Sama seperti malam-malam sebelumnya. Dini Akhirany, gadis muda yang masih belia, usianya baru saja menginjak dua puluh tiga tahun dua hari yang lalu.
"Hei, Jalang!! Mana setoranmu malam ini?!" teriak Risma dari pintu depan sambil berkacak pinggang saat melihat Dini datang dengan lelaki tua bangka yang mengantarnya sampai rumah Risma, Bibi Dini.
Lelaki tua bangka itu mencoba tersenyum kepada Risma, Bibi Dini saat akan membukakan pintu mobil untuk Dini, wanita malam yang ia pesan malam ini.
Dini turun dari mobil lelaki yang telah memesannya itu dan mencoba tersenyum kecut karena malu dengan ucapan Risma, Bibinya yang terdengar sangat keras.
"Itu siapa Dini? Ibumu?" tanya Lelaki tua bangka itu setengah berbisik kepada Dini.
"Maaf Mas Herman, itu Bi Risma, Bibiku yang mengurusku sejak kecil," jawab Dini dengan jujur tanpa menghindari pertanyaan itu.
"Oh ... Seperti itu. Ini untukmu, ambilah. Mas puas dengan pelayananmu malam ini," ucap Herman, lelaki tua bangka yang sudah terlanjur sayang kepada Dini.
Herman adalah lelaki tua bangka yang paling sering memesan Dini untuk menemani malam yang dingin untuk mengusir rasa sepinya dan untuk melampiaskan hasratnya. Lelaki tua ini sudah kecanduan dengan tubuh seksi dan sintal Dini, ditambah lagi, gadis muda itu sangat menarik dan mempesona saat berada di atas ranjang.
Herman memberikan dua puluh lembar uang merah kepada Dini.
Dini menolaknya. Bayarannya malam ini sudah cukup banyak. Herman sudah terlalu baik dan royal terhadap Dini. Bukan hanya uang bayaran sebagai wanita malam saja yang diberikan, terkadang Herman sengaja menemui Dini di tempat bekerjanya untuk memberikan hadiah-hadiah kecil.
"Tidak, Mas Herman. Uang yang tadi di berikan pun sudah cukup untuk Dini," ucap Dini pelan. tubuhnya sudah terasa sangat lelah dan capek. Malam ini Mas Herman, melakukannya hingga beberapa kali karena rasa rindunya sudah satu minggu lebih tidak bertemu dengan Dini.
"Uang yang tadi jangan kamu keluarkan. Berikanlah uang ini untuk Bibimu itu. Sudah cukup Mas melihat biru-biru di tubuhmu karena pecutan dari Paman dan Bibimu," ucap Herman dengan pelan. Rasa ibanya kepada Dini begitu tulus, seperti kepada anaknya sendiri. Namun sayang, Herman sudah memiliki istri dan tiga orang anak yang sudah besar, bahkan sudah ada yang menikah.
Dini menatap sendu wajah Mas Herman yang ada di depannya. Tangannya sudah mengulur sambil memegang puluhan lembaran merah itu untuk di terima oleh Dini.
"Ambilah Sayang," ucap Herman begitu lembut. Panggilan itu adalah panggilan khusus Mas Herman untuk Dini.
Dini hanya menatap puluhan lembaran uang merah itu. Rasanya tidak enak mau menerima uang Mas Herman kembali. Memesan Dini sebagai wanita malamnya pun sudah di patok dengan harga yang cukup tinggi oleh mucikari tempat Dini bekerja. Maklum Dini adalah salah satu primadona wanita malam yang diincar oleh banyak lelaki hidung belang yang berani membayar tinggi.
Semua itu sesuai dengan kemolekan tubuh Dini, ditambah paras wajah Dini yang begitu cantik dan ayu. Belum lagi pelayanannya di ranjang yang selalu memuaskan pelanggan dan tamunya di ranjang saat memakai tubuhnya untuk di eksploitasi.
"Sudah Mas Herman. Jangan, simpan uangnya untuk kebutuhan Mas Herman dan keluarga. Aku masuk dulu," ucap Dini pelan, lalu berlalu begitu saja meninggalkan Mas Herman sendiri sambil menatap tubuh bagian belakang Dini yang semakin lama menjauh menuju rumah Bibinya.
PLAK!!
Suara tamparan keras begitu terdengar jelas di telinga Herman. Tamparan keras yang mendarat di pipi Dini dari Risma, Bibi Dini. Terlihat kedua wanita berbeda usia itu sedang berdebat. Herman ingin mendatangi keduanya, namun di urungkan. Herman teringat ucapan Dini yang pernah bercerita sedikit tentang kehidupannya. Dini pernah berpesan untuk tidak ikut campur urusan pribadinya dengan Paman dan Bibinya, bir bagaimanapun juga mereka adalah orang yang telah merawat Dini hingga dewasa.
"Kenapa kamu tidak terima uang sebanyak itu dari lelaki hidung belang yang telah memesanmu!! Kamu sudah merasa kaya dan banyak duit!! Pamanmu itu sedang membutuhkan uang banyak untuk membayar hutang karena kalah di meja judi. Hanya tubuhmu yang bisa membayar hutang sebesar itu, kalau tidak begitu lalu bagaiamana kita hidup!! Seharusnya kamu itu tahu, tanpa Paman dan Bibi, nyawa kamu sudah tidak tertolong!!" teriak Risma dengan suara teramat keras. Risma memang sengaja berteriak dengan keras agar Herman mendengar dan berbalik untuk menghampiri Dini dan memberikan uang yang seharusnya menjadi milik Dini tadi.
"Tapi Bi ... Tuan Herman sudah membayar Dini dengan mahal. Tapi, Bunda Mawar memotong penghasilan Dini dengan besar," ucap Dini pelan sambil mengusap pipinya yang terasa sangat nyeri dan perih.
Risma hanya menatap sengit kepada Dini.
"Mana uangnya!! Cepat!!" teriak Risma dengan kasar sambil menarik tas selempang Dini hingga tali rantai itu terputus dan membekaskan goresan luka di bahu kanan Dini.
"Jangan Bi. Biar Dini ambilkan uangnya," ucap Dini pelan sambil menarik kembali tas yang sudah berada dalam genggaman Risma.
"Kenapa?! Kenapa harus kamu yang mengambilkan? Apakah banyak uang di dalam sini?!!" teriak Risma semakin geram dan penasaran sambil membuka tas Dini dengan paksa.
Dini hanya bisa terdiam menatap tas kecil selempangnya itu di acak-acak oleh Bibinya. Segepok uang dalam amplop cokelat pun berhasil berpindah tuan. Amplop cokelat itu kini berada di tangan Risma, entah berapa lembaran merah yang tertumpuk disana.
"Jangan Bi. Itu uang untuk melanjutkan sekolah Dini," ucap Dini lirih dengan wajah sendu.
Mendengar ucapan Dini yang begitu jujur, wajah Risma langsung murka dan melotot ke arah Dini.
"Hidup ini tidak ada yang gratis!! Berapa tahun kamu tinggal di rumah ini, makan disini, minum disini, sekolah dan semuanya gratis!! Kini sudah saatnya kamu bekerja untuk kita sebagai balas budi!!" teriak Risma dengan penuh semangat.
Dini hanya bisa terdiam. Rasanya sakit sekali mendengar ucapan Bibinya itu. Dini saja sampai saat ini pun tidak tahu keberadaan Ayah dan Ibunya.
Dedi yang baru saja pulang dari meja judi pun merasa terganggu dengan keributan dan teriakan yang di keluarkan oleh Risma, istrinya itu. Dedi masih dalam keadaan mabuk, kepalanya masih sangat pening karena pengaruh alkhohol, Dedi pun tersulut emosi karena mendengar keributan antara Risma dan Dini yang terjadi di teras depan rumah.
Dedi terbangun dan melepaskan ikat pinggang pada celana kain yang dikenakannya. Tanpa basa-basi, Dedi keluar dari dalam kamar menuju teras depan dan langsung memecuti tubuh Dini hingga memerah di bagian lengan.
Herman masih berada disana dan belum naik ke dalam mobil. Menatap adegan sadis yang mencelakai gadis yang disayanginya. Gadis malam yang selalu membuatnya tersenyum dan mendapatkan kepuasannya di ranjang.
Beberapa pecutan itu telah melukai beberapa bagian tubuh Dini. Herman tidak tinggal diam dan berlari kembali ke aras teras itu dan berusaha menghentikan semuanya.