POV (Sudut Pandang) RICHARD (Aku = Richard)
Aku sangat ketakutan setelah mendengar kabar satu per satu kawanku meninggal dengan mengenaskan. Semenjak kejadian itu, aku menjadi tidak tenang. Seakan ada mata yang selalu mengawasiku.
Beberapa hari ketakutan, akhirnya aku memutuskan untuk mengungkapkan kepada orang tuaku. Malam itu ... aku terpaksa mengaku ke orang tuaku, jika aku sudah ikut ketiga kawan memperkosa Jane Cloude.
“Papa ... Mama ... tolong bantu aku ... aku akan mengakuinya ... aku ... a-aku sudah melakukan kesalahan karena ikut memperkosa Jane. Aku ... a-aku minta maaf. Papa Mama tolong aku. Bantu aku lari dari mereka.”
Aku yang gemetar dan ketakutan sambil memegang salib berbahan dari kayu itu, langsung memeluk kaki kedua orang tuaku. Aku memohon mereka untuk bisa menyelamatkanku. Bukan soal hukum lagi yang aku takutkan. Namun soal hal di luar nalar yang seakan mengincarku.
“Richard ... kamu bahas apa? Mereka siapa yang mau menyerangmu?” Mama menatapku dengan iba dan segera memelukku.
Sedangkan hal berbeda Papa katakan. “Richard! Ternyata kamu pelaku yang dicari semua orang! Tega kamu melakukan ini!” gertak Papa kepadaku dan langsung berdiri dari tempat duduk.
Aku semakin ketakutan. Takut jika Papa memukul atau menghukumku. Aku semakin gemetaran.
“Papa, jangan bentak Richard. Dia semakin ketakutan. Masih bersyukur dia mau mengaku dan sadar perbuatannya salah. Sebenarnya ada apa dengan teman-temanmu? Siapa yang membunuh mereka?” tanya Mama kepadaku dengan cemas. Aku pun menjawab dengan menengok ke kanan dan kiri terlebih dahulu.
“I-iblis ... teman-temanku dibunuh iblis. Sekarang ... iblis-iblis itu mengejarku, Ma. Mama Papa tolong aku. Tolong selamatkan aku. Tolong sembunyikan aku. Aku tidak mau mati!” Aku menangis ketakutan sambil memeluk Mamaku. Meminta tolong pada kedua orang tuaku adalah cara terbaik agar selamat. Itu pemikiranku. Tak peduli harus dihukum penjara, aku siap. Asal tidak berakhir mengenaskan seperti ketiga kawanku yang lain.
Malam itu ... Mama segera mengambil keputusan untuk ke gereja bersama aku dan Papa. Awalnya Papa tidak setuju, tetapi setelah berdebat panjang lebar dengan Mama, akhirnya Papa mau mengantarkan ke gereja.
Sesampainya di gereja, Mama memohon ke Paman Michael yang menjadi pastor di gereja desa kami untuk membantuku. Aku masih menunggu di luar pintu gereja bersama Papa. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan hingga menyita waktu yang cukup lama. Aku takut kalau Paman Michael tidak mau membantu.
Setelah beberapa saat kemudian, pintu gereja terbuka kembali. Mama menyuruh aku masuk ke gereja. “Richard, ayo masuk. Papa, Michael mau membantu. Ayo masuk!” perintah Mama dengan wajah sembab. Pasti tadi Mama menangis di dalam gereja.
Mama berhasil membujuk Paman Richard untuk membantuku. Aku dan Papa segera mengekor di belakang Mama masuk ke dalam gereja. Sesampainya di sana, Mama kembali memintaku bercerita sesungguhnya di depan Paman Michael.
“Richard, ceritakan semuanya kepada Paman Michael dengan jujur. Jangan tutup-tutupi, ya,” lirih Mama membuatku semakin gugup di hadapan Paman Michael. Aku memainkan tanganku karena gugup.
“Richard ... apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Paman Michael kepadaku.
Aku awalnya ragu-ragu untuk mengungkapkan yang sebenarnya terjadi, tetapi akhirnya aku menceritakan karena takut dengan iblis-iblis yang mengejarku. Aku yakin makhluk gaib yang membunuh kawanku ada kaitannya dengan kejadian ini.
“Pa-Paman Michael ... maafkan aku ... aku ... a-aku ikut memperkosa Jane. Malam itu, aku mengikuti ketiga temanku untuk melakukan pelecehan itu. Aku mengikuti mereka dan menjadi orang terakhir yang melecehkan Jane. Setelah malam itu, Jane tidak terlihat lagi di kampus. Aku dan ketiga temanku tidak merasa bersalah, malah justru menyebarkan berita buruk di kampus soal Jane. Tiga Minggu kemudian ... hal buruk itu mulai terjadi. Aku dan teman-temanku mulai mengalami mimpi buruk yang hampir sama dan teror dimulai. Berurutan dari p*******a pertama, kawanku itu meninggal dengan cara tragis mengerikan. Kami ketakutan dan tak berani datang ke kampus atau membahas hal itu. Lalu, kembali kawanku kedua meninggal mengenaskan juga. Setelah itu aku makin yakin ada kaitannya dengan Jane karena mereka meninggal berurutan. Hingga akhirnya temanku ketiga meninggal. Paman Michael ... tolong aku ... sekarang iblis-iblis itu mengejarku karena ketiga temanku sudah tiada. Aku berdosa, Paman. Aku minta maaf. Aku tidak mau mati,” jelasku sambil memohon pertolongan Bapa Michael yang menjadi Paman kandungku.
Air mataku mulai menetes di pipi. Rasa takut dan bersalah silih berganti hinggap di hatiku. Aku ingin ini semua berakhir. Aku tidak mau merasa bersalah dan ketakutan sepanjang hari hingga akhir hayatku.
Paman Michael langsung memelukku dengan hangat dan penuh kasih. “Richard ... bertobatlah. Paman akan bantu kamu, tapi dengan syarat. Kamu harus mengakui kesalahanmu dan menjalani hukuman yang berlaku di kepolisian. Bagaimana?” Pertanyaan dari Paman Michael jelas aku setujui daripada terbunuh mengenaskan seperti kawanku yang lain.
“Paman Michael ... aku mau. Apa pun itu asal aku tidak mati seperti teman-teman ku. Tolong aku, Paman....” pintaku kembali pada Paman Michael.
“Baik. Kamu bisa di sini. Aku akan membantu menguncimu di tempat suci. Biar Papa Mamamu pulang dan melaporkan perbuatanmu ke kantor polisi. Aku akan mengurus soal gangguan iblis itu,” tegas Bapa Michael kepada aku dan orang tuaku.
Papa dan Mama langsung pergi meninggalkan gereja. Sedangkan aku bersama Paman Michael, atau yang disebut Bapa Michael oleh banyak orang. Aku dibawa ke sebuah ruangan di dalam gereja. Bapa Michael mendoakan aku di dengan bahasa latin. Tubuhku bergetar hebat. Aku pun merasa mual dan seketika pingsan.
***
Beberapa Minggu kemudian ....
Sudah berminggu-minggu aku tinggal di ruangan ini. Hanya mendapatkan makanan dari Paman Michael yang mengantarkan ke sini. Namun saat ini Paman Michael sedang pergi bertugas, jadi aku mendapatkan makanan dari Suster Lidwina yang membawa makanan dan kebutuhanku. Ruangan ini sebenarnya tidak bisa dipakai untuk tinggal, tetapi Paman Michael membuat sekat untuk menjadi ruangan dengan satu tempat tidur dan satu kamar mandi dadakan yang dibuat oleh Paman Michael dibantu penatua gereja. Aku tidak melakukan banyak hal di dalam ruangan ini. Meski bosan, aku bertahan karena takut dengan para makhluk yang mencoba menyakitiku.
Aku mencoba berdoa sesering mungkin seperti yang diminta oleh Bapa Michael. Aku tahu, kesalahan yang kuperbuat sangat fatal karena membuat Jane menjadi kerasukan iblis. Ya, berita itu sudah sampai di telingaku. Jane hamil dan kerasukan iblis. Berkali-kali orang mencoba menolong Jane, tetapi belum membuahkan hasil hingga saat ini. Apakah mungkin Paman Michael sedang membantu Jane? Semoga kedua orang tua Jane tidak marah pada Pamanku.
Kratak ... kratak ... kratak ....
Tiba-tiba suara seperti sesuatu retak terdengar di telingaku. Aku memandang ke segala arah di dalam ruangan. Mataku mencari di mana suara itu berasal. Banyak salib di dalam ruangan suci ini. Bahkan ada kolam air suci yang berukuran kecil di dalam ruangan ini. Khusus untuk mengambil holy water.
Siapa itu? Atau apa yang berbunyi retak? Aku berdiri dan mengecek ke seluruh sisi ruangan. Tak kusangka, ternyata kaca atas ruangan retak. Kaca bergambar Keluarga Kudus Yesus, retak tepat di tengah. Beberapa saat kemudian, terdengar suara mencurigakan lagi. Aku pun terkejut.
Blubuk ... blubuk ... blubuk ....
Aku langsung mengarahkan pandangan ke kolam air suci yang berukuran kecil. Aku tak menyangka, ada gelembung-gelembung kecil naik ke permukaan. Seperti pertanda air itu mendidih. Mungkinkah hal itu terjadi dan bagaimana mungkin bisa terjadi?
Aku langsung berlari ke pintu dan mencoba menggedor pintu yang terkunci dari luar tersebut. Bukannya bisa digedor, aku justru tersengat seperti aliran listrik. Aku terpental dan terjatuh di lantai yang dingin sedingin es.
“Tolong! Tolong Paman Michael! Tolong aku!”
Aku berteriak berkali-kali karena ketakutan. Namun tidak ada jawaban dari luar sana. Seolah tidak ada yang mendengarku. Hal itu membuatku semakin panik.
“Suster Lidwina tolong! Tolong aku!”
Aku kembali berteriak minta tolong kepada siapa pun. Namun nihil, tidak ada yang mendengar, tidak ada yang datang mendekat. Aku semakin ketakutan saat suara retakan itu semakin terdengar jelas. Dan seketika ...
Pyarr!
Kaca itu pecah dan serpihannya langsung menimpaku. “Aw! Sakit!”
Aku tak kuasa menghindar karena tubuhku kaku. Pecahan kaca itu menancap di beberapa bagian tubuhku. Tangan, bahu, lengan, untung saja tidak mengenai kepalaku. Aku berteriak kesakitan dan kembali meminta tolong.
“Aaaa .... Paman Michael tolong aku!!!”
Aku mencoba berjalan ke arah pintu dan berteriak lagi. Tiba-tiba suara mengerikan terdengar ....
"Bapa Michael tidak di sini! Dia ... tidak akan bisa menolongmu! Dosamu tak akan terampuni seperti ketiga kawanmu! Grrrraaaaa ....”
Aku gemetar dan mencoba mendobrak pintu sekuat tenaga yang aku punya. Namun aku terpental jatuh dan seketika semua badanku terasa sakit.
"Kamu ... tak akan selamat! Sekarang bergabunglah dengan teman-temanmu di neraka lapis keenam! Ha ha ha ha ha!"
Suara itu bergema dan aku langsung merasa tercabik-cabik. Sakit, nyeri, tetapi kali ini aku tidak bisa berteriak. Hanya air mata yang tak terasa menetes di pipi. Sepertinya ini akhir dari semuanya. Makhluk itu bahkan mampu menembus ruangan suci ini.
Papa ... Mama ... maafkan aku. Aku sudah berdosa dengan melakukan pelecehan terhadap Jane. Aku sudah bersalah dan tak sungguh-sungguh bertobat karena tidak serius dalam berdoa. Maafkan aku Papa ... Mama ... Selamat tinggal ....
Aku pun memejamkan mata karena sudah tak kuasa menahan segala rasa sakit akibat cabikan makhluk tak kasat mata itu Entah seperti apa dunia setelah kematian, saat ini ... aku akan ke sana dan menjalani kehidupan itu. Semoga ketakutan ini bisa hilang selamanya dari benakku.