Vita terlihat masih menghabiskan makanannya di kantin pabrik. Menikmati jajanan baso untuk mengganjal perutnya yang tidak terlalu lapar di waktu jam istirahat itu.
Bersama Yani, teman sekaligus sahabat, yang selalu ada di manapun keduanya berasa, baik ketika Vita masih susa, atau saat ini Vita sudah menjadi orang kaya, keduanya tak pernah sekalipun berpisah.
Yani adalah teman di tempat kerja juga teman sepermainan di rumah. Sifat dan karakternya yang baik, membuat Vita senang berteman dengannya.
Yani sama seperti dirinya dulu, yaitu berasal dari keluarga yang sederhana. Kesamaan latar belakang keduanya dululah yang membuat jalinan pertemanan keduanya awet sampai saat ini.
"Ada hal ganjil lain yang aku dengar semalam, Yan!"
"Apa itu?" jawab Yani ingin tahu. Ia yang memang sudah tahu apa yang tengah sahabatnya itu rasa dan alami, berusaha untuk menyimak dan menjadi pendengar yang baik.
"Dua hari kemarin, bapak dan ibu itu pergi. Aku sendiri tidak tahu ke mana. Nah, waktu semalam aku kebangun ingin minum karena harus, tiba-tiba aku dikejutkan ibuku yang sudah ada di dapur. Aku tanya beliau sedang apa, jawabnya lagi minum sembari mengangkat gelas kosong. Tapi, entah kenapa aku ragu dengan jawabannya. Sebab yang setahuku, pembantu di rumah itu tahu dan mengerti kalau setiap malam harus ada teko air minum di kamar ibu, tidak boleh tidak apalagi lupa. Itu karena kebiasaan bapak dan ibu yang pasti akan buang air kecil di malam hari, dan kemudian membalasnya dengan minum kembali."
"Terus?" Yani masih menyimak meski mulutnya penuh dengan suapan baso seperti Vita.
"Iya, aku ngerasa aneh aja malam-malam ibu ada di dapur, ngapain?"
"Ehm, ya mungkin semalam pembantu rumah lupa naro teko di kamar ibumu karena sebelumnya 'kan orang tua kamu pergi."
"Walau bapak dan ibu pergi, air itu akan selalu tersedia di kamar. Itu sudah kebiasaan sejak lama."
"Ya, mungkin memang ada sesuatu yang ibumu cari, Vita."
"Iya, tapi apa?" Pertanyaan Vita dijawab dengan batu Yani yang diangkat.
"Setelah itu, nah ini yang bikin aku bergidik ngeri. Aku ngedenger suara desahan orang lagi bercin*a di ruang pribadi bapakku, Yan!" bisik Vita sedikit menahan suaranya.
"Memang kamu tahu suara desahan orang yang sedang begituan?" Yani bertanya sembari tersenyum. Gadis sederhana itu memang selalu polos dan terkadang tidak tahu apa-apa.
"Ya ampun, Yan. Kalau untuk suara begitu aku tahulah, si Revan sama yang lain 'kan pernah cerita hal begituan. Emang kamu enggak sadar apa?"
"Oh, iya kah? Kok aku lupa, haha!" kekeh Yani, sedikit tertawa.
"Dasar!"
"Terus, terus? Seandainya bener, mungkin itu orang tua kamu yang lagi, ehem, ehem!" sahut Yani, lagi-lagi tersenyum.
"Tadinya aku pikir begitu. Tapi, aku baru ingat kalau ibu baru aja naik ke kamar pas ketemu aku di dapur, masa secepat itu?"
"Ya, mana tahu 'kan, ekstra cepat!"
"Terus, yang lebih aneh dan bikin bulu kudukku berdiri, lagi-lagi ada ular hitam di rumah. Ular itu keluar dari dalam ruangan kerja bapakku, Yan."
"Benarkah?" Yani mulai terlihat serius.
"Iya. Asal kamu tahu, ada tiara kecil berwarna putih terang, menempel di atas kepalanya. Menurut kamu aneh enggak sih?"
Yani tampak terdiam. Hal-hal ganjil yang acap kali Vita ceritakan padanya mengenai kondisi keluargany semenjak kematian Mega —adik bungsu Vita, terkadang membuat Yani merasa tidak masuk akal. Terutama sekali tentang suara-suara desis ular di tiap malam, yang beberapa hari ini mengganggu ketentraman hati sang sahabat.
"Apa tidak sebaiknya kamu bicarakan hal ini pada orang tuamu, Vit? Minimal, ceritalah pada ibu."
Vita diam menanggapi usulan sang teman. Bukan ia tidak mau bercerita pada ibunya, tetapi ia trauma karena pernah bapaknya marahi karena ia menanyakan hal demikian. Memang waktu itu ia bertanya tentang berita kematian Mega yang mendadak serta gunjingan para warga terhadap keluarga mereka. Tapi, kecurigaannya tentang kedua orang tuanya yang menjalani ritual pesugihan, membuat ia ragu untuk bercerita pada sang ibu yang pastinya akan bereaksi sama, itulah pemikiran Vita.
"Jujur aja aku trauma, Yan. Kamu 'kan tahu bapakku pernah marah sama aku dulu. Jadi, aku pun takut kalau ibu melakukan hal yang sama."
Yani menyimak keluhan yang sahabatnya ucapkan. Benar, ia masih ingat jika Pak Sudibyo pernah memarahi Vita gara-gara menanyakan hal yang mungkin menyudutkan lelaki paruh baya tersebut.
"Keluargaku sedang dalam kondisi adem ayem, aku enggak ingin gara-gara keresahan hati aku, malah merubah suasana ini."
"Ya, aku mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi, setidaknya untuk masalah ini saranku, kamu jangan membiarkan. Usahakan ada orang yang tahu selain kamu sendiri."
"Iya, aku tahu. Tapi, aku bingung aku harus cerita sama siapa."
Kedua orang sahabat itu saling terdiam. Menyelami pikiran masing-masing, untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghinggapi hati dan pikiran mereka.
"Bagaimana kalau cerita sama ustadzah?" Ide Yani tiba-tiba.
"Ustadzah Zahra maksudnya?"
"Ehm, ya. Kebetulan beliau 'kan tetangga kamu. Rumahnya juga tepat bersebelahan dengan rumah kamu."
"Tapi —?"
"Tapi apa? Ada Bang Ardan di sana?"
Vita mengangguk. Yani tahu jika sahabatnya itu memiliki ketertarikan pada pemuda tampan tersebut.
"Cuek aja, Vit. Tujuan kamu 'kan mau ketemu Ustadzah Zahra, bukan sama Bang Ardan."
"Aku takut enggak bisa, Yan. Malu."
"Ya udah, mau aku temani? Kita ke sana pas Bang Ardan lagi kerja atau pas dia lagi ngajar anak-anak ngaji di mesjid."
Seketika ada binar di kedua mata Vita.
"Iya, kamu benar, Yan. Kita ke sana sehabis ashar aja. Biasanya Bang Ardan akan pulang jam lima. Kita ada waktu sekitar satu jam sebelum Bang Ardan pulang."
"Ya udah. Nanti sore kita ke sana. Aku akan antar."
Vita begitu senang memiliki sahabat seperti Yani. Sungguh gadis sederhana yang bisa diandalkan.
Waktu istirahat yang sudah usai, membuat kedua sahabat itu memutuskan kembali menuju tempat mereka bekerja. Bergulat kembali dengan mesin-mesin pabrik, alat-alat yang membuat peluh di tubuh mereka mulai bermunculan.
Tapi, itu semua Vita sukai, dibanding harus selalu menikmati uang yang orang tuanya berikan, yang diam-diam ia simpan dan tidak ia pergunakan sama sekali sampai detik ini.
***
Kedua gadis itu saling diam dengan jari yang saling bertaut. Aksi yang sebetulnya reaksi dari kegugupan mereka yang saat ini tengah berada di ruang tamu rumah Ustadzah Zahra. Salah seorang guru mengaji, sekaligus tetangga Vita.
"Jadi, apa yang membuat kalian berdua ingin sampaikan hingga berkenan mampir ke kediaman Ibu?" tanya Ustadzah Zahra sembari tersenyum ramah.
"Ehm, begini Ustadzah, sebetulnya Vita yang mau menyampaikan sesuatu. Aku sendiri hanya sekedar mengantar dan menemani."
"Oh begitu. Vita, ada apa, Nak? Ibu lihat sepertinya kamu sedang ada masalah?"
Vita masih terdiam. Ia bingung harus dari mana ia memulai. Hingga senggolan yang Yani lakukan, membuyarkan lamunannya.
"Vita, ayo! Cerita saja sama Ustadzah."
"Ehm, iya. Jadi, begini Ustadzah —?"
Maka, meluncurkan apa yang selama ini Vita rasakan dan alami. Keresahan hati sebab kejadian yang dirasanya ganjil dan aneh, gadis itu ceritakan. Tak ada yang terlewat, sebab tujuannya memang seperti itu, mencari jawaban atas resah di dalam hatinya.
Wanita di depannya hanya tersenyum, dari sepanjang ia bercerita sampai selesai.
***