POV ( Sudut Pandang ) TUAN CLOUDE ( Aku = Tuan Cloude )
“Bapa Michael, mari kita ke lantai dua!” seru Lauren yang segera disambut anggukkan kepala dari Bapa Michael.
Sedangkan Daniel mendekatiku dan meminta aku, istriku, serta Lou untuk berdoa bersama di ruang tamu seperti yang dilakukan sejak hari pertama pengusiran iblis. Namun entah mengapa, hatiku tak tenang dan rasanya ingin menyusul ke lantai dua. Seakan ada hal yang selalu membuatku terusik dan ingin melihat Jane. Semenjak aku dan istriku sakit, kami sudah tidak melihat putri kesayangan kami. Jane diikat di tempat tidurnya dan tidak boleh ada yang ke kamarnya.
Begitu yang dilakukan semenjak Jane dinyatakan kerasukan iblis. Meski aku tidak tega, tetapi tidak ada pilihan lain untuk menolong. Aku tidak berdaya sejak dokter menyatakan putriku sakit jiwa. Terdengar logis setelah mengalami pelecehan, kemudian putriku mengalami gangguan kejiwaan. Aku tidak percaya hal itu, dan ketika seseorang mengatakan kondisi Jane seperti kerasukan iblis, aku dan istriku mulai meminta bantuan dari orang-orang yang mengerti hal gaib.
Saat aku duduk di samping istriku dan hendak berdoa, pikiranku masih berkecamuk. Seperti biasa, kami berempat membaca doa sesuai arahan. Daniel yang mengarahkan doa apa saja yang hendak kami baca. Aku mencoba memfokuskan diri, tetapi rasanya sangat sulit.
Beberapa puluh menit kemudian, aku memberanikan diri untuk membuka mata perlahan. Keinginan untuk naik ke lantai dua menuju kamar Jane makin kuat. Aku meninggalkan istriku, Lou, dan juga Daniel yang masih berdoa secara khusyuk. Aku berjalan pelan-pelan menaiki tangga untuk sampai di depan kamar Jane.
Sesampainya di depan pintu kamar, aku mencoba mendengarkan percakapan yang mengerikan. Entah itu suara siapa, aku belum paham. Aku menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas.
“Ha ha ha ha ... kalian tak akan bisa mencegah, bahkan menghentikan niatku! Aku dan dia, pasti memenangkan apa yang kami inginkan. Ha ha ha ha ....” Suara besar dan menggelegar terdengar menyeramkan dari dalam kamar putriku.
“Diam! Iblis penipu! Kalian tak akan bisa menguasai tubuh Jane!” seru Lauren, sedangkan suara Bapa Michael masih terdengar mengucapkan doa dengan bahasa Latin.
Seketika suara menyeramkan itu berubah menjadi suara lembut yang kukenal. Ya, suara Jane kesakitan minta tolong. Aku mendengarkan dengan saksama agar tidak salah menduga.
“Tolong ... sakit ... Papa ... Mama ... lepaskan aku ... sakit ....”
Aku yang mendengar suara Jane yang kesakitan itu langsung menerobos masuk, membuka pintu kamar karena khawatir. Betapa terkejutnya Bapa Michael dan Lauren melihat ke arahku yang masuk secara tiba-tiba.
“Jangan ke sini!” teriak Lauren kepadaku.
Namun seakan terlambat diucapkan. Aku sudah melihat Jane yang diikat dengan tali di ranjang dan ranjang itu melayang ke udara sekitar satu setengah meter dari lantai. Jane—putriku melotot dengan mata yang putih semua. Wajahnya penuh guratan urat biru yang menakutkan. Dia seperti bukan Jane. Wajah itu menyeringai dan berucap, “Papa selamatkan aku. Tolong ....”
“Jangan terkecoh, Tuan Cloude. Itu bukan Jane!” Peringatan dari Lauren tidak lagi kudengar.
Seakan terhipnotis, aku berjalan mendekat dan menatap Jane dengan iba. Mengapa Tuhan membiarkan putriku mengalami semua ini? Mengapa putriku tersiksa seperti itu?
Saat aku hendak memegang ranjangnya agar bisa turun kembali, Jane pun berteriak dengan suara menakutkan. “Dasar manusia bodoh tak berguna! Harusnya kau bunuh Michael tadi!”
Aku tersentak dan terkejut mendengar suara itu. Aku mundur beberapa langkah dengan gemetar melihat tubuh putriku ternyata bukan lagi putriku.
“Ja-Jane .... Jane?” lirihku sambil menatap putri semata wayang yang saat ini menjadi jauh berbeda. Aku mencoba memastikan tubuh itu masih putriku.
“There is no Jane! Jane ia death!” kata sesuatu yang menguasai tubuh Jane.
Aku pun terjatuh dan terduduk karena syok. Bapa Michael mengisyaratkan untuk Lauren membawaku pergi dari kamar. Wanita buta yang bisa melihat itu langsung menolongku berdiri dan keluar dari kamar Jane.
“Tuan Cloude, Anda tidak apa-apa?” tanya Lauren memastikan kondisiku.
Aku bergetar hebat. Rasanya tangan dan kakiku susah bergerak, tetapi tubuhku gemetar. Lauren segera menggandeng tanganku untuk mengajak keluar kamar Jane dan turun ke ruang tamu. Sesampainya di sana, Lauren langsung memperingatkan aku lagi.
“Tuan Cloude? Jangan pernah masuk ke kamar Jane lagi, ya? Dia saat ini bukan Jane. Tolong percaya pada kami. Daniel ... Daniel ... tolong temani Tuan Cloude ....” seru Lauren memanggil suaminya.
Aku masih gemetaran. Seluruh tangan dan tubuhku seakan tak bisa dikendalikan untuk tenang. Daniel menghentikan doanya saat Lauren memanggil. Lalu lelaki itu menghampiriku.
“Astaga, Tuan Cloude ... Baik, Lauren. Aku akan menemani Tuan Cloude. Sekarang sebaiknya kamu kembali bantu Bapa Michael saja. Aku dan yang lain akan mengurus Tuan Cloude,” jawab Daniel yang diikuti Nyonya Cloude dan Lou berhenti berdoa sejenak untuk membantuku duduk, minum, dan didoakan bersama.
Itu yang terjadi tadi malam. Hingga saat ini matahari mulai menyingsing dan ayam mulai berkokok, aku belum bisa tidur. Kejadian di luar nalar yang kulihat semalam membuat mataku tak bisa terpejam. Hanya rasa takut yang terus membayangi dan hinggap di benakku.
Aku masih takut dan berjaga. Sedangkan Bapa Michael dan Lauren di kamar putriku sampai pukul setengah empat pagi, lalu mereka beristirahat. Aku masih bergulat dengan gejolak batinku.
Jane putri semata wayangku yang malang ... mengapa semua menjadi seperti ini? Mengapa kau mengalami hal buruk hingga kerasukan? Tuhan, mengapa putriku harus mengalami semua ini? Meskipun tiga dari empat pelaku kejahatan itu sudah meninggal secara mengenaskan, tetapi rasanya masih tidak adil. Pelaku keempat, harus ditemukan! Iya. Harus! Aku mengepalkan tanganku karena merasa semua tidak adil.
Entah mengapa aku merasa tersulut emosi karena melihat penderitaan putriku? Ya, Tuhan ... aku harus bagaimana? Hal baik dan buruk serta pemikiran ikhlas dan dendam silih berganti di benakku. Waktu bergulir dengan cepat. Tepat saat ayam berkokok kembali, pintu kamarku diketuk.
Tok ... tok ... tok ....
“Papa, bukakan pintu .... ayo kita sarapan. Sudah jam enam pagi,” kata istriku sambil mengetuk pintu.
Aku segera bangkit dari ranjang, lalu berjalan ke arah pintu. Membuka pintu perlahan. Istriku berada di depan dan membawa nampan berisi segelas s**u dan setangkap roti isi.
Aku pun mengambil alih membawa nampan itu dan mengajak istriku ke ruang tamu saja, tempat yang lain berkumpul. “Kita ke ruang tamu saja.”
“Papa beneran sudah tidak apa-apa?”
“Iya, sudah tak apa. Lebih baik di ruang tamu saja,” ucapku mencoba meyakinkan.
Kami pun ke ruang tamu. Ternyata setelah kejadian aku yang ketakutan tadi malam, ada satu hal lain terjadi. Bapa Michael terkena pecahan vas saat mendoakan Jane, begitu kata Lou sambil mengganti perban di tangan Bapa Michael.
“Bapa, maafkan saya semalam ....” Aku merasa menyesal.
“Tak apa, Tuan Cloude. Itu bukan salahmu. Kami jadi tahu, apa yang sedang direncanakan oleh iblis di dalam tubuh Jane,” jawab Bapa Michael dengan bijak.
Sungguh, Bapa Michael tak marah padaku. Aku justru malu hendak bahkan sudah marah serta berburuk sangka kepada seorang pastor yang mau berbaik hati membantu keluargaku, terkhususnya Jane. Aku pun kembali menyesali perbuatanku yang gegabah.
“Saya sudah berdosa. Meski benar perkataan orang di kampus, tidak seharusnya saya marah kepada Bapa Michael,” ujarku sambil berlutut menghadap Bapa Michael.
“Jangan seperti itu, Tuan Cloude. Berdirilah,” kata Bapa Michael sambil berdiri menghampiri aku.
“Tuan Cloude, jangan seperti ini. Ayo berdiri,” ucap Daniel juga membantuku berdiri.
Aku masih berlutut dan menundukkan kepala. Aku menyesali bahwa ada niatan buruk di hatiku. Niatan buruk yang hampir saja menjerumuskan diriku ke dalam lembah dosa karena dendam. Benar atau tidak soal pelaku pelecehan yang masih hidup adalah keponakan dari Bapa Michael, aku tak berhak menghakimi bahkan menyalahkan pastor itu.
Aku merasa hampir saja iblis itu menguasai rasa amarahku dan memanfaatkan dendam agar bisa melukai orang yang hendak menyelamatkan keluargaku. Kalau aku terlena, bisa jadi tadi malam menjadi pertumpahan darah karena khilaf.
“Tuan Cloude, saya bersyukur jika Anda menyadari hal itu. Tuhan membantu Anda untuk melihat hal yang tak harus Anda lakukan, yaitu dendam. Hari ini adalah hari ketiga, mari kita gempur iblis itu dengan doa tanpa henti. Semoga Jane segera bisa kembali seperti semula,” tegas Lauren dengan penuh harap. Aku melihat keyakinan dalam setiap ucapannya. Hal itu membuatku bersyukur atas kesabaran yang masih tersisa tadi malam karena istriku memeluk dan turut berdoa.
Tanganku pun diraih oleh Lou dan juga Daniel. Mereka membantuku berdiri. Sedangkan Bapa Michael yang tangan kirinya terluka masih terlihat kesakitan. Tangan itu pula yang digigit Jane waktu lalu. Sepertinya, iblis itu mengincar Bapa Michael. Ya, kemungkinan besar mereka mengincar pastor itu. Mungkin Jane hanya sebagai perantara mereka bisa melukai Bapa Michael. Begitu yang aku pikirkan saat ini. Entah terlepas benar atau tidak, aku menjadi khawatir akan pastor itu.
“Berdoalah dan tetap waspada karena mereka (iblis) seperti singa yang mengaum siap menerkam siapa pun yang goyah imannya,” ujar Bapa Michael sambil memegang tangan kirinya.
Kami semua merenung sejenak, terdiam tak mampu berkata apa-apa. Hari ini adalah hari ketiga usaha Bapa Michael dan Lauren membantu putriku terlepas dari cengkeraman iblis. Meski awalnya aku sempat meragukan hal ini, kini aku yakin iblis itu ada di sekitar kami. Bahkan saat ini menguasai tubuh putri semata wayangku. Sekarang tinggal bagaimana Tuhan menyelamatkan putriku dari musibah ini? Apakah bisa?