Bab 8. Permintaan Ayah Mertua

1507 Kata
Dinda meninggalkan tempatnya berdiri setelah ia merasa jauh lebih tenang. Ciuman Daniel sangat memabukkan hingga ia terus kehilangan pijakan. Ia meyakinkan dirinya bahwa itu bukan apa-apa. Ia harus melupakan ciuman Daniel. Ia harus menemui ayah mertuanya sekarang, jadi ia mencoba untuk membersihkan otaknya. "Selamat pagi, Nona Dinda," sapa seorang pelayan ketika ia dipersilakan masuk ke rumah besar itu. "Ya, pagi. Di mana papa Alan?" tanya Dinda. "Tuan ada di ruang kerjanya. Mari, Nona, saya antarkan," ujar pelayan itu. Dinda mengangguk. Ia mengusap bibirnya lagi dengan punggung tangan. Ia sangat risih karena terus terbayang ciuman Daniel. Sungguh sial. "Silakan masuk, Nona." "Ya. Terima kasih." Dinda masuk ke ruangan besar. Alan tampak duduk di kursi utama. Ada meja besar di depannya. Pria itu tersenyum lebar pada Dinda. "Pagi, Pa." "Pagi Din, kamu boleh duduk di situ," ujar Alan seraya menunjuk ke sofa yang ada di bagian depan ruangan. Ia lalu berdiri dan memutari meja. "Ya." Dinda duduk setelah Alan duduk di sofa terlebih dulu. Alan menatap Dinda penuh makna. Ia yakin pernikahan Dinda dengan Kevin berjalan dengan baik, tetapi ada hal-hal yang ia khawatirkan. "Apa Kevin membuat kamu nggak nyaman sejak kemarin?" "Hah?" Dinda ternganga. Ia lalu menggeleng sambil tersenyum. "Nggak ... nggak, Pa." "Jangan bohong," kata Alan. Ia membuang napas panjang. "Kamu tahu Kevin memiliki kekurangan." "Oh, itu bukan masalah. Papa tahu, aku bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Aku bahkan nggak selalu harus pakai bahasa isyarat untuk bicara dengan mas Kevin," ujar Dinda cepat. Alan tersenyum, mengangguk berkali-kali. Ia tak meragukan itu. "Bukan itu maksud Papa. Tapi ... Kevin mungkin belum menyentuh kamu." Kedua mata Dinda melebar sempurna. Kini, ia tak tahu apa yang harus ia katakan. Di depannya Alan masih tersenyum penuh perhatian. Obrolan itu tak langsung berlanjut karena seorang pelayan masuk dengan membawa minuman serta kue. Dinda yang gugup langsung menyesap jus jeruk di gelasnya. Berbeda dengan Daniel yang bisa ia tipu, Dinda yakin Alan berbeda. "Kevin mungkin malu untuk melakukan itu," kata Alan ketika mereka hanya tinggal berdua lagi. "Papa tahu bagaimana Kevin, jadi kamu jangan sungkan untuk cerita. Papa bisa bantu kamu." "Apa?" tanya Dinda tak mengerti. "Ehm ... Kevin mungkin nggak mau kamu hamil dan membuat pernikahan kalian terasa hambar. Tapi, Kevin harus segera memiliki keturunan," kata Alan. Ia menepuk pahanya sendiri ketika ia melihat Dinda menegang. "Kevin anak yang baik dan pintar. Meskipun Kevin memiliki kekurangan, tapi dia bisa bersaing. Hanya saja, Kevin masih dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Jadi, Papa janji untuk menjadikan Kevin pimpinan perusahaan jika Kevin benar-benar bisa menghasilkan keturunan dengan kamu. "Papa harap kamu mau membantu Papa mewujudkan hal itu. Kevin harus menjadi orang tertinggi di perusahaan. Mungkin, Kevin berkata bahwa ini akan memberikan keuntungan bagi orang tua kamu. Tapi, Papa janji kamu nggak akan dirugikan atas hal ini. Kamu bisa mendapatkan rumah, uang dan juga saham jika kamu bisa hamil dengan Kevin," kata Alan tanpa melepaskan senyumannya. Kepala Dinda berputar. Kenapa semua orang ingin ia hamil? Ini sungguh gila. "Aku masih terlalu muda," kata Dinda. "Bulan depan, kamu sudah 20 tahun. Kamu juga telah menikah dengan Kevin. Kamu berhak mendapatkan nafkah batin dari pria dingin itu," ujar Alan. Kali ini ia tertawa. "Maaf, tapi Papa udah hafal gimana sifat Kevin. Dia dingin sama kamu, kan?" "Ehm, dia baik." Dinda tersenyum mengingat perhatian Kevin semalam. Alan kembali tersenyum. "Baik aja nggak cukup. Kevin harus benar-benar memperlakukan kamu seperti seorang istri." Alan lalu meletakkan sesuatu di atas meja. "Berikan ini di minuman Kevin secara diam-diam dan habiskan malam dengannya." "Apa?" tanya Dinda panik. Ia menatap pil-pil berwarna putih itu. Alan masih tersenyum. "Itu apa?" "Kamu akan tahu kalau kamu udah mencobanya," kata Alan. "Tolong, Din. Bantu Papa dan Kevin. Kamu nggak akan rugi kalau kamu melahirkan anak Kevin. Papa janji." "Tapi ...." Alan menggeleng. Wajahnya mengeras kali ini. "Kamu mungkin udah dengar dari Kevin. Papa sakit keras. Hidup Papa mungkin nggak akan lama lagi dan Papa sangat ingin melihat Kevin menjadi pimpinan perusahaan. Papa tahu ada banyak orang yang mengincar posisi itu termasuk Daniel." Dinda meremang mendengar nama Daniel. "Daniel ... juga putra Papa. Kenapa Papa nggak ...." Alan menggeleng. "Kevin lebih berhak menjadi pemimpin. Daniel juga cukup kompeten, tapi dia belum dewasa." Ia kembali tersenyum lalu mendorong pil-pil putih itu ke arah Dinda. "Cukup satu sekali minum. Kamu bisa mencobanya lagi dua atau tiga hari sekali jika Kevin masih belum mau melakukannya secara natural. Tapi Papa yakin, sekali saja pasti sudah berhasil mengubah pandangan Kevin tentang pernikahan." Dinda ingin menolak. Tapi ia tak punya alasan. Hamil dengan Kevin, itu artinya ia harus berhubungan seks dengan pria itu. Apakah pil-pil ini adalah obat perangsang? Orang gila seperti apa yang memberikan obat perangsang pada anaknya sendiri. Dinda menatap Alan yang masih tersenyum. Ini benar-benar gila! "Gimana jika ini nggak berhasil?" "Pasti berhasil. Asalkan kamu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Anggap saja, kamu sedang membantu suami kamu," kata Alan lagi. Dinda membuang napas panjang. Daripada ia mengandung bayi Daniel, jelas lebih baik ia mengandung bayi suaminya sendiri. Jadi, ia segera mengambil pil-pil itu. Ia menyelipkannya di kantong celana. Dinda bisa mendengar Alan tertawa dan ini terasa semakin gila. "Papa tunggu kabar selanjutnya. Jangan sampai, ada orang lain yang mengusik posisi Kevin. Papa janji, Papa bakal kasih kamu lebih banyak uang." Alan tersenyum penuh kebanggaan sekarang. "Kamu bisa cek rekening kamu setelah ini. Papa udah mengirimkan sedikit hadiah untuk kamu." Dinda melongo. Namun, ia tak punya kata-kata lagi untuk merespons. Ia punya tugas yang sangat penting sekarang. Ia harus membuat Kevin mau menidurinya. Padahal, ia sendiri takut dengan ritual itu. Ia ingin menolak, tetapi Alan lebih cepat bertindak dengan memberi uang. Astaga! Dinda dalam masalah. *** Sementara itu di kantornya, Kevin baru saja hendak keluar untuk makan siang. Di belakangnya, Satya mengikuti dengan ekspresi tak percaya. Kevin seharusnya bulan madu. Kevin seharusnya melakukan hal-hal normal yang dilakukan oleh pengantin baru pada umumnya. "Ehm, Tuan! Apa Anda sama sekali tidak berhasrat dengan istri Anda?" tanya Satya ketika mereka hanya berdua saja di lift. Kevin memberinya tatapan yang seolah berkata, "Apa yang kamu katakan?" Satya berdehem. "Anda baru sehari menikah. Seharusnya Anda dan nona Dinda ... memadu kasih. Banyak menghabiskan waktu di ranjang." "Itu nggak akan terjadi." Kevin membuat gesture. "Tapi, Tuan. Akan lebih baik jika Anda mempercepat itu. Tuan besar ingin Anda melahirkan pewaris dan Anda akan menjadi pimpinan perusahaan," kata Satya. "Aku nggak cinta sama Dinda," kata Kevin kesal. "Anda nggak harus cinta untuk melakukan itu, Tuan. Bukannya Anda pernah mencobanya dengan wanita-wanita malam itu?" tanya Satya yang telah beberapa kali diminta Kevin untuk mencarikan wanita penghibur untuknya. "Itu berbeda!" Kevin melotot. "Apa bedanya? Anda sudah tidak perjaka," ledek Satya. Ia berdehem pelan ketika Kevin memberikan tatapan membunuh. "Saya hanya bicara fakta, Tuan. Anda bisa melampiaskan hasrat Anda pada nona Dinda. Itu jauh lebih baik." "Aku nggak pernah tidur dengan wanita-wanita itu," kata Kevin menyangkal ucapan Satya. Yah, ia meminta mereka memuaskannya, tetapi ia tak pernah memasuki tubuh wanita mana pun. Ia tak akan meninggalkan benihnya secara sembarangan dan berakhir repot jika itu terjadi. Satya tak bicara lagi karena pintu lift baru saja terbuka. Mereka melangkah keluar, tetapi dari depan terlihat Daniel. Daniel menatap tajam ke arah Kevin yang memberinya ekspresi datar seperti biasa. "Kita harus bicara mumpung kita ketemu," ujar Daniel. Kevin tersenyum miring. Ia menarik ponselnya keluar lalu mengetik di sana. "Bukannya kamu bilang, kita nggak akan pernah bisa bicara?" Daniel membuang napas panjang. "Kamu udah merebut pacar aku!" Kevin mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti sama sekali. "Dinda itu pacar aku!" gertak Daniel. Kevin membuka bibirnya, ia mengerti sekarang. "Kamu masih nggak percaya?" Daniel membuka ponselnya. Ia lalu memamerkan fotonya bersama Dinda. Senyum miring menghiasi wajahnya. Kevin bergeming. Wajahnya masih datar ketika ia melihat foto Dinda yang cukup mesra dengan Daniel. Namun, hatinya bergemuruh. Dinda beberapa kali bertanya tentang Daniel. Ia baru sadar, tak mungkin Dinda hanya kenal dekat dengan Daniel. Mereka berpacaran! Dinda bohong padanya. "Kembalikan Dinda sama aku," kata Daniel. "Ceraikan Dinda!" Kevin menarik ujung bibirnya membentuk seringaian. "Itu nggak akan terjadi." Ia sengaja membuat isyarat karena ia senang melihat wajah bingung Daniel. "Kamu ngomong apa? Hah?" Daniel hampir mendorong d**a Kevin, tetapi Satya lebih dulu menghalangi. "Tenang, Tuan. Kita di kantor," kata Satya. Daniel menggeram. "Mas Kevin bilang apa?" Ia bertanya pada Satya. Satya melirik Kevin. Ia lalu berdehem. "Tuan bilang, nona Dinda adalah milik beliau. Jadi, Anda jangan bicara konyol." Daniel tertawa mencela. "Dinda masih cinta sama aku. Tadi pagi ... kami ketemu dan kami ciuman." Kevin melotot sekarang. Ia memang tak menyukai Dinda. Namun, ini sangat mengejutkan. Dinda tak hanya berbohong tentang hubungannya dengan Daniel, tetapi diam-diam bertemu dan berciuman? Itu tak bisa dimaafkan! Bagaimana jika Dinda dan Daniel bekerjasama? "Ciuman kami panas dan aku yakin Dinda lebih seneng ciuman sama aku dibandingkan sama kamu," kata Daniel. Ia mengusap d**a Kevin dua kali. "Percaya sama aku, Dinda masih sangat cinta sama aku, jadi balikin Dinda sama aku!" "Langkahi dulu mayat aku!" Kevin kembali membuat isyarat. Ia dengan marah langsung meninggalkan Daniel yang masih bengong. Kevin menoleh pada Satya. "Cari tahu apa pun tentang Dinda. Apa benar dia punya hubungan tersembunyi dengan Daniel. Laporkan sama aku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN