”
Memangnya boleh seperti itu? Jujur saja, Risa mana mungkin berani tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba bilang pada bosnya kalau dirinya sedang butuh uang. Jelas Risa sungkan. Apalagi mereka tidak terlalu akrab, selayaknya bos dengan bawahannya saja.
“Jangan sungkan, katakan saja berapa nominal yang kamu butuhkan,” kata Haris lagi.
Apa ini memang salah satu sifat baik Haris yang baru Risa ketahui? Selain itu, apa Haris memang begini ke semua bawahannya? Jangan-jangan bosnya itu punya maksud tertentu.
Bagaimana tidak, setelah mendampingi bosnya meeting dengan klien di salah satu restoran mahal, seharusnya Risa pulang. Namun, bosnya malah meminta agar Risa jangan pulang dulu. Risa juga diminta tetap duduk manis di kursi samping kemudi sambil jangan banyak bertanya dulu. Entah ke mana sang bos akan membawanya pergi.
“Saya sudah menyelesaikan masalah finansial saya, Pak. Jadi, terima kasih,” tolak Risa se-sopan mungkin.
Alih-alih menjawab, Haris mengeluarkan ponselnya. Sambil menyetir dengan hati-hati, pria itu membuka m-banking lalu menyerahkan ponselnya pada Risa.
“A-apa maksudnya ini, Pak?”
“Lihat dulu.”
Risa kemudian mengambil alih ponsel bosnya lalu melihat layarnya. Di situ tertulis form transfer dengan nomor rekening yang Risa hafal betul kalau itu adalah nomor rekeningnya. Bahkan, nama penerimanya pun jelas namanya.
“Kamu hanya perlu memasukkan nominal yang kamu inginkan. Berapa pun,” ucap Haris kemudian.
“Eng-nggak usah, Pak. Serius. Saya udah nggak bermasalah dengan keuangan lagi.” Kenyataannya Risa memang telah mendapatkan uang yang dibutuhkannya, walaupun dengan cara yang bukan Risa banget.
“Haruskah saya mengetik sendiri nominalnya? Seratus, dua ratus atau lima ratus juta? Katakan atau ketik sendiri.”
Tentu saja Risa terkejut. Bosnya pasti sedang bercanda, kan? Mana mungkin meminjamkan uang sebanyak itu padanya.
“Ah, satu hal yang harus kamu tahu. Saya memberinya secara cuma-cuma, bukan meminjamkannya. Jadi, kamu bebas mengetik berapa pun yang kamu mau.”
Tak bisa dimungkiri kalau soal uang, siapa yang tidak membutuhkannya? Risa nyaris tak punya tabungan karena uangnya selalu terpakai untuk biaya pengobatan ibunya. Hanya saja, bagaimana mungkin Risa menerima uang secara cuma-cuma dari bos yang sama sekali tak akrab dengannya.
“Kenapa tiba-tiba Pak Haris begini?” Risa sampai tidak habis pikir. Apa bosnya kerasukan?
“Karena saya sedang butuh bantuan kamu. Sangat butuh dan sekarang juga.”
“Bantuan apa, Pak?”
Haris tidak langsung menjawab, mobil yang dikemudikannya kini berbelok memasuki sebuah rumah mewah dan tentunya sangat megah. Jarak gerbang ke pintu utamanya pun lumayan jauh.
Ini rumah siapa?
Tak lama kemudian, mobil pun berhenti di tempat khusus parkir di mana sudah ada mobil-mobil lain yang terparkir di sana.
“Sekarang juga … saya akan membawamu menemui keluarga besar saya.”
“Tunggu, membawa aku?” Tentu Risa terkejut. Kenapa ia harus dibawa padahal bukan siapa-siapa? Maksudnya apa, sih?
“Ya, saya akan membawamu masuk,” jawab Haris. “Di dalam sana … saya akan memperkenalkanmu pada mereka semua bahwa kamu adalah calon istri saya.”
“A-apa?”
“Jadi kamu hanya perlu mengatakan pada mereka kalau sebentar lagi … kita akan menikah.”
“Pak Haris bercanda, kan?” Sungguh, menurut Risa lebih masuk akal kalau ini adalah prank. Sekalipun tidak ada alasan bagi bosnya untuk nge-prank, tapi tetap saja … mustahil yang bosnya katakan adalah serius. Itu pasti lelucon!
“Bercanda? Saya serius, Risa. Saya berencana menikahimu.”
Sungguh, kekonyolan macam apa ini?
Di antara banyak wanita … kenapa harus saya, Pak?
***
Fito menjemput bosnya yang baru pulang dari luar negeri. Ia mengemudikan mobilnya perlahan meninggalkan bandara. Setelah malam panas itu, Daffin memang berangkat ke luar negeri.
“Apa Tuan mau langsung pulang ke apartemen?”
“Memangnya mau ke mana lagi? Saya lelah dan tentunya merindukan tempat tidur yang sudah satu bulan ditinggalkan.”
“Apa Tuan belum mendengar? Tuan Haris … sore ini akan membawa calon istrinya ke mansion Adhitama.”
Daffin mengernyit. “Sejak kapan saya peduli dengan urusan anak emas itu? Selain itu, memangnya dia punya pacar? Saya rasa itu hanya perempuan yang dibayar untuk berpura-pura menjadi calon istrinya.”
“Se-sejujurnya … aduh, saya bingung haruskah memberi tahu atau tidak.”
Daffin yang semula bersandar dengan tenang, langsung menegakkan posisi duduknya. “Katakanlah. Beri tahu saya sebenarnya ada apa?”
“Calon istrinya….”
“Calon istrinya kenapa? Bisakah langsung saja, Fito? Jangan membuat saya kesal!”
“Calon istrinya tampak tidak asing, Tuan. Di-dia … coba Tuan lihat sendiri fotonya di grup keluarga.”
Tanpa menjawab, Daffin segera membuka ponselnya. Ia akhirnya membuka grup yang selama ini hampir tak pernah dibukanya.
“Apa-apaan ini? Kenapa perempuan yang pernah menjadi teman seranjang saya ada di sini?!” Daffin bukan hanya terkejut, melainkan tidak terima juga.
“Tuan tahu sendiri Risa bekerja di AG.”
“Putar balik, kita ke mansion sekarang!” pungkas Daffin.