Vita Tidak Sendiri

1181 Kata
Mulai dari gosip yang terus menerus menghujani keluarganya, sampai dugaan yang menyebutkan jika kejadian itu nyata adanya, semua Vita ceritakan pada Bu Zahra. Seorang wanita yang selama ini dipercaya sebagai tokoh yang mengerti tentang agama. Ia dan sang suami Ustadz Ridwan, adalah tokoh yang disegani. Dulu sebetulnya Pak Sudibyo dan Bu Ratih juga rajin menghadiri pengajian-pengajian yang sering diadakan di mushola setempat. Namun, semenjak kehidupan mereka berubah menjadi orang kaya baru itulah, keduanya sudah tak pernah lagi muncul di tempat keramaian. Jangankan untuk sekedar bercengkrama dengan para tetangga, menghadiri pengajian rutin sepekan sekali saja, keduanya sudah tak pernah hadir.  "Perubahan lain yang pastinya terlihat mencolok adalah, ibu dan bapak sudah tak pernah lihat lagi melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba, Bu Ustadzah." Akhir cerita Vita pada wanita paruh baya uang terlihat bersahaja dengan penampilannya yang tertutup itu.  Yani sejak tadi hanya menyimak dan mendengarkan. Sebab ia sendiri sudah tahu semua hal yang sahabatnya itu ceritakan.  "Jadi, menurut Ustadzah benarkah adanya jika kedua orang tua saya melakukan praktek pesugihan, yang jelas dilarang oleh agama? Kalau iya, apa yang harus aku lakukan?" Bu Zahra tampak menarik napas dan mengembuskannya pelan.  "Vita, meskipun semua hal yang kamu ceritakan tadi terdengar aneh dan ganjil, tetapi jujur saja Ibu tidak bisa mengambil keputusan kalau semua hal itu adalah bukti-bukti yang mengarah ke praktek yang kamu dan para warga maksudkan." Vita diam menyimak. Mendengar semua kalimat yang terdengar begitu lembut tanpa berniat menggurui sama sekali.  "Vita, sungguhkah kamu ingin tahu mengenai kenyataannya?" tanya Bu Zahra.  Vita mengangguk mantap.  "Apakah kamu tidak takut nantinya jika semua itu ternyata adalah sebuah kenyataaan?" "Kenapa aku harus takut, Bu?" Vita balik bertanya, yang dibalas senyuman oleh Bu Zahra.  "Vita, seandainya benar kedua orang tuamu melakukan hal seperti itu, bukankah ada sesuatu yang mestinya kamu lakukan?" Vita menatap tak mengerti. Sungguh apa yang sebenarnya wanita di depannya maksud. Gadis itu sesekali menatap ke arah Yani, yang juga menampilkan wajah yang sama.  "Vita, kamu tahu bukan bagaimana praktek pesugihan itu?" tanya Bu Zahra, kemudian diangguki oleh Vita.  "Nah, jadi kamu tahu juga 'kan bahwa praktek-praktek seperti itu sejatinya tak ada yang tidak menguntungkan bagi si jin tersebut?" Kali ini Vita mengangguk.  "Termasuk orang-orang yang melakukan hal demikian, mereka tidak akan dibebaskan begitu saja dari sesuatu yang ingin dilakukan oleh para jin itu. Misalnya saja seperti tumbal yang sering sekali kita dengar di kalangan masyarakat, bukankah itu hal yang kamu harus tahu dan awasi?" Vita kembali mengangguk, "jadi, menurut Ustadzah, aku harus bagaimana?" "Menurut Ibu lebih baik kamu awasi saja dulu. Kamu amati tingkah laku kelurgamu. Meskipun hal yang lebih jelas adalah dengan bertanya pada salah satu dari mereka. Misalkan ibumu jika tidak mungkin bertanya pada bapakmu, Vita." Vita terdiam. Bukan karena ia tidak mengerti dengan semua hal yang Bu Zahra katakan. Tapi, itu karena ia tengah merenungi ucapan wanita di depannya itu  Bertanya pada kedua orang tua mengenai pesugihan yang ia dan warga curigai, sudah pernah ia lakukan, tetapi hasilnya nihil.  "Aku pernah menanyakan hal ini pada bapak, Ustadzah. Tapi, aku malah dimarahi oleh beliau. Katanya aku tak perlu ikut campur ataupun mendengarkan semua yang para warga katakan mengenai keluarga kami. Jujur saja aku bingung, Ustadzah. Bahkan adikku sendiri —Fajar, seolah buta dengan semua yang terjadi di rumah. Menurutnya itu semua hanya kebetulan semata. Ucapan para warga hanya sebuah rasa iri sebab keluarga kami sudah berubah menjadi orang kaya. Aku bingung, Ustadzah, apakah hanya aku yang selalu ditampakkan dengan hal-hal ganjil itu semua. Apakah Fajar tidak? Lantas, apa itu tandanya? Aku hanya khawatir jika itu akan menjadi sebuah boomerang untuknya, sebab terlalu terlena dengan semua kemewahan yang kedua orang tua kami berikan." Keduaa mata Vita mulai berkaca-kaca. Membayangkan jika akan terjadi sesuatu pada sang adik.  "Ustadzah tahu mengapa aku memilih untuk tetap bekerja di pabrik, ketimbang melanjutkan kuliah yang jelas hanya tinggal duduk belajar dan menikmati uang saku yang bapak ibu berikan? Itu semua karena rasa takut yang menjalar di hatiku sebab tuduhan para warga, juga karena kejadian-kejadian yang aku sendiri alami. Bagiamana jika itu semua kenyataan? Bagaimana jika semua semua uang yang aku dan Fajar nikmati malah akan menjadikan kami tumbal berikutnya, seperti yang sudah terjadi pada Mega? Aku takut, Ustadzah. Makanya aku lebih memilih menyimpan semua uang itu ke dalam tabungan. Bapak dan ibu tidak tahu itu. Aku selama ini lebih menikmati uang yang aku dapatkan sendiri dari bekerja." Bu Zahra dan Yani begitu serius mendengarkan. Terutama sekali wanita berjilbab itu. Ia yang baru mendengar semuanya dari Vita, merasa iba dan kasihan. Sejatinya gadis itu sendirian. Apa yang ia alami tentu membuatnya takut. Beban di hati dan pikirannya pasti berat.  "Hal terbaru yang aku alami, adalah kejadia semalam. Aku mendengar sesuatu yang aneh di dalam ruangan pribadi bapak." Ragu-ragu Vita bercerita.  "Apa itu?" "Ehm," ucap Vita terbata. Menatap Yani, meminta persetujuan. Sahabatnya itu mengangguk, mengiyakan.  "Aku mendengar bapak seperti tengah b*********a. Tapi, aku tahu dengan pasti jika wanita yang bersamanya bukan ibu. Sebab suara wanita itu bukan suara ibu yang sangat aku kenal. Belum sempat aku pergi dari depan pintu ruangan, ada sesosok ular hitam keluar dari dalam kamar dan terdapat tiara berwarna putih yang menempel di atas kepalanya." Apa yang Vita katakan, sama sekali tidak membuat Bu Zahra terkejut. Hal yang membebani wanita dewasa itu, hanya rasa khawatirnya pada Vita yang sepertinya bingung dan pastinya ketakutan.  "Vita, semua yang kamu lakukan sudah benar. Menyimpan semua uang yang bapakmu berikan, dan tidak sama sekali memakan apapun dari makanan yang disajikan di rumahmu, demi menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi, kamu akan bertahan sampai kapan? Apakah hal itu tidak akan membuat kedua orang tuamu curiga dan akhirnya marah?" "Aku merasa jika kedua orang tuaku sudah tidak seperhatian dulu. Sampai-sampai untuk masalah makan pun, mereka seolah tidak peduli." Ada kesedihan yang kini tampak di wajah gadis dua puluh tahun itu. Menyadari akan perubahan yang terjadi di dalam keluarganya, membuat dirinya menjadi sosok yang pendiam kini.  "Vita, mungkin ibu dan bapakmu tidak bermaksud demikian. Pekerjaan dan usaha yang saat ini orang tua kalian jalani, membuat sikap perhatian itu sedikit berkurang, sebab mereka lebih fokus dan sibuk memikirkan pekerjaan. Mungkin juga kedua orang tua kalian menganggap jika kedua putra putrinya sudah besar dan dewasa, sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Sudah tahu baik buruknya keputusan yang diambil dari perjalanan hidup yang kalian tengah alami saat ini." Semua yang Bu Zahra ucapkan, mudah sekali Vita setujui. Ya, apapun yang bapak ibunya lakukan, ia sangat yakin jika semuanya karena kesibukan yang saat ini mereka jalani. Juga usia yang saat ini Vita dan Fajar alami, membuat kedua orang tuanya berpikir jika mereka sudah tidak perlu lagi diperhatikan seperti anak usia lima tahun pada umumnya.  "Jagalah dirimu selama berada di rumah. Awasi saja dulu semua pergerakan yang terjadi. Kalau itu masih sebatas suara yang tidak melukaimu, biarkan saja. Mungkin mereka ingin mengganggumu saja. Tapi, kalau sudah ada gerakan yang melukaimu, kamu sudah harus bereaksi. Segera kamu katakan pada kami jika kamu membutuhkan orang lain dalam menyelesaikan masalahmu ini." Vita mengangguk cepat. Genangan air mata itu tumpah juga. Gadis itu merasa tidak sendiri. Apa yang saat ini terjadi padanya, masih ada orang-orang di sekitarnya yang masih peduli dan ingin membantu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN