“Aku bahkan sama sekali tidak sempat bersembunyi eh badai sudah menerjang”
- Bianca, calon manten dadakan -
Bali,
Pertengahan Desember. Musim Hujan. Musim Kawin. Bikin Baper.
BIANCA
Mungkin ada dari sebagian orang tua yang akan panik saat memiliki anak sulung yang akan berusia tiga puluh tahun, berparas cantik, memiliki karier cemerlang tetapi belum menikah apalagi punya pacar bahkan gebetanpun nggak ada. Itu sama saja seperti memicu adanya gempa bumi hebat yang berpotensi menimbulkan Tsunami dahsyat.
Oh, Mamaku tipe yang seperti itu. Sukanya baper dan ketar-ketir sendiri kalau melihat ada anak teman atau tetangganya menikah terus ngerecokin anaknya supaya cepat-cepat cari menantu untuk digeret ke KUA. Ada saja kelakuan beliau yang membuatku menggelengkan kepala. Seperti minggu lalu ketika aku lagi asyik menikmati seporsi bakso saat Bali sedang dilanda hujan, Mama tiba-tiba menelepon dan mengatakan kalau beliau baru saja pulang dari acara kondangan. Perasaanku sudah nggak enak banget pokoknya.
“Gawat Bi.”
Aku mengeryit mendengar kalimat pembuka beliau yang bernada panik. Aku telan dulu pentolan bakso yang ada di mulut sebelum menjawab.
“Gawat kenapa? Ada yang mau beranak?”
“Bukan. Ketty belum ada yang ngawinin lagi jadi aman tapi gawat.” Ketty itu kucing kesayangan Mamaku di rumah. Pelipur lara di saat anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“Lah terus gawat kenapa? Mama hamil lagi?”
“Hustt!!!”Aku nyengir kuda. “Kamu ini kalau ngomong jangan asal nyeplos. Kamu pikir Mama ini umur berapa sampai ingin beranak lagi.”Aku bertopang dagu mendengarkan. “Mama sih masih kuat aja bikinnya tiap malam sama Papa tapi Mama sudah nggak sanggup ngurusinnya. Lagian punya anak sulung aja malah belum kawin-kawin dan ngasih cucu.”
Ampun sindiran telaknya. “Iya Mamaku sayang. Tinggal dijawab nggak aja kok jadi panjang ceritanya. Ada apa sih panik begitu?”
“Sebentar, Mama mau minum dulu. Kamu buat Mama haus aja.” Aku memutar bola mata mendengarnya. “Itu loh tadi si Jenar nanyain kamu Bi. Nanyanya nggak nyantai banget buat Mama jadi kesal.” Aku mengunyah seraya berpikir. Who’s Jenar?
“Siapa Jenar?”
“Astaga, masih muda sudah pikun. Pantas kamu belum punya pacar.”
Gantian aku yang kesal. “Ya Bianca lupa Ma. Tolong ya itu nggak ada hubungannya. Jadi kasih penjelasan yang lengkap supaya pembicaraan kita ini berfaedah dan langsung ke intinya nggak berbelit-belit. Walaupun Bianca sudah tahu apa yang mau Mama bicarakan.”
“Ah kamu ini sok tahu seperti tukang ramal aja,” gerutu beliau. “Itu loh anak lelaki gendut yang rumahnya tiga blok dari rumah kita. Musuhmu waktu kecil dulu yang sering ngetawain kamu karena doyan manjatin pohon buahnya orang.”
Aku mencoba mengingat lalu dalam bayanganku muncullah sosok lelaki gendut dan jelek yang dulu sering banget ngusilin.
“Ah Jenar gendut itu. Terus dia nanyain apa? Bianca sudah nikah atau belum gitu kan pastinya?”
“Ih tapi cara nanyanya ngeselin. Dia bilang gini.” Mama berdeham demi mendapatkan penghayatan menirukan omongan si Jenar. “Biancanya mana Tante? Kok saya belum dapat undangan pernikahannya? Nggak laku ya?”
Aku berdecak mendengarnya seraya memasukkan lima sendok sambal ke dalam kuah yang hanya menyisakan pentolan baksonya. Mengabaikan wajah bengong Kalista, teman kosku.
“Kurang ajar kan pertanyaannya mentang-mentang sekarang dia sudah sukses punya showroom mobil, sudah jadi lelaki kekinian yang ada cetakan—hmm—apa itu yang abg-abg zaman now ributkan di perut?”
“Roti sobek?”
“Nah itu dia. Mama sering lihat dia joging keliling kompleks bertelanjang d**a. Sengaja banget supaya yang tua-tua seperti Mama ini gagal fokus. Terus istrinya itu ya punya usaha katering sendiri..bla..bla..bla.” Intinya seperti itulah. Bukan sindiran Jenar yang membuat aku kesal tapi perkataan Mama setelahnya akibat dari pertanyaan itu.
“Terus Mama jawab apa?”
“Hmm, ya, Mama bilang aja kalau Biancanya lagi sibuk kerja dan paling lambat awal tahun depan sudah nyebar undangan.”
Aku tersedak pentolan bakso membuat Kalista panik dan mengambilkan air minum di gelasku yang kosong entah dari mana. Jangan sampai air hujan dia tampung. Kalista kan suka usil juga. Abaikan saja itu air hujan atau memang air minum, sudah terlanjur masuk ke dalam perut. Ada masalah yang lebih gawat.
“What!! Mama kok jawabannya gitu sih. Bagaimana bisa nyebar undangan kalau calonnya aja belum ada? Memangnya nama calon mempelai lelakinya di undangan bisa dikosongkan dulu.” Kalista terbahak mendengarnya diikuti tatapan geli beberapa pengunjung yang kebetulan di sekitarku.
“Ya makanya kamu cari dong atau Mama yang akan mengambil tindakan supaya perkataan Mama itu terealisasikan. Ingat ya Bianca, awal tahun depan. Mama sudah kebelet mau cucu.”
Setelah itu aku hanya bisa mengerang frustasi, mendengarkan saja semua ucapan Mama tanpa membantah seraya mengacak rambut sampai telepon di tutup meninggalkanku yang stress memikirkan ancamannya sampai nambah bakso dua porsi lagi.
“Ditodong mantu lagi?” Kalista menggelengkan kepalanya.
“Bisa gila gue lama-lama kalau begini caranya.”
“Bukannya lo sudah gila ya. Lihat aja tuh sambal sampai habis tidak bersisa elo makan. Gue aja sampai merinding ngelihatnya. Nggak keriting itu bibir.”
“Ah masa sih?”Aku melihat ke tempat sambal yang memang nyaris kosong lalu nyengir. “Padahal nggak berasa lo pedasnya.”
“Kacau lo Bi.” Kalista tertawa tanpa beban.
Aku mendesah, “Coba aja elo yang ada diposisi gue saat ini pasti bakalan stress karena tiap hari Mama kerjaannya nagih mantu mulu. Heran deh, sepertinya cuma Mama gue yang tingkahnya begitu. Elo masih tenang-tenang aja.”
“Gue sih santai aja. Lagian Mama gue sudah punya banyak cucu di rumah. Mungkin sudah lupa kali kalau masih punya satu anak gadis yang belum kawin-kawin.”
Aku mengunyah pentolan seraya bertopang dagu.“Hanya gue yang bernasib malang seperti ini. Memangnya sekarang masih ada ya pernikahan ala siti Nurbaya?”
“Masih.” Kalista melipat lengannya di atas meja. “Contohnya ya elo ini yang sebentar lagi bakalan dijodohkan karena nggak bisa cari lelaki sendiri.”
Aku mendengus sebal. “Gue nggak bisa membayangkan lelaki model apa yang dipilihkan Mama kalau sampai ancamannya itu menjadi kenyataan.”
Kalista tertawa. “Makanya cepat cari sana!!!”
Sepanjang hari itu suasana hatiku langsung berubah buruk dengan tambahan hujan yang menderas seakan ikut membuat penderitaanku kian terasa. Bisa bayangkan betapa frustasinya menghadapi emak zaman now model baperan seperti beliau.
By the way, kalau sudah membicarakan pernikahan, aku langsung membayangkan wedding dream ala putri Disney yang sudah sejak lama aku rancang. Meskipun umur hampir memasuki kepala tiga dan jodoh juga belum kelihatan hilalnya, aku sangat menginginkan pernikahan yang romantis dan tidak akan terlupakan seumur hidup. Walaupun tidak mendapatkan pangeran arabian berkuda putih tapi paling tidak aku bisa mengusahakan mencari lelaki bermobil Ferrari 458 Italian , berdada bidang yang sandarable, bertubuh six pack, matang serta mapan.
Dasar ya wanita, banyak maunya!!!
Masalahnya, realita tidak seindah sinetron FTV yang sering aku tonton kalau lagi mager. Hanya modal jalan kaki, tiba-tiba ketabrak mobil yang entah nyosor dari mana dan kebetulan sekali dikendarai lelaki tampan nan kaya lalu berantem gemas dan berakhir dengan saling mencintai. k*****t memang kan!!
Otak jadi membayangkan yang manis-manis hanya dari adegan seperti itu yang mustahil banget ada di dunia nyata. Yang ada bukan lelaki tampan tapi Om-Om berperut buncit yang keluar dengan muka sangar atau ibu-ibu yang dinobatkan sebagai raja jalanan yang nggak bisa dilawan pokoknya.
“Sebenarnya ya Bi, nggak ada yang aneh dari tampilan lo,” ucap Prilly suatu hari saat aku curhat tentang ancaman Mama di rumahnya ketika Ali lagi keluar kota. Prilly mengupas buah mangga dan meletakkannya di atas piring yang dengan nggak tahu malunya aku habiskan. “Hanya saja lo ini terlalu pemilih dan kebanyakan mikir.”
“Bukannya kita harus saling mendalami karakter masing-masing dulu ya.” Aku membela diri sendiri.
Tanganku dicubit ganas. “Ya elo juga tahu diri dong. Ini buah gue cuma kebagian motongnya doang elo yang habiskan. Enak sekali hidup lo ya.” Aku nyengir lalu gantian memotong buah mangganya. “Pendalaman karakter itu perlu tapi lo juga jangan plin-plan. Kalau sudah yakin ya udah langsung aja geret KUA. Nggak usah kelamaan.”
“Semua kegagalan itu hanya berarti satu Prilly,” kataku seraya ngemutin biji mangga yang masih tersisa banyak daging buahnya, “Berarti gue belum bertemu dengan Mr. Right.” Prilly hanya menggelengkan kepalanya.
Mungkin inilah yang membuatku belum bisa mengenalkan calon laki ke Mama dan berimbas pada kisah asmara adik perempuanku, Bella, yang juga berniat naik ke pelaminan. Maklum, sebagai anak sulung, Mama tetap memprioritaskan aku untuk menikah lebih dulu. Padahal bodo amat dengan langkah-melangkahi.
Ngenesnya lagi, susah sekali menggaet lelaki padahal aku menetap dan bekerja di kota yang populasi lelakinya datang dari segala penjuru dunia yaitu Bali yang eksotis. Apa mungkin aku pernah kualat sama seseorang?
Di sisi lain, aku sedang menikmati keberhasilanku menjadi Public Relation Manager terbaik di hotelku berkat kerja kerasku beberapa tahun ini dalam mencapai target hotel. Ah, tapi itu tetap tidak membuat Mama berhenti menuntutku mencari mantu.
Akhir Desembar, beliau menelepon. Lagi. Dan sepertinya ada omonganku yang menjadi pemicu timbulnya tragedi ngenes setelahnya.
“Gimana dengan ancaman Mama kemarin?Sudah dapat atau belum?”
"Bianca lagi usaha di sini Mam."
"Usaha mulu." Mama mendesah berat. "Dari dulu aja ngomongnya gitu tapi nyatanya mana? Teman-teman Mama semua sudah pada bawa cucunya yang lucu-lucu kalau arisan. Lah Mama bawa apa coba? Ketty?"
"Ya bawa aja sih Kettynya. Susah amat. Lagian ngapain ngurusin orang."
"Bianca!!!" Suara si Mama mulai meninggi. "Masa Mama di suruh bawa kucing. Kamu ini ya. Mama sudah ditanyain terus kapan kamu itu menikah. Mama kan jadi bingung jawabnya."
"Yang sabar ya Mam. Jodoh Bianca masih ada di luar sana. Hanya tinggal menunggu waktu kami dipertemukan. Percayalah kalau semua akan indah pada waktunya.” Pretlah. Entah dapat kata-kata begini dari mana sok bijak banget.
“Nunggu kalau nggak usaha ya sama aja boong, Bi.”
Aku abaikan sindirannya dan mencoba mengalihkan pembicaraan. “Oh ya Mam, Doakan semoga tahun depan Bianca masih tetap menjadi Public Relation Manager terbaik ya supaya bisa nabung buat jalan-jalan keliling dunia."
"Jadi selama ini kamu hanya mikirin kerjaan,Bi?!"
Oh My God. Suara Mama bertambah tinggi. Salah omong lagi. "Nggak kok. Bianca sambil nyari-nyari juga."
"Ini sudah hampir pergantian Tahun dan kamu tetap belum bisa mendapatkan calon menantu buat Mama. Kalau begitu Mama jodohkan aja kamu dengan anak sahabat Mama ya. TITIK. Nggak bisa diganggu gugat." WHAT THE HELLOO!!!
"NOOO!!” Aku menolak keras. “Memangnya ini zaman Siti Nurbaya. Nggak mau Bianca!!"
"Kamu sudah Mama kasih kesempatan tapi nggak ada hasilnya bahkan cem-ceman pun nggak ada. Anak Mama loh cantik tapi kenapa susah banget dapat calon,” gerutuan si Mama tambah panjang.
Aku berusaha menahan diri untuk tidak menjedotkan kepala ke tembok. “Sabar dulu ya lagian umur segini tuh masih wajar kalau belum menikah. Kerjaan Bianca lagi bagus-bagusnya ini Mam. Nanti aja deh nggak usah buru-buru—"
Tuuutt. EH?
Aku menatap ponsel di tangan yang layarnya menggelap dan sambungannya terputus dengan tampang cengok. Kebiasaannya si Mama kalau lagi kesal.
Sejak malam itu aku tidak lagi dibombardir dengan teleponnya. Hidup rasanya tenang banget seperti air mengalir dan tetap berjalan seperti biasanya.Aku semakin bersemangat karena sudah memiliki rencana akan merayakan Hari ulang tahun dan Tahun Baru di Hongkong sehingga membuatku melupakan ancaman Mama yang nyatanya benar-benar serius.
Sampai akhirnya badai katrina itu datang dan aku masih saja tidak sadar kalau hidupku sedang terancam bahaya level tinggi. Tapi, siapa aku yang bisa menyangka akal bulus mereka sebenarnya.
Saat itu terjadi, aku hanya bisa bengong dan mengumpat sumpah serapah di dalam otakku yang suci ini setelah menyadari sandiwara kacangan apa yang keluargaku mainkan. Asyem tenan!!!
***