Untungnya hari pertama magang bisa Aisha lalui dengan aman, nyaman, dan pastinya tanpa kendala. Puji syukur, Aisha panjatkan berulang kali. Ketika bingung atau sedikit menemui kesulitan, El Rumi dengan sigap membantu. Pria itu juga tidak segan memberikan penjelasan dengan sabar dan tanpa lelah.
Entah karena Aisha berstatus iparnya, atau karena El Rumi memang selalu bersikap baik kepada semua orang. Yang pasti, Aisha benar-benar terbantu dengan kehadiran pria itu. Kapan lagi wakil pimpinan turun langsung memberikan penjelasan sekaligus contoh kepada karyawan magang.
"Rumi, sebenarnya, tadi kamu cukup jelaskan aja. Aku bisa coba sendiri, kok. Nggak perlu sampai repot-repot kasih contoh segala. Nanti nggak enak sama karyawan yang lain."
Aisha berbisik kemudian mengedarkan pandangan ke seketiar. Setelah keluar dari lift, ia memerhatikan dengan amat sangat, para staff yang tampak lalu lalang, bersiap untuk pulang.
Ya, Aisha khawatir. Sebagai karyawan baru. Apalagi statusnya hanya seorang karyawan magang, rasanya tidak enak dan canggung saja kalau sampai atasan yang jabatannya wakil pimpinan sampai turun langsung menjelaskan. Bahkan memberi contoh tepat di meja kerjanya.
Aisha tidak enak saja kalau di gosipkan macam-macam. Apalagi kalau sampai diperlakukan berbeda dari karyawan lainnya karena memiliki hubungan ipar dengan El Rumi atau bahkan istri dari pimpinan perusahaan.
"Kalau nggak enak, kasih kucing aja."
"Sembarangan kalau ngomong."
"Loh, aku bener, kan? Lagian, ngapain pake nggak enak segala? Santai aja kali. Nggak bakal ada yang protes juga."
Aisha mengangguk. Dirinya setuju dengan ucapan El Rumi barusan.
"Iya. Emang nggak bakal ada yang protes secara langsung ke kamu. Secara kamu pimpinan. Hanya saja, aku yakin pasti ada yang gosipin macam-macam."
"Contohnya?"
Aisha memutar bola matanya. Nampak berpikir jawaban apa yang pas untuk ia berikan kepada El Rumi.
"Hmm ... contohnya ...."
"Apa? Kamu disangka punya hubungan sama aku?"
Aisha langsung manggut-manggut. Terlihat begitu dekat dengan Rumi, pasti sebagian orang akan berpikiran seperti itu.
"Nah itu salah satunya."
"Ya biarin aja orang mau berspekulasi apa. Nggak usah dipikirkan. Kita hidup, nggak melulu harus turutin pikiran atau kemauan orang. Lagi pula, aku murni mau bantu kamu karena ngerasanya kamu sebatang kara. Dan lagi, nggak mudah menjalani hidup yang keras seperti sekarang. Apalagi suamimu seperti itu modelannya."
"Namanya hidup emang keras, Rumi. Kalau mau lembek, presto-in aja."
El Rumi sontak tertawa. Padahal dirinya sedang dalam mode serius.
"Udah, nggak usah pikirkan omongan orang," kata El Rumi sekali lagi. "Kamu fokus aja sama urusan magang. Selebihnya, biar aku yang handle."
Entah sudah ke berapa kalinya Aisha mengangguk. Karena tidak mungkin membantah, ia setuju saja dengan apa yang El Rumi perintahkan.
"Pokoknya terima kasih banyak udah tolongin."
"Sama-sama. Dengan senang hati. Kalau butuh apa-apa, nggak usah sungkan buat ngomong. Terus, ini kamu mau pulang kerja pakai ojek online lagi?"
"Iya."
"Aku anterin aja, deh."
Aisha menggeleng.
"Jangan. Ngerepotin banget. Serius, aku udah biasa naik ojek, kok."
El Rumi tertawa lagi. Keras kepala juga rupanya Aisha ini. Atau karena iparnya itu sungkan ikut serta bersama dengannya. Padahal, sungguh dirinya tidak punya maksud apa-apa.
"Nggak ngerepotin Aisha. Lagian, ini kita bakal jemput Umi sekalian. Baru antar kamu pulang."
Aisha tampak menimbang beberapa saaat. Tapi karena terus didesak, dirinya pun pada akhirnya luluh dan setuju untuk menerima ajakan El Rumi pulang bersama.
Ada untungnya Aisha ikut serta El Rumi sore ini. Setelah menjemput sang ibu mertua, ia malah diajak makan malam dulu sebelum akhirnya diantar pulang ke rumah.
Lantas, bagaimana dengan Aslan?
Bodo amat dalam hati Aisha. Pria itu sudah memberi peringatan. Mendeklarasikan pada dirinya untuk tidak susah payah menyiapkan makan, menunggu pulang kerja, apalagi berharap untuk menyantap makan malam bersama.
"Umi nggak singgah dulu?" tawar Aisha saat dirinya sudah sampai di depan rumah. Sedang sang mertua tanpa duduk di kursi depan, bersebelahan dengan El Rumi yang mengemudi.
"Nggak," geleng Helena sambil tersenyum. "Kali ini Umi langsung aja. Takutnya kalau kelamaan malah dicariin sama Abi. Salam buat Aslan aja, ya. Kapan-kapan kalau kalian libur, main-main ke rumah Umi."
"Iya, Umi."
"Ya udah, Umi pulang dulu. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Memastikan bayangan sang mertua dan iparnya sudah tidak terlihat, Aisha gegas memutuskan untuk masuk ke rumah. Membersihkan diri, lantas setelahnya mulai mengerjakan beberapa tugas yang tadi sempat diberi El Rumi saat berada di kantor.
Mungkin, ada sekitar dua puluh menit dirinya duduk di ruang televisi yang ada di lantai dua. Sambil mendengarkan salah satu acara reality show yang ada di tv, Aisha tampak serius mengerjakan tugasnya.
Hingga tak berapa lama, terdengar suara langkah kaki. Siapa lagi kalau bukan sosok Aslan yang ternyata sudah pulang dari kantor.
Karena diminta untuk tidak saling ikut campur, Aisha mengabaikan saja sosok Aslan yang saat itu hendak melangkah ke kamar. Pikirnya, Aslan akan bersikap cuek seperti biasa.
Namun, tanpa terduga, pria berhidung mancung itu malah mendekat. Berdiri tepat di depan meja, bersiap untuk berbicara.
"Aku nggak tau apa tujuan kamu magang di kantor. Entah sengaja atau nggak, pokoknya aku nggak suka. Apalagi kalau sampai karyawan lain tau statusmu yang sekarang udah resmi jadi istri aku."
Walaupun telinga Aisha mendengar jelas seluruh kata yang keluar dari bibir Aslan, dirinya memilih diam. Alih-alih menanggapi, ia terus saja lanjut menyelesaikan tugasnya yang sedikit lagi akan selesai.
"Aisha! Kamu dengar ucapanku, kan?"
Aisha mendesah lalu mendongak. Menatap, sembari mengangguk pelan.
"Aku dengar, Kak."
"Ya jawab dong kalau orang lagi ngomong."
"Iya," sahut Aisha sedikit malas. "Lagi pula, kalau ditanya tujuanku apa, ya tentu aja magang untuk dapat nilai tugas akhir, Kak. Tadinya, aku udah punya pilihan beberapa perusahaan terkenal buat dipilih. Tapi, karena kakak mengajukan syarat nggak masuk akal yang mana setiap mahasiswa nggak boleh magang di tempat yang sama, aku jadi kesulitan."
"Jadi, kamu anggap perintahku nggak masuk akal?"
Aisha dengan serta merta mengangguk. Wong memang kenyataannya begitu.
"Aku putus asa, Kak. Sedang deadline nya sisa beberapa hari lagi. Mumpung El Rumi nawarin diri buat bantu, dan lagi Abi ternyata setuju, aku pikir kenapa nggak terima aja kesempatan baik ini. Toh, perusahaan yang Kak Aslan tempati memang bergerak di bidang konstruksi. Kan aku arsitek, nih. Otomatis ilmuku pasti terpakai."
"Alasan!" sahut Aslan tidak suka. "Terserah tujuanmu apa. Pokoknya jangan buat ulah saat di kantor. Buat malu, apalagi sampai orang-orang tau kalau ---"
"Aku istri Kakak?" potong Aisha segera. Tahu benar kalimat apa yang hendak Aslan sampaikan kepadanya. Ia lantas bangkit dari duduknya. Menyambar laptop, bersiap untuk masuk kamar. "Tenang aja, Kak. Aku juga nggak berminat kasih tau orang-orang di perusahaan Kak Aslan kalau punya suami macam Singa Narnia."
"Aisha! Kamu ----"
Aisha tidak perduli. Ditinggalkannya Aslan begitu saja yang tampak menggeram kesal atas olokan yang baru saja istrinya sematkan kepadanya.
***
"Demi Allah, Amira ... aku kangen banget sama kamu."
Di kursi kerjanya, Aslan nampak bergumam. Di tangan kanannya, pria itu memegang sembari sesekali mengusap permukaan bingkai berisi foto Amira yang sedang berdiri di bawah menara Eiffel.
Tak lama, terdengar Aslan mendesah. Tangannya yang lain kali ini terlihat memijat pelipisnya yang mungkin berdenyut nyeri.
"Mau gimana pun juga, nggak ada yang bisa ganti posisi kamu di hatiku. Mau Aisha sedikit pun. Persetan dia mau lebih cantik, lebih lembut, atau lebih segala-galanya dari kamu. Pokoknya, di hati aku, kamu itu nggak tergantikan."
Terus bermonolog di kursi kerjanya, Aslan tersadar kalau ada seseorang yang masuk ke ruangan. Mendongak, dirinya mendapati sosok El Rumi yang ternyata sudah berdiri di hadapannya.
"Kenapa panggil-panggil?" tanya El Rumi dengan raut wajah malas.
"Aku sengaja panggil kamu karena butuh penjelasan soal Aisha yang tiba-tiba magang di sini."
El Rumi mendesah panjang. Pikirnya, sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan soal Aisha yang ia rekrut untuk menjadi asisten beberapa bulan ke depan.
"Kenapa lagi sih, Kak? Memangnya Aisha ganggu kamu?"
"Oh, Jelas. Kehadiran dia di kantor ini jelas mengganggu aku, Rumi."
"Ganggu dari segi mananya, sih? Ruangan dia bahkan jauh banget dari ruangmu, Kak. Dia nggak bakal ke sini kalau nggak benar-benar kamu panggil. Lagi pula, dia bekerja di bawah departemen aku."
"Tapi, tetap aja, Rumi. Kalau sampai karyawan lain tau dia istriku gimana?"
"Ya nggak apa-apa, lah. Kalau kamu nggak minat ngakuin dia istri, biar aku aja yang akuin."
"Sembarangan aja kalau ngomong," decak Aslan bersungut-sungut. "Makanya, ngapain sih buat situasi jadi ribet begini."
"Nggak ribet, Kak," sanggah El Rumi santai. "Yang ada Kak Aslan yang buat semuanya jadi runyam. Padahal, Abi sendiri yang terima Aisha secara langsung di perusahaan ini. Kalau kinerjanya bagus, nggak menutup kemungkinan dia bakal jadi karyawan tetap."
Aslan terperanjat. Matanya langsung memicing tidak suka.
"Nggak usah macam-macam."
"Aku semacam aja. Lagian, kenapa sih segitunya sama Aisha. Padahal, dia anak yang sopan, baik, pinter, cantik pula."
"Tetap aja aku nggak suka. Mana dia seenaknya semalam ngatain aku Singa Narnia."
Tawa langsung berderai dari bibir El Rumi. Bukannya prihatin, dirinya malah terlihat senang mendengar Aisha yang jelas-jelas mengejek sang kakak.
"Masa sih Aisha ngomong gitu?"
"Serius, Demi Allah."
"Padahal, Kak Aslan itu nggak cocok jadi Singa Narnia."
"Tuh, kan. Kamu aja tau."
"Lah, iya," sambung El Rumi. "Ketimbang Singa, kak Aslan lebih cocok jadi Beruang kutub."
Aslan menggeram kesal. Kurang ajar sekali adiknya ini.
"Udah ... udah, sana keluar. Buat aku tambah kesal aja."
"Ya, ini aku juga mau keluar, Kak. Mau sholat dzuhur. Kak Aslan nggak sholat? Beres makan siang, kita ada jadwal ketemu sama orang Singapura."
Aslan mengangguk. Ia tidak lupa akan jadwalnya hari ini.
"Ya udah, kita ke mushola sama-sama."
Aslan dan El Rumi lantas turun ke lantai satu. Saat hendak memasuki mushola. Keduanya sama-sama menghentikan langkah. Samar terdengar dari pintu masuk, seseorang tampak merdu melantunkan ayat-ayat suci Al Quran.
"Was-samā`i żātil-burụj. Wal-yaumil-mau'ụd. wa syāhidiw wa masy-hụd. qutila aṣ-ḥābul-ukhdụd. an-nāri żātil-waqụd. iż hum 'alaihā qu'ụd. wa hum 'alā mā yaf'alụna bil-mu`minīna syuhụd. wa mā naqamụ min-hum illā ay yu`minụ billāhil-'azīzil-ḥamīd. allażī lahụ mulkus-samāwāti wal-arḍ, wallāhu 'alā kulli syai`in syahīd ...."
Setelah mendengarkan beberapa saat, Aslan tampak merasa familiar. Dirinya tahu surat yang tengah dilantukan saat ini adalah surah Al Buruj yang sering kali Rasul baca setelah selesai sholat dzuhur dan Ashar.
Sejenak, Aslan tampak menikmati. Dirinya merasa terhipnotis dengan apa yang dirinya dengar.
Sebenarnya, mendengarkan orang mengaji bukan hal yang istimewa. Hanya saja, di mushola kantor, di saat jam istirahat, baru kali ini Aslan menemukannya. Itu sebabnya, ia merasa heran.
"Siapa sih yang ngaji siang-siang begini?" tegur El Rumi penasaran. "Tumben banget. Seumur-umur kerja, baru kali ini dengar ada yang ngaji di mushola kantor."
Aslan tidak bereaksi apa-apa. Ketimbang menanggapi ucapan sang adik, dirinya malah terus fokus mendengarkan dari depan pintu masuk. Hingga tak lama, surah yang dibaca akhirnya selesai. Karena penasaran, Aslan pun memutuskan masuk. Baru beberapa langkah maju, dirinya tampak berhenti. Bola mata Aslan sontak membesar kala mendapati sosok siapa yang sedari tadi mengaji.
"Aisha ..."